Senin, 16 Juni 2025 | 8 min read | Andhika R

Jejak Digital yang Tak Terhapuskan: Bagaimana Pelacakan Ilegal Bertahan di Ruang Abu-Abu Hukum

Setiap aktivitas daring yang kita lakukan meninggalkan bekas yang tak kasatmata namun nyata. Media Indonesia mencatat bahwa “setiap aktivitas daring, mulai dari berselancar di media sosial hingga melakukan transaksi perbankan, meninggalkan jejak digital” yang pada akhirnya berdampak panjang pada privasi dan reputasi pengguna. Di balik kemudahan layanan digital, terdapat wajah lain: data pribadi kita terekam dan terarsip, siap dipantau. Realitas ini memunculkan pertanyaan kritis: seberapa jauh kita terlacak? Dalam artikel ini akan dibahas bagaimana pelacakan ilegal memanfaatkan jejak digital yang “tak terhapuskan” tersebut, serta tantangan regulasi yang selama ini belum mampu mengimbangi perkembangan teknologi.

Jejak Digital yang Tak Terhapuskan Bagaimana Pelacakan Ilegal Bertahan di Ruang Abu-Abu Hukum.webp

Apa Itu Jejak Digital dan Mengapa Ia Tak Terhapuskan?

Jejak digital (digital footprint) adalah rekam jejak elektronik dari segala interaksi kita di dunia maya: halaman yang dikunjungi, pesan yang dikirim, transaksi daring, bahkan jejak lokasi. Secara umum, jejak digital dapat berupa data aktif (misalnya posting media sosial yang kita unggah secara sadar) maupun data pasif (seperti metadata lokasi dan cookie browser yang dihasilkan tanpa disadari). Kaspersky mendefinisikan jejak digital sebagai “jejak data yang kita tinggalkan saat menggunakan internet”. Karena sifat digital yang mudah disalin dan disimpan, jejak-jejak ini nyaris tidak bisa dihapus sepenuhnya. Server media sosial, penyedia layanan online, hingga perusahaan besar kerap menyimpan data pengguna di pusat data mereka. Bahkan ketika kita menghapus sebuah posting atau akun, informasi tersebut mungkin tersimpan cadangannya (backup) atau telah dibagikan ke pihak ketiga. Akibatnya, jejak digital dapat “hidup” lebih lama dari yang kita kira. Lebih jauh lagi, kebiasaan dan profil kita bisa terungkap dari penggalan data tersebut; selain mengancam privasi personal, hal ini menjadi komoditi berharga bagi perusahaan periklanan dan peneliti, serta sasaran empuk bagi penjahat siber.

Pelacakan Ilegal: Antara Inovasi dan Invasi

Kemajuan teknologi memperluas kemampuan pelacakan informasi, mulai dari analisis data besar (big data) hingga algoritma kecerdasan buatan yang mendeteksi pola perilaku pengguna. Secara legal, pelacakan ini dimanfaatkan untuk inovasi: memberi rekomendasi produk, navigasi peta, deteksi penipuan, atau kebutuhan penegakan hukum. Misalnya, sistem forensik digital dapat melacak pelaku kejahatan siber melalui jejak komunikasi dan transaksi elektronik mereka. Namun di sisi lain, teknologi pelacakan ini juga bisa disalahgunakan menjadi invasi privasi. Perusahaan besar menggunakan teknologi serupa untuk mengumpulkan data pengguna tanpa izin jelas sebagai bahan iklan. Contohnya, Google didenda besar karena “praktik pelacakan ilegal terhadap para penggunanya”. Sebuah kasus di Amerika Serikat menyebut Google membayar denda 391,5 juta USD (sekitar Rp6,08 triliun) atas pelanggaran privasi terkait pengumpulan lokasi pengguna Android secara terus-menerus. Kasus serupa terjadi pula di perusahaan lain, menandakan pergeseran data lokasi sebagai informasi pribadi yang sangat sensitif.

Di tingkat individu, pelacakan ilegal lebih jelas mengancam. Contoh terbaru muncul dari fenomena pinjol ilegal (aplikasi pinjaman online tanpa izin): banyak penyedia meneror nasabah dengan pelacakan lokasi dan nomor telepon secara sepihak. Menurut Poskota, “pelacakan lokasi melalui nomor HP tanpa izin jelas melanggar hukum dan hak atas privasi individu”. Aplikasi pinjol tertentu memang meminta akses berlebih ke data kontak, galeri, dan lokasi ponsel; data tersebut kemudian disalahgunakan untuk memantau dan mengintimidasi peminjam. Praktik itu terjadi meski secara teknis pengambilan sinyal di jaringan seluler memerlukan kewenangan operator; tetapi penyedia aplikasi nakal berhasil memanfaatkan celah-celah privasi pengguna. Semacam “inovasi gelap” semacam ini memperlihatkan betapa jejak digital yang seharusnya tersimpan di belakang layar bisa diotak-atik untuk tujuan jahat. Bahkan spyware tingkat militer seperti Pegasus memperlihatkan ekstremnya situasi ini: alat sadap canggih tersebut kabarnya pernah diadakan oleh institusi tertentu di Indonesia (misalnya kepolisian) untuk mengintai perangkat pintar korban tanpa diketahui. Pegasus mampu “masuk ke perangkat digital… dan melihat hingga mengakses apa yang biasa dilihat oleh korban”, serta menyalakan mikrofon dan kamera secara diam-diam. Gambaran ini mengingatkan bahwa pelacakan ilegal bukan hanya soal data, tapi juga menyerupai bentuk pengintaian modern yang sangat meresahkan.

