Selasa, 6 Mei 2025 | 19 min read | Andhika R

Biaya Kebocoran Data vs Investasi Keamanan Siber: Mana yang Lebih Mahal?

Data kini menjadi salah satu aset bisnis paling berharga di era digital. Informasi pelanggan, transaksi, hingga rahasia dagang tersimpan dalam sistem perusahaan dan bernilai strategis. Ironisnya, tak sedikit perusahaan yang masih meremehkan perlindungan data perusahaan mereka. Padahal kebocoran data bisa berakibat fatal, baik secara finansial maupun reputasi. Fakta: Secara global, biaya penanganan insiden kebocoran data mencapai rekor tertinggi sekitar US$4,45 juta per insiden (lebih dari Rp 65 miliar) pada tahun 2023​. Bahkan, dampak ekonomi akibat kejahatan siber yang melibatkan kebocoran data diproyeksi bisa mencapai US$5 triliun pada 2024 – angka yang setara dengan puluhan ribu triliun rupiah di seluruh dunia.

Melihat besarnya potensi kerugian tersebut, jelas bahwa data bukan sekadar catatan biasa, melainkan aset tak ternilai yang wajib dijaga. Tujuan artikel ini adalah membandingkan biaya kebocoran data yang harus ditanggung perusahaan ketika terjadi insiden, versus investasi keamanan data atau keamanan siber yang diperlukan untuk mencegah insiden tersebut. Dengan memahami perbandingan ini, perusahaan diharapkan lebih sadar bahwa langkah pencegahan (investasi keamanan) jauh lebih menguntungkan daripada mengeluarkan biaya pemulihan setelah musibah terjadi.

Biaya Kebocoran Data vs Investasi Keamanan Siber Mana yang Lebih Mahal.webp

Biaya Kebocoran Data: Apa Saja yang Harus Ditanggung Perusahaan?

Sebelum membahas rincian biaya, penting untuk memahami apa yang dimaksud dengan kebocoran data (data breach). Kebocoran data adalah insiden di mana informasi sensitif atau rahasia perusahaan dan pelanggan diakses atau dicuri oleh pihak yang tidak berwenang. Insiden ini bisa terjadi karena serangan siber (peretasan sistem, malware, phishing, dll.), kesalahan internal (pegawai lalai, konfigurasi sistem terbuka), atau faktor lainnya. Dampaknya langsung terasa: data sensitif jatuh ke tangan pihak tak bertanggung jawab, yang dapat menyalahgunakannya untuk penipuan, pencurian identitas, pemerasan, dan sebagainya. Bagi perusahaan, kebocoran data bukan hanya masalah teknis, tetapi krisis yang memicu berbagai konsekuensi finansial dan non-finansial.

Ketika terjadi pelanggaran keamanan data, biaya kebocoran data yang harus ditanggung perusahaan mencakup berbagai komponen. Berikut ini beberapa komponen utama biaya tersebut:

Biaya Pemberitahuan dan Audit

Segera setelah kebocoran terdeteksi, perusahaan wajib melakukan investigasi mendalam (IT forensic audit) untuk mengidentifikasi penyebab dan lingkup insiden. Langkah ini memerlukan keahlian khusus dan sering kali melibatkan konsultan eksternal, yang biayanya tidak murah. Selain itu, regulasi di banyak yurisdiksi mengharuskan perusahaan untuk memberitahukan para korban terdampak (misalnya pelanggan yang datanya bocor) dalam jangka waktu tertentu. Penyusunan surat pemberitahuan, pusat bantuan pelanggan, hingga penyediaan layanan pemantauan kredit gratis bagi korban merupakan pengeluaran nyata. Sebuah studi bahkan mencatat bahwa biaya untuk notifikasi insiden kebocoran data meningkat sekitar 13% dalam beberapa tahun terakhir akibat persyaratan regulasi yang makin ketat​. Semua proses audit forensik dan pemberitahuan ini menambah beban biaya langsung di awal insiden.

