Rabu, 19 November 2025 | 7 min read | Andhika R

Mengapa Digitalisasi yang Tidak Merata Menjadi Kerentanan Global: Sebuah Ancaman Geopolitik dan Kemanusiaan

Dalam dua dekade terakhir, kita telah disuguhi narasi yang memuja konektivitas global sebagai kekuatan yang tak terhindarkan menuju kemakmuran universal. Para pembuat kebijakan dan pemimpin industri berulang kali menyatakan bahwa teknologi digital—dengan segala keajaiban cloud computing, kecerdasan buatan (AI), dan Internet of Things (IoT)—adalah mesin pendorong utama pemerataan ekonomi dan sosial.

Namun, narasi ini adalah sebuah ilusi optimisme. Di bawah permukaan janji-janji digital, terbentang kenyataan yang lebih keras: digitalisasi global yang terjadi secara liar dan tidak merata justru menciptakan garis patahan (fault line) baru yang lebih berbahaya daripada perpecahan ideologi atau geografis konvensional. Jurang antara mereka yang terdigitalisasi secara penuh (the digitally empowered) dan mereka yang tertinggal (the digitally disenfranchised) kini menjadi kerentanan struktural yang mengancam stabilitas geopolitik, keamanan siber kolektif, dan hak asasi manusia secara mendasar.

Digitalisasi yang timpang bukan sekadar masalah pembangunan yang bisa ditunda; ini adalah defisit strategis yang harus diatasi segera. Dunia tidak akan pernah sepenuhnya aman atau adil selama bandwidth masih menjadi penentu nasib suatu bangsa.

Mengapa Digitalisasi yang Tidak Merata Menjadi Kerentanan Global Sebuah Ancaman Geopolitik dan Kemanusiaan.webp

Anatomi Kesenjangan Digital: Melampaui Akses Fisik

Untuk memahami skala kerentanan ini, kita harus bergerak melampaui definisi kuno digital divide (first-level) yang hanya berfokus pada ketersediaan infrastruktur dan biaya perangkat keras (physical and financial access). Saat ini, isu yang mendominasi adalah Kesenjangan Digital Tingkat Kedua (Second-Level Digital Divide)—yaitu perbedaan dalam kemampuan, kualitas penggunaan, dan literasi digital.

A. Defisit Kemampuan: Dari Akses ke Aksi

Kepemilikan smartphone atau akses ke menara seluler tidak menjamin kesetaraan. Kesenjangan tingkat kedua terwujud dalam:

  1. Literasi Kritis Digital: Kemampuan untuk membedakan antara informasi kredibel dan disinformasi, memahami risiko privasi, serta menavigasi ekosistem digital secara aman. Negara-negara dengan literasi kritis yang rendah menjadi target empuk bagi operasi pengaruh asing (foreign influence operations).
  2. Kesenjangan Keterampilan Siber (Cybersecurity Skill Gap): Di negara berkembang, investasi pada pendidikan dan pelatihan keamanan siber masih sangat minim. Kekurangan tenaga kerja terampil (seperti spesialis threat intelligence atau incident response) secara langsung menurunkan kemampuan pertahanan siber nasional.
  3. Kualitas Penggunaan: Kelompok yang tertinggal cenderung menggunakan internet hanya untuk hiburan atau konsumsi media, bukan untuk inovasi ekonomi, peningkatan keterampilan profesional, atau partisipasi politik yang konstruktif. Hal ini memperkuat polarisasi ekonomi antara penghasil dan pengguna digital.

B. Konsekuensi Geo-Siber: Mata Rantai Terlemah

Dalam ranah keamanan siber, ketidaksetaraan ini memiliki dampak langsung dan merugikan seluruh sistem global:

  • Pintu Masuk Serangan (Weakest Link): Studi menunjukkan bahwa negara yang berada di sisi underdeveloped dari jurang digital menjadi titik masuk termudah untuk serangan siber global (seperti ransomware atau malware). Infrastruktur digital mereka yang rapuh, ditambah dengan kurangnya regulasi data yang ketat dan minimnya kesadaran pengguna, membuat mereka rentan. Serangan siber yang berhasil di satu negara dapat dengan mudah melompat dan melumpuhkan rantai pasok global yang terintegrasi (contoh kasus serangan siber pada rantai pasok energi atau logistik).
  • Risiko Asimetris: Negara-negara dengan kapabilitas siber yang tinggi dapat pulih dengan cepat, sementara negara-negara dengan kemampuan digital yang rendah dapat mengalami disfungsi total pada sistem komunikasi dan ekonominya, yang secara efektif melemahkan posisi politik strategis mereka di mata dunia.

