Senin, 21 Oktober 2024 | 3 min read | Andhika R

AI dan Kripto, Senjata Utama Kriminal Asia Tenggara dalam Kejahatan Rp 575 Triliun

Kejahatan dunia maya di Asia Tenggara mencapai titik baru dengan angka fantastis—Rp 575 triliun. Pelaku kriminal siber di kawasan ini kini semakin canggih dengan menggunakan teknologi kecerdasan buatan (AI) dan mata uang kripto sebagai alat utama dalam aksi mereka. AI dimanfaatkan untuk membuat serangan siber lebih cepat dan sulit dilacak, sementara kripto memberikan anonimitas transaksi finansial, sehingga memperumit upaya penegakan hukum. Penggunaan AI dalam kejahatan mencakup serangan phishing otomatis, botnet canggih, dan pencurian data pribadi secara besar-besaran.

Laporan terbaru mengungkap bahwa kelompok kriminal di wilayah Asia Tenggara menyebabkan kerugian finansial antara 18 miliar dolar AS (Rp 279 triliun) hingga 37 miliar dollar AS (Rp 575,1 triliun) pada 2023. Dalam laporannya, Kantor PBB untuk Narkoba dan Kejahatan (United Nations Office on Drugs and Crime/UNODC), juga mengungkap penyalahgunaan teknologi untuk berbuat kejahatan. Sindikat ini juga disebut menggunakan bantuan teknologi seperti kecerdasan buatan (AI), platform pesan instan seperti Telegram, dan mata uang kripto.

"Dengan memanfaatkan kemajuan teknologi, kelompok kriminal menghasilkan penipuan berskala lebih besar dan lebih sulit dideteksi, pencucian uang, dan penipuan daring," kata Masood Karimipour, perwakilan regional UNODC untuk Asia Tenggara dan Pasifik.

Dalam ranah teknologi keuangan, pelaku kriminal memanfaatkan mata uang kripto sebagai media transaksi yang sulit diidentifikasi. Hal ini memperburuk situasi bagi lembaga keuangan dan otoritas keamanan di kawasan Asia Tenggara, yang kerap kekurangan sumber daya untuk menangkal serangan yang semakin maju. Blockchain, meskipun dipuji sebagai teknologi aman, justru sering kali disalahgunakan oleh para pelaku kriminal karena sifatnya yang desentralisasi dan sulit dilacak.

Baca Juga: Indonesia Paling Rentan di Asia Pasifik: Waspadai Ancaman Keamanan Cloud

Tak hanya itu, AI generatif semakin banyak digunakan oleh kelompok kriminal di Asia Tenggara untuk membuat deepfake yang meyakinkan. Deepfake adalah teknik yang menggunakan kecerdasan buatan (AI) untuk memanipulasi gambar, video, atau audio sehingga terlihat asli dan menyakinkan. Ini meningkatkan kemampuan penjahat untuk melakukan penipuan. Laporan UNODC merinci, ada peningkatan lebih dari 1.500 persen dalam kejahatan terkait deepfake di Asia Pasifik dari tahun 2022 hingga 2023. Iklan terkait deepfake di platform seperti Telegram juga meningkat 600 persen antara Februari dan Juli 2024.

Lonjakan besar dalam penggunaan AI dan kripto ini memperlihatkan adanya peningkatan kolaborasi antar pelaku kriminal lintas negara. Dengan menggunakan jaringan dark web, mereka memasarkan alat-alat kejahatan yang semakin mudah digunakan, bahkan oleh individu yang tidak memiliki keahlian teknis mendalam. Hal ini menyebabkan peningkatan serangan siber yang menargetkan perusahaan, institusi, dan bahkan individu di Asia Tenggara.

Pakar keamanan TI menggarisbawahi pentingnya meningkatkan infrastruktur pertahanan siber, serta pengetahuan umum tentang ancaman-ancaman yang terus berkembang. Selain itu, regulasi yang lebih ketat terhadap penggunaan kripto dan penerapan teknologi AI di bidang kriminalitas diperlukan untuk menghambat aktivitas ilegal ini. Langkah proaktif dari pemerintah dan sektor swasta sangat dibutuhkan, terutama untuk memperkuat kerjasama lintas negara dalam upaya melacak, mengidentifikasi, dan menindak para pelaku kejahatan siber.

Bagikan:

Avatar

Andhika RDigital Marketing at Fourtrezz

Semua Artikel

Berlangganan Newsletter FOURTREZZ

Jadilah yang pertama tahu mengenai artikel baru, produk, event, dan promosi.

Partner Pendukung

infinitixyberaditif

© 2025 PT Tiga Pilar Keamanan. All Rights Reserved.
Info Ordal