Sanksi Hukum dan Regulasi (UU PDP, GDPR, dsb)

Komponen biaya terbesar bisa datang dari sanksi hukum dan denda regulasi. Di Indonesia, sejak disahkannya UU PDP (Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi) tahun 2022, perusahaan yang lalai melindungi data pribadi pengguna dapat dikenai sanksi administratif dan pidana. Sanksi administratif UU PDP kabarnya dapat berupa denda hingga sejumlah persentase dari pendapatan tahunan perusahaan, tergantung beratnya pelanggaran. Sementara itu di Uni Eropa, regulasi GDPR menetapkan denda maksimal 20 juta Euro atau 4% dari total pendapatan global perusahaan (dipilih yang lebih besar) bagi pelanggar aturan perlindungan data. Angka denda yang sedemikian besar bisa mencapai ratusan miliar hingga triliunan rupiah untuk perusahaan berskala internasional. Selain denda pemerintah, perusahaan juga bisa menghadapi tindakan hukum lain, misalnya investigasi oleh otoritas, pencabutan izin tertentu, hingga tuntutan pidana bagi pengurus perusahaan jika ditemukan unsur pidana (misalnya kesengajaan atau kelalaian berat).

Kehilangan Pelanggan dan Kerusakan Reputasi

Uang bisa dicari, tetapi kepercayaan pelanggan yang hilang sulit kembali. Kebocoran data besar kerap membuat pelanggan merasa dikhianati dan tidak aman berbisnis dengan perusahaan tersebut. Akibatnya, banyak pelanggan akan meninggalkan layanan (churn), dan calon pelanggan potensial pun enggan bergabung. Kehilangan pelanggan berarti hilangnya pendapatan bisnis secara langsung. Selain itu, reputasi perusahaan di mata publik dan mitra bisnis akan tercoreng. Pemberitaan negatif di media bisa bertahan lama, mengasosiasikan merek perusahaan dengan kelalaian keamanan. Biaya kerusakan reputasi ini memang sulit dihitung secara pasti, namun sangat nyata dampaknya: misalnya nilai saham perusahaan bisa anjlok, kesepakatan bisnis bisa batal, dan biaya pemasaran harus digelontorkan lebih besar pasca insiden untuk memulihkan citra. Menurut laporan IBM, sekitar 70% organisasi yang mengalami kebocoran data melaporkan insiden tersebut mengganggu operasional mereka secara signifikan. Gangguan operasional dan trust ini berkontribusi langsung pada kerugian bisnis jangka panjang.

Biaya Litigasi dan Ganti Rugi

Setelah sebuah data breach, biasanya muncul gelombang tuntutan hukum dari berbagai pihak. Pelanggan yang dirugikan dapat mengajukan gugatan class action, menuntut ganti rugi atas pelanggaran data pribadi mereka. Demikian pula mitra bisnis mungkin menuntut kompensasi jika insiden tersebut melanggar perjanjian kerahasiaan. Biaya litigasi mencakup honor advokat, penyelesaian damai (settlement) di luar pengadilan, maupun pembayaran ganti rugi sesuai putusan pengadilan. Nilainya bisa sangat besar, tergantung skala insiden. Contohnya di Amerika Serikat, kasus kebocoran data Equifax tahun 2017 berujung pada penyelesaian senilai US$700 juta (untuk kompensasi konsumen dan denda), yang setara hampir Rp10 triliun. Di Indonesia, meskipun praktik class action terkait kebocoran data masih baru, trennya mulai terlihat. Kasus kebocoran data Tokopedia (2020) misalnya, mendorong gugatan hukum dari lembaga konsumen yang menuntut denda Rp100 miliar kepada perusahaan tersebut. Biaya hukum dan ganti rugi semacam ini jelas menjadi beban finansial berat bagi perusahaan pasca insiden.

Pemulihan Operasional TI

Komponen biaya berikutnya adalah biaya pemulihan infrastruktur TI dan operasional. Setelah serangan, tim IT harus menutup celah keamanan, membersihkan sistem dari malware, memperbaiki kerusakan data, dan mungkin membangun ulang server atau aplikasi yang terdampak. Perusahaan mungkin perlu membeli perangkat keras baru, menginstal ulang sistem, atau membayar lisensi perangkat lunak keamanan tambahan untuk mencegah serangan lanjutan. Operasional bisnis juga bisa terhenti sementara waktu selama proses pemulihan, menyebabkan downtime yang berarti kehilangan pemasukan. Selain itu, perusahaan biasanya akan meningkatkan level keamanannya pasca insiden – misalnya menerapkan enkripsi lebih kuat, otentikasi multi-faktor, monitoring ekstra – yang semuanya membutuhkan investasi mendadak. Biaya-biaya pemulihan dan peningkatan darurat ini, dikombinasikan dengan hilangnya produktivitas selama downtime, akan menambah total kerugian akibat kebocoran data.