Kolonialisme Data dan Dominasi Ekonomi Asimetris

Kesenjangan digital telah melahirkan bentuk eksploitasi baru yang disebut Kolonialisme Data (Data Colonialism). Di era digital, data telah diakui sebagai faktor produksi kelima, setara dengan tanah, tenaga kerja, modal, dan kewirausahaan. Namun, aset berharga ini didominasi oleh segelintir korporasi teknologi global (Big Tech) yang beroperasi di luar yurisdiksi nasional.

A. Konsentrasi Geografis Infrastruktur

Geografi infrastruktur digital global sangat timpang. Sebagian besar pusat data dan layanan cloud terkonsentrasi di beberapa negara pengekspor layanan digital teratas, terutama di Global Utara. Hal ini berarti:

  1. Ekstraksi Data: Korporasi-korporasi ini secara masif mengekstrak data dari Global Selatan untuk akumulasi modal dan pengembangan model AI, namun penyimpanan dan pemrosesan data dilakukan di luar yurisdiksi negara asalnya. Negara-negara berkembang secara efektif menjadi penyedia data mentah tanpa menikmati nilai tambah dari produk digital tersebut.
  2. Hilangnya Kontrol: Negara-negara berkembang tidak memiliki kedaulatan data (data sovereignty) dan dipaksa tunduk pada kebijakan platform asing yang dapat berubah sewaktu-waktu. Ketergantungan ini berpotensi merusak keamanan nasional, karena akses terhadap data sensitif dapat dikontrol atau dimanipulasi oleh entitas luar.

B. Risiko Geopolitik dari Ketergantungan Teknologi

Ketergantungan pada perangkat keras (seperti peralatan jaringan 5G) dan perangkat lunak (software) dari satu atau dua negara dominan menciptakan risiko fragmentasi geopolitik. Keputusan pengadaan teknologi oleh suatu negara kini harus dipertimbangkan dari sudut pandang geopolitik, bukan semata-mata fungsionalitas dan harga.

Jika terjadi ketegangan politik antara negara penyedia teknologi dan negara pengguna, rantai pasok digital dapat terputus, mengancam operasional penting, mulai dari sektor energi, finansial, hingga militer. Dalam skenario terburuk, ini dapat menjadi senjata asimetris di mana dominasi teknologi diterjemahkan menjadi dominasi politik.

Ancaman terhadap Kedaulatan Informasi dan Tata Kelola Demokrasi

Selain ekonomi dan keamanan siber, digitalisasi yang tidak merata secara mendalam merusak fondasi demokrasi dan kedaulatan informasi.

A. Penguatan Polaritas dan Disinformasi

Kurangnya literasi digital dan akses informasi yang berkualitas menciptakan lingkungan subur bagi disinformasi dan hoax. Kelompok masyarakat yang secara digital terpinggirkan seringkali memiliki akses ke informasi, tetapi tanpa kerangka kerja kritis untuk memverifikasinya.

  • Efek Geopolitik: Negara atau aktor non-negara dapat menggunakan kerentanan ini untuk melancarkan perang informasi (information warfare) yang murah namun efektif. Tujuannya adalah memecah belah masyarakat, mengikis kepercayaan publik terhadap institusi, dan mengganggu proses elektoral, yang pada akhirnya melemahkan stabilitas internal suatu negara.

B. Suara yang Dihilangkan (Digital Marginalization)

Digitalisasi telah mengubah cara partisipasi politik, aktivisme, dan gerakan sosial. Namun, jika sebagian besar warga negara tidak memiliki akses yang setara ke platform digital atau infrastruktur untuk e-voting atau petisi online, suara mereka secara efektif terbungkam.