Studi Kasus Kebocoran Data Besar di Indonesia

Sebagai gambaran konkret, mari lihat studi kasus kebocoran data yang pernah terjadi di Indonesia. Salah satu insiden terbesar adalah kebocoran data Tokopedia pada tahun 2020. Tokopedia, marketplace online terkemuka, mengalami peretasan yang mengakibatkan 91 juta data pengguna dan 7 juta data merchant bocor. Data tersebut kemudian dijual di forum gelap (dark web) hanya seharga US$5.000 (sekitar Rp 74 juta) ​kumparan.com. Meskipun data yang bocor diklaim tidak mencakup password atau informasi pembayaran, dampaknya tetap luas. Reputasi Tokopedia sempat terpukul karena insiden ini melibatkan sekitar sepertiga populasi Indonesia yang menjadi pengguna platform tersebut.

Kasus Tokopedia memicu reaksi beragam: pengguna diminta segera mengganti password, pemerintah melakukan investigasi, dan celah keamanan yang dimanfaatkan peretas harus ditutup. Dari sisi biaya, Tokopedia harus mengeluarkan sumber daya besar untuk audit forensik, memperkuat sistem keamanan, dan berkomunikasi dengan jutaan pengguna yang terdampak. Tak hanya itu, seperti disebutkan sebelumnya, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI melalui KKI) sempat mengajukan gugatan hukum, menuntut denda Rp100 miliar atas kelalaian tersebut ​cyberthreat.id. Walau pada akhirnya gugatan itu ditolak oleh pengadilan, perusahaan tetap menanggung biaya penanganan kasus hukum dan tekanan publik yang tinggi.

Contoh di atas menunjukkan bahwa ketika kebocoran data besar terjadi, biaya total yang ditanggung perusahaan bisa membengkak hingga ratusan miliar rupiah. Bukan saja biaya finansial langsung, namun juga dampak jangka panjang berupa hilangnya kepercayaan dan harus berbenah besar-besaran. Itulah sebabnya investasi pada keamanan siber seharusnya dilihat sebagai kebutuhan utama, bukan sekadar biaya operasional tambahan.

Investasi Keamanan: Bentuk dan Biayanya

Jika kebocoran data begitu mahal, lalu berapa biaya yang perlu dikeluarkan untuk investasi keamanan data? Investasi keamanan siber berarti alokasi sumber daya (uang, waktu, dan tenaga) untuk mencegah insiden siber dan melindungi aset data perusahaan. Ini mencakup penerapan teknologi, proses, dan pelatihan yang dirancang untuk meminimalkan risiko kebocoran data. Seringkali manajemen enggan meningkatkan anggaran keamanan karena dianggap sebagai cost center (pusat biaya) yang hasilnya tidak terlihat. Namun, investasi ini ibarat membeli asuransi: manfaatnya baru terasa ketika ada ancaman, di mana perusahaan yang telah berinvestasi akan jauh lebih siap dan terhindar dari kerugian besar.

Bentuk investasi keamanan data sangat beragam. Berikut adalah beberapa komponen investasi keamanan siber dan perkiraan biayanya, terutama untuk bisnis skala menengah:

Perangkat Keamanan (Firewall, EDR, Enkripsi)

Komponen paling mendasar adalah investasi pada perangkat lunak maupun perangkat keras keamanan. Ini meliputi pemasangan firewall jaringan untuk menyaring lalu lintas berbahaya, sistem EDR (Endpoint Detection and Response) pada endpoint/karyawan untuk mendeteksi malware, anti-virus/anti-malware, dan penerapan enkripsi pada data sensitif (baik saat data disimpan maupun saat transmisi). Perusahaan mungkin juga perlu mengadopsi IPS/IDS (Intrusion Prevention/Detection System), DLP (Data Loss Prevention) untuk mencegah data keluar sembarangan, dan solusi keamanan lain sesuai kebutuhan.

Biaya untuk solusi ini bervariasi. Sebuah firewall kelas enterprise bisa berharga mulai belasan hingga puluhan juta rupiah per tahun (termasuk lisensi dan support). Software EDR biasanya berlisensi per endpoint; untuk perusahaan menengah dengan ratusan endpoint, biaya bisa mencapai ratusan juta rupiah per tahun. Enkripsi seringkali sudah termasuk dalam database atau aplikasi, tetapi memastikan enkripsi yang kuat mungkin memerlukan pembelian modul tambahan atau sertifikat keamanan. Total, alokasi untuk perangkat dan software keamanan bisa mencapai 5-15% dari anggaran IT perusahaan per tahun, tergantung industri dan kompleksitas infrastruktur. Bagi bisnis menengah, angka ini mungkin setara puluhan hingga ratusan juta rupiah setiap tahun. Meski terdengar besar, ini adalah fondasi teknis untuk mencegah upaya peretasan dan mengamankan data penting.

Pelatihan Keamanan Siber untuk Karyawan

Teknologi secanggih apapun tak akan optimal tanpa karyawan yang sadar akan keamanan. Statistik menunjukkan bahwa human error dan kelengahan pengguna menjadi faktor utama banyak insiden kebocoran data. Oleh karena itu, investasi dalam Security Awareness Training bagi seluruh karyawan adalah keharusan. Bentuknya bisa berupa pelatihan rutin tentang praktik keamanan (misalnya cara mengenali email phishing, pentingnya password kuat, etika penggunaan data), simulasi serangan (seperti drill phishing), hingga penyusunan kebijakan keamanan internal yang harus dipatuhi.

Biaya pelatihan keamanan bervariasi: ada perusahaan yang menyediakan modul e-learning dengan biaya lisensi per karyawan (misal beberapa ratus ribu rupiah per orang per tahun). Atau bisa juga mengundang konsultan untuk mengadakan workshop keamanan siber di kantor, dengan biaya beberapa juta rupiah per sesi. Untuk skala menengah, total investasi pelatihan mungkin hanya sekian puluh juta rupiah per tahun, angka yang relatif kecil dibanding konsekuensi jika staf melakukan kesalahan yang berujung peretasan. Dampak pelatihan ini sangat besar dalam membangun budaya perlindungan data perusahaan dari dalam.

Jasa Konsultan Keamanan Siber

Tidak semua perusahaan memiliki tim keamanan siber internal yang lengkap. Bisnis menengah mungkin hanya punya tim IT kecil tanpa spesialis keamanan. Di sinilah konsultan keamanan siber berperan. Investasi pada jasa konsultan meliputi audit kerentanan (vulnerability assessment), pengujian penetrasi (pentest) untuk mencoba menembus sistem layaknya hacker guna menemukan celah, serta konsultasi desain arsitektur keamanan. Konsultan juga bisa membantu menyusun strategi keamanan jangka panjang dan roadmap investasi yang efektif.

Biaya jasa konsultan siber biasanya berbasis proyek atau retainer. Sebagai ilustrasi, pentest satu aplikasi web bisa dikenai biaya mulai dari Rp20-50 juta tergantung cakupan. Audit keamanan lengkap untuk jaringan perusahaan skala menengah mungkin berkisar Rp50-100 juta. Ada pula model Managed Security Service atau Security-as-a-Service di mana perusahaan membayar biaya berlangganan bulanan untuk diawasi keamanannya oleh pihak ketiga. Investasi ini membantu perusahaan mendapatkan keahlian profesional tanpa perlu menggaji staf ahli full-time, yang gajinya pun cukup tinggi (seorang engineer cyber security di Indonesia bisa bergaji belasan juta rupiah per bulan). Dengan konsultan, perusahaan mendapat insight independen tentang posture keamanan mereka dan rekomendasi perbaikannya.

Audit Keamanan Berkala dan Sertifikasi (ISO 27001, dsb)

Bagian penting dari investasi keamanan adalah audit dan sertifikasi berkala. Audit keamanan secara periodik (misalnya tahunan) memastikan bahwa sistem perusahaan selalu diperiksa dari sudut pandang keamanan: apakah ada konfigurasi keliru, patch software yang tertinggal, atau kepatuhan terhadap standar yang dilanggar. Selain audit internal/eksternal, banyak perusahaan kini mengejar sertifikasi keamanan seperti ISO 27001 (standar manajemen keamanan informasi) untuk membuktikan komitmen mereka dalam melindungi data. Proses sertifikasi ini sendiri memerlukan investasi waktu dan biaya, termasuk konsultasi gap analysis, pembuatan dokumentasi kebijakan, pelatihan implementasi, hingga biaya audit sertifikasi oleh lembaga resmi.