Kesenjangan ini memperburuk marginalisasi politik dan sosial, memastikan bahwa agenda pembangunan digital hanya mencerminkan kepentingan elite perkotaan atau kelompok yang sudah terkoneksi, mengabaikan kebutuhan mendesak dari daerah terpencil, komunitas adat, atau kelompok berpendapatan rendah.

Jalan Keluar Strategis: Membangun Resiliensi Digital Kolektif

Mengatasi kerentanan global ini menuntut pendekatan yang radikal, terkoordinasi, dan berbasis pada prinsip resiliensi digital kolektif. Solusi tidak terletak pada isolasi, melainkan pada penguatan setiap mata rantai dalam jaringan global.

A. Inklusi Digital sebagai Hak Asasi Manusia

Negara-negara harus menempatkan konektivitas dan literasi digital sebagai hak dasar dan kewajiban negara, bukan sekadar peluang pasar. Ini berarti:

  1. Investasi Last-Mile: Memobilisasi pendanaan global, seperti yang dianjurkan oleh Global Digital Compact PBB, untuk berinvestasi dalam infrastruktur yang aman dan terjangkau di area pedesaan dan terpencil.
  2. Inisiatif Literasi Nasional: Peluncuran program literasi digital berskala nasional yang fokus pada kemampuan kritis, etika digital, dan keamanan siber dasar, bukan hanya keterampilan teknis penggunaan aplikasi.

B. Penguatan Kedaulatan Siber dan Kerangka Regulatori

  • Diversifikasi Teknologi: Mendorong pengembangan ekosistem teknologi lokal dan regional (perangkat keras, perangkat lunak, dan cloud) untuk mengurangi ketergantungan pada pemasok tunggal dan meningkatkan ketahanan rantai pasok.
  • Regulasi Data yang Pro-Kedaulatan: Menerapkan kerangka hukum yang jelas mengenai penyimpanan, transfer, dan yurisdiksi data, memastikan bahwa data warga negara tunduk pada hukum nasional (kedaulatan data), sekaligus memfasilitasi aliran data lintas batas yang bertanggung jawab.
  • Peningkatan Kapasitas Pertahanan Siber: Mendirikan dan mendanai Pusat Operasi Keamanan (Security Operations Centers) nasional yang kuat, didukung oleh pelatihan intensif untuk mencetak pakar siber domestik.

C. Kolaborasi Internasional yang Asertif

Mengingat sifat siber yang tanpa batas, tidak ada negara yang dapat menyelesaikan masalah kerentanan ini sendirian. Diperlukan kerja sama internasional dengan semangat Sistem Adaptif Kompleks, di mana negara saling berbagi intelijen ancaman (threat intelligence sharing), mengadopsi standar keamanan bersama, dan menyepakati norma perilaku di ruang siber.

Format kerja sama ini harus inklusif, melibatkan mekanisme South-South Cooperation untuk transfer pengetahuan dan teknologi yang sesuai dengan konteks negara berkembang, alih-alih hanya bergantung pada model yang dikembangkan oleh negara-negara core digital.

Penutup

Digitalisasi yang tidak merata bukan sekadar isu teknis, melainkan manifestasi terbaru dari ketidakadilan kekuasaan global. Dengan memperkuat digitalisasi yang timpang, kita sedang membangun sebuah dunia yang secara intrinsik rapuh, rentan terhadap serangan siber, dan didominasi oleh segelintir kekuatan teknokratis.

Jalan menuju masa depan digital yang aman dan inklusif menuntut tindakan yang tegas dan berani. Keputusan untuk menganggap inklusi digital sebagai investasi pertahanan diri global adalah satu-satunya cara untuk menghentikan erosi kedaulatan, memulihkan stabilitas geopolitik, dan memastikan bahwa revolusi digital benar-benar melayani seluruh umat manusia, bukan hanya segelintir elite. Kegagalan untuk bertindak sekarang adalah undangan terbuka bagi disrupsi global di masa depan.

Bagikan:

Avatar

Andhika RDigital Marketing at Fourtrezz

Semua Artikel

Artikel Terpopuler

Berlangganan Newsletter FOURTREZZ

Jadilah yang pertama tahu mengenai artikel baru, produk, event, dan promosi.

Partner Pendukung

infinitixyberaditif

© 2025 PT Tiga Pilar Keamanan. All Rights Reserved.
Info Ordal