Untuk perusahaan menengah, biaya implementasi ISO 27001 bisa mencapai puluhan hingga seratus juta rupiah, tergantung ruang lingkup dan kompleksitas proses bisnis. Biaya tersebut mencakup konsultasi dan audit eksternal. Meski tidak langsung murah, memiliki sertifikasi memberi banyak manfaat: meningkatkan kepercayaan klien, memenuhi persyaratan tender/bisnis tertentu, dan tentu saja memperkuat manajemen risiko keamanan secara menyeluruh. Selain ISO 27001, ada pula standar lain atau compliance yang mungkin relevan, seperti PCI DSS untuk perusahaan yang memproses data kartu kredit, atau standar industri spesifik. Investasi di area ini membantu perusahaan tetap patuh regulasi dan mengurangi peluang terkena sanksi akibat kelalaian.

Estimasi Biaya Keamanan untuk Bisnis Menengah

Berapa total investasi keamanan siber yang ideal untuk perusahaan skala menengah? Sebagai gambaran kasar, banyak ahli menyarankan alokasi sekitar 5-10% dari anggaran IT untuk keamanan. Jika sebuah perusahaan menengah menganggarkan Rp5 miliar per tahun untuk IT (termasuk infrastruktur dan SDM), maka anggaran keamanan berkisar Rp250-500 juta per tahun. Dana ini kemudian dibagi ke pos-pos seperti pembelian tools keamanan, lisensi software, pelatihan, audit, dan sebagainya seperti diuraikan di atas. Tentu saja, kebutuhan setiap organisasi berbeda. Perusahaan di sektor finansial atau teknologi kemungkinan perlu investasi lebih besar karena risiko dan tuntutan kepatuhannya lebih tinggi, sedangkan bisnis kecil mungkin bisa memulai dari langkah dasar berbiaya rendah (misal, memakai solusi open-source, training sederhana, dsb).

Yang jelas, investasi keamanan siber seharusnya dianggap sebagai bagian integral dari biaya operasional bisnis modern. Jika dibandingkan dengan potensi kerugian akibat satu kali kebocoran data yang bisa mencapai miliaran rupiah, pengeluaran ratusan juta per tahun untuk keamanan sebenarnya relatif kecil. Ibarat payung sebelum hujan, investasi ini melindungi aset tak ternilai (data) dan memastikan bisnis dapat berjalan lancar tanpa gangguan besar.

Mana yang Lebih Mahal? Simulasi Perbandingan

Setelah melihat dua sisi biaya – biaya kebocoran vs investasi keamanan – sekarang pertanyaan intinya: mana yang lebih mahal bagi perusahaan, membayar akibat kebocoran data atau berinvestasi pada keamanan? Untuk menjawabnya, mari lakukan simulasi sederhana.

Simulasi Perbandingan Biaya

Bayangkan sebuah perusahaan e-commerce menengah dengan sekitar 1 juta pengguna. Perusahaan ini mempertimbangkan dua skenario:

  • Skenario A (Investasi Minimal): Hanya memenuhi standar keamanan dasar, anggaran keamanan terbatas. Penghematan anggaran ~Rp0,5 miliar per tahun dibanding skenario optimal.
  • Skenario B (Investasi Optimal): Mengeluarkan tambahan Rp0,5 miliar per tahun untuk memperkuat keamanan (misal untuk firewall canggih, EDR, pelatihan, audit, dsb).

Anggaplah dalam periode 5 tahun, perusahaan di Skenario A mengalami satu kali kebocoran data besar. Satu insiden itu menyebabkan kerugian langsung: misalnya Rp50 miliar (karena denda, kompensasi, hilangnya pelanggan, dsb). Sementara perusahaan di Skenario B berhasil mencegah insiden besar (mungkin ada percobaan serangan tapi dapat digagalkan). Mari bandingkan:

  • Total biaya Skenario A dalam 5 tahun: investasi keamanan (sangat minim) + kerugian kebocoran. Misal investasi Rp1 miliar (selama 5 tahun) + kerugian Rp50 miliar = Rp 51 miliar.
  • Total biaya Skenario B dalam 5 tahun: investasi keamanan yang lebih tinggi tapi tanpa kebocoran besar. Investasi Rp0,5 miliar x 5 tahun = Rp2,5 miliar dan kerugian insiden besar Rp 0 (karena berhasil dicegah, walau mungkin tetap ada insiden kecil tapi dampaknya jauh lebih kecil).

Hasil simulasi ini jelas: Rp 51 miliar vs Rp2,5 miliar. Biaya di Skenario A (tanpa investasi memadai) jauh lebih mahal akibat satu kali insiden besar. Bahkan jika kita asumsikan tidak setiap perusahaan pasti terkena insiden besar dalam 5 tahun, tetap saja probabilitasnya makin meningkat seiring maraknya serangan siber. Risiko kebocoran data bukan soal "jika terjadi" tapi "kapan terjadi". Satu serangan sukses saja bisa menghapus keuntungan bertahun-tahun.

Faktor-faktor yang Membuat Biaya Kebocoran Membengkak

Ada beberapa faktor yang dapat membuat biaya kebocoran data semakin membengkak bagi perusahaan:

  • Jenis Data yang Bocor: Jika data yang dicuri sangat sensitif (misal data finansial, informasi kartu kredit, data kesehatan pasien, atau rahasia dagang), konsekuensinya lebih parah. Data finansial dan kesehatan, misalnya, diatur ketat oleh regulasi sehingga denda dan tuntutan lebih besar.
  • Skala dan Cakupan Insiden: Semakin banyak data atau akun yang terdampak, biaya notifikasi dan potensi ganti rugi akan melonjak. Kebocoran yang berdampak pada jutaan pengguna jelas lebih mahal penanganannya daripada ratusan pengguna.
  • Kecepatan Deteksi dan Respons: Waktu adalah uang dalam penanganan insiden. Jika perusahaan lambat menyadari adanya kebocoran (misalnya butuh berbulan-bulan), peretas punya banyak waktu mengeksploitasi data dan kerusakan meluas. Ponemon Institute melaporkan bahwa kebocoran data yang memakan waktu > 200 hari untuk diidentifikasi cenderung berbiaya lebih tinggi dibanding yang terdeteksi lebih cepat. Respons cepat bisa membatasi kerugian.
  • Kesiapan Tim Tanggap Insiden: Perusahaan yang tidak siap (tanpa incident response plan) akan gagap saat insiden terjadi. Akibatnya koordinasi lambat, keputusan keliru, dan pemulihan memakan waktu lebih lama, semua ini menambah kerugian. Sebaliknya, perusahaan yang siap dengan prosedur darurat dan backup dapat mengurangi downtime.
  • Lingkungan Regulasi: Jika insiden terjadi di lingkungan regulasi ketat (contoh: negara Uni Eropa dengan GDPR, atau sektor keuangan yang diawasi ketat), biaya hukum dan denda otomatis lebih besar. Perusahaan global bisa kena sanksi di multiple negara sekaligus.

Dengan memahami faktor-faktor di atas, perusahaan dapat fokus pada area krusial. Misalnya, memperpendek waktu deteksi dengan monitoring 24/7, atau memberi perlindungan ekstra pada data paling sensitif. Langkah-langkah ini akan signifikan menekan potensi biaya kebocoran data jika terjadi insiden.

Dampak Jangka Panjang terhadap Bisnis

Satu hal yang sering dilupakan dalam menghitung kerugian kebocoran data adalah dampak jangka panjang. Kerugian finansial langsung (biaya denda, ganti rugi, dll.) hanyalah sebagian dari cerita. Dalam jangka panjang, perusahaan bisa mengalami:

  • Penurunan Kepercayaan dan Loyalitas: Pelanggan setia mungkin mencari alternatif lain karena trauma atau hilang kepercayaan. Sulit mengukur nilai kehilangan trust ini, tapi bisnis pasti merasakannya dalam penurunan penjualan di masa depan.
  • Kesulitan Akuisisi Pelanggan Baru: Calon pelanggan atau mitra akan berpikir dua kali sebelum bermitra dengan perusahaan yang punya rekam jejak keamanan buruk. Biaya pemasaran harus ditingkatkan untuk meyakinkan pasar bahwa perusahaan telah berubah dan aman.
  • Dampak Terhadap Karyawan: Jangan lupa dampak ke internal. Kebocoran data besar dapat menurunkan moral karyawan, menimbulkan stres bagi tim TI/security, bahkan memicu eksodus jika karyawan merasa perusahaan tidak kompeten. Merekrut dan melatih orang baru tentu ada biayanya.
  • Tekanan Regulasi Lebih Tinggi: Pasca insiden, perusahaan biasanya akan diawasi lebih ketat oleh regulator. Ada kewajiban audit tambahan, pelaporan rutin, atau pembatasan operasional tertentu sampai masalah dinyatakan tuntas. Ini bisa menghambat fleksibilitas bisnis.
  • Pengembangan Bisnis Tertunda: Alih-alih fokus ekspansi atau inovasi baru, manajemen harus fokus memadamkan "kebakaran" dan recovery. Kesempatan pasar bisa hilang selama perusahaan sibuk membereskan dampak kebocoran.

Semua dampak jangka panjang ini mungkin tidak langsung terlihat di pembukuan tahun berjalan, tetapi dapat menggerogoti pertumbuhan perusahaan di tahun-tahun selanjutnya. Dalam arti lain, biaya kebocoran data bukan cuma apa yang terlihat di depan mata, melainkan juga opportunity cost (biaya atas hilangnya peluang) di masa depan. Jika dibandingkan, investasi keamanan yang proaktif justru mendukung keberlangsungan bisnis jangka panjang dengan menjaga pondasi kepercayaan dan stabilitas operasional.

ROI (Return on Investment) dari Investasi Keamanan Siber

Dari perspektif bisnis, setiap pengeluaran idealnya dinilai dari ROI (Return on Investment) atau tingkat pengembaliannya. Investasi keamanan siber tidak terkecuali. Meski keuntungan dari keamanan sifatnya menghindari kerugian (loss avoidance) – yang kadang sulit diukur karena berupa insiden yang tidak terjadi – kita tetap bisa menghitung estimasi ROI keamanan dengan pendekatan manajemen risiko.

Menghitung ROI Keamanan Siber

Secara konseptual, ROI investasi keamanan dapat dihitung dengan membandingkan biaya investasi dengan potensi kerugian yang berhasil dihindari berkat investasi tersebut. Rumus sederhananya:

ROI = (Penghematan atau kerugian yang dihindari – Biaya investasi) / Biaya investasi × 100%.

Penghematan di sini merujuk pada potensi kerugian dari insiden yang dapat dicegah atau diminimalisir. Tentu, tantangannya adalah mengestimasi potensi kerugian insiden. Pendekatan yang kerap digunakan dalam manajemen risiko TI adalah menghitung ALE (Annual Loss Expectancy) – ekspektasi kerugian tahunan = (probabilitas insiden dalam setahun) × (dampak kerugian jika insiden terjadi). Lalu melihat seberapa banyak ALE menurun setelah investasi keamanan dilakukan.

Sebagai contoh sederhana: tanpa kontrol keamanan yang memadai, perusahaan memperkirakan peluang 20% per tahun terjadi kebocoran data dengan dampak kerugian Rp10 miliar jika terjadi (maka ALE = 0,2 × 10 miliar = Rp2 miliar per tahun). Setelah investasi keamanan (misal meningkatkan sistem, training, dsb), probabilitas turun jadi 5% per tahun atau dampaknya berkurang, sehingga ALE baru misalnya Rp 0,5 miliar. Berarti investasi keamanan tersebut efektif "menghemat" potensi kerugian Rp1,5 miliar per tahun. Jika biaya investasi per tahun Rp 500 juta, maka secara kasar ROI = (1,5 miliar – 500 juta) / 500 juta × 100% = 200%. Tentu ini model kalkulasi sederhana, tetapi memberikan gambaran betapa pencegahan dapat memberi keuntungan dalam bentuk kerugian yang dihindari.

Pencegahan Lebih Murah daripada Perbaikan

Ada pepatah yang sangat relevan di dunia keamanan siber: “mencegah lebih murah daripada mengobati.” Uraian di atas sudah menunjukkan perbandingan biaya dan ROI-nya. Ketika sebuah perusahaan berinvestasi dalam perlindungan data, manfaat finansialnya mungkin tidak langsung terlihat sebagai pendapatan, tetapi terasa saat ancaman datang.

Mari bandingkan dalam skenario nyata: Sebuah bank menggelontorkan Rp5 miliar untuk memperkuat sistem keamanan dan berhasil mencegah upaya peretasan besar. Sementara bank lain abai, dan ketika diserang, harus menanggung kerugian Rp50 miliar. Praktis, bank pertama menghemat Rp 45 miliar berkat investasi Rp5 miliar tersebut. Itulah return yang sangat signifikan. Bahkan jika kita kurangi biaya investasi, mereka tetap unggul jauh. Nilai ROI dalam kasus ini bisa dihitung > 800%. Tidak banyak investasi lain di dunia bisnis yang dapat “membuahkan” penghematan sebesar itu dalam waktu relatif singkat.

Selain aspek finansial, ROI juga bisa dilihat dari keuntungan tidak berwujud (intangible): citra perusahaan yang terpercaya, kepatuhan regulasi yang terjamin (sehingga bisa ikut tender besar tanpa khawatir sanksi), kepuasan pelanggan karena data mereka aman, dan ketenangan manajemen dalam mengembangkan bisnis tanpa dibayangi ancaman besar. Semua itu adalah return dari investasi keamanan yang sulit diberi angka, namun jelas bernilai bagi kelangsungan usaha.

Singkatnya, perhitungan ROI keamanan siber hampir selalu menunjukkan nilai positif apabila dibandingkan dengan potensi kerugian. Tentu dengan catatan investasi tersebut dilaksanakan dengan tepat sasaran, bukan sekadar membeli perangkat mahal tanpa strategi. Itulah sebabnya perencanaan keamanan harus selaras dengan manajemen risiko bisnis agar dana yang dikeluarkan benar-benar mengurangi risiko terbesar dan memberikan perlindungan optimal.

Kesimpulan

Dari paparan di atas, jawabannya terang-benderang: berinvestasi dalam keamanan siber jauh lebih murah dan lebih bijak daripada membayar mahal akibat kebocoran data. Data merupakan aset vital dan perlindungan data perusahaan harus menjadi prioritas, bukan renungan belakangan. Biaya kebocoran data tidak hanya diukur dalam angka rupiah yang hilang, tetapi juga reputasi yang tercoreng dan kepercayaan pelanggan yang luntur. Satu insiden bisa mengakibatkan kerugian finansial puluhan kali lipat dibanding biaya pencegahan yang seharusnya dilakukan.

Investasi keamanan siber – entah itu dalam bentuk teknologi, pelatihan, maupun konsultasi – adalah bentuk perlindungan aset dan reputasi. Ibarat memasang sistem alarm dan pagar kokoh di tempat usaha, mungkin butuh biaya rutin, namun itu menjaga dari kerugian yang tak terbayar jika terjadi pencurian. Dalam dunia digital, investasi keamanan melindungi perusahaan dari kehancuran finansial dan hilangnya kepercayaan akibat serangan siber.

Sebagai penutup, perusahaan sebaiknya melihat keamanan data sebagai investment, bukan expense. Pencegahan lebih baik daripada perbaikan – dan dalam konteks ini, juga terbukti lebih murah. Jangan menunggu sampai kebocoran data terjadi dan menelan biaya triliunan; mulailah tingkatkan keamanan siber sekarang, selagi aset berharga Anda masih terlindungi. Tinjau kembali posture keamanan perusahaan Anda hari ini, alokasikan anggaran untuk peningkatan yang diperlukan, dan bangun budaya sadar keamanan di semua level. Langkah proaktif ini akan menyelamatkan bisnis Anda dari pilihan pahit "membayar lebih mahal" di kemudian hari. Dengan berinvestasi di keamanan siber, Anda sebenarnya sedang mengasuransikan masa depan perusahaan agar tetap tumbuh dan dipercaya di tengah lanskap digital yang penuh ancaman.

Bagikan:

Avatar

Andhika RDigital Marketing at Fourtrezz

Semua Artikel

Artikel Terpopuler

Berlangganan Newsletter FOURTREZZ

Jadilah yang pertama tahu mengenai artikel baru, produk, event, dan promosi.

Partner Pendukung

infinitixyberaditif

© 2025 PT Tiga Pilar Keamanan. All Rights Reserved.
Info Ordal