Ruang Abu-Abu Hukum: Ketika Regulasi Tertinggal

Negara kita sebenarnya telah menyadari pentingnya perlindungan data. Kompas (2013) pernah menyoroti bahwa penggunaan data pribadi ilegal “dapat dilacak melalui sistem forensik digital” namun implementasi hukumnya lemah karena belum ada sanksi jelas untuk pelakunya. Baru setelah tahun 2022 lahir undang-undang khusus: UU No. 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi (UU PDP). UU ini mulai berlaku penuh pada 17 Oktober 2024. Kehadiran UU PDP dipuji sebagai landasan hukum baru untuk menjaga data warga; misalnya, pemerintah menyatakan siap menjerat pengelola data yang bersalah dengan pasal pidana dan denda sesuai undang-undang. Namun, kenyataannya ruang hukum masih berada di “zona abu-abu”. Sejumlah regulasi turunan UU PDP hingga kini belum rampung disahkan. Proses pembentukan peraturan pemerintah pelaksana, serta pembentukan Lembaga Pengawas Data Pribadi, masih berjalan lambat. Akibatnya, meski ranah teknologi sudah bergeser pesat, kerangka hukum Indonesia baru mulai mengejar. Titik lemahnya terlihat pula pada relevansi UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE); aturan ini sebenarnya juga mengatur penggunaan data pribadi secara elektronik, tapi revisi besar baru dilakukan awal 2024 untuk menambah lapisan perlindungan data. Singkatnya, dari penyadapan ilegal, penggalian data tanpa izin, hingga peredaran data curian, masih banyak celah hukum yang harus ditutup. Hukum siber di Indonesia – yang mencakup segala interaksi digital – masih berusaha menyesuaikan diri. Regulasi seolah selalu tertinggal beberapa langkah di belakang kenyataan di lapangan, sehingga terjadi kekosongan yang memungkinkan pelacakan ilegal terus berlangsung dengan risiko minimal.

Konsekuensi Etis dan Sosial

Ketidakjelasan penegakan hukum pelacakan digital menimbulkan dampak serius di ranah etika dan sosial. Pertama, invasi semacam ini melanggar privasi sebagai hak asasi manusia. Ketika data lokasi dan aktivitas dikumpulkan tanpa izin, individu kehilangan kendali atas “ruang privat” mereka. Keadaan ini bisa menimbulkan ketidaknyamanan dan kecemasan; seseorang dapat merasa selalu dipantau walau tidak melakukan hal buruk. Selain itu, data yang tersebar juga berpotensi disalahgunakan untuk kejahatan lebih lanjut. Menurut laporan IDN Times, kasus kebocoran data pribadi “tidak hanya berdampak pada privasi individu, tetapi juga menimbulkan risiko lebih luas, termasuk potensi penyalahgunaan data untuk kejahatan dunia maya”. Contohnya, pelaku kejahatan siber dapat menggunakan data curian untuk penipuan identitas, pemerasan, atau pembelian ilegal atas nama korban. Dalam konteks sosial, bocornya data riwayat medis, lokasi anak sekolah, atau data sensitif lainnya bisa menjurus pada pelecehan, doxing, bahkan diskriminasi oleh pihak tak bertanggung jawab. Dampaknya tak hanya pada individu; kepercayaan publik pun melemah. Ketika anggota masyarakat tahu data mereka gampang dijual atau bocor, rasa aman dalam berinteraksi secara online pun terserang. Dalam jangka panjang, hal ini dapat menghambat kepercayaan pada institusi maupun pemerintah. Misalnya, bila diketahui pemerintah menggunakan spyware untuk kepentingan tertentu, kepercayaan politik bisa terkikis. Secara etis, keyakinan bahwa privasi itu hak mendasar di era demokrasi wajib dipertahankan. Pelanggaran massal pada privasi ini berpotensi menciptakan “efek chilling”, di mana orang takut mengutarakan pendapat di dunia maya karena khawatir data pribadi mereka akan diekspos dan digunakan melawan mereka. Singkatnya, jejak digital yang tak terhapuskan dan pelacakan ilegalnya bukan hanya masalah teknis, tapi juga soal keadilan sosial dan kebebasan sipil yang terancam.

Perlindungan & Tanggung Jawab: Apa yang Bisa Dilakukan?

Melihat kompleksitas masalah di atas, perlindungan data pribadi harus menjadi tanggung jawab bersama. Bagi individu, langkah pencegahan dasar perlu ditempuh. Misalnya, batasi penyebaran informasi sensitif di media sosial, perkuat kata sandi dan aktifkan autentikasi dua-faktor (2FA) pada akun-akun penting, serta manfaatkan pengaturan privasi pada aplikasi smartphone untuk meminimalkan pelacakan. Penggunaan alat keamanan seperti VPN dan enkripsi komunikasi juga dianjurkan untuk mengurangi jejak digital yang terekam pihak ketiga. Bila memungkinkan, hapus akun yang sudah tidak dipakai dan rutin membersihkan riwayat penelusuran (history) atau cache browser.

  • Bagi penyelenggara layanan dan perusahaan teknologi, sudah semestinya menerapkan prinsip perlindungan data (“privacy by design”). Ini meliputi prosedur minimalisasi data (hanya kumpulkan yang benar-benar diperlukan), transparansi kebijakan privasi yang jelas, serta audit keamanan berkala. Implementasi UU PDP harus dioptimalkan: misalnya, menunjuk petugas perlindungan data internal, melakukan riset dampak privasi (privacy impact assessment), serta membuka jalur aduan bagi konsumen yang merasa dikecewakan. Pengawas independen (nanti lembaga PDP) juga wajib menjalankan audit kepatuhan dengan tegas.
  • Pemerintah dan regulator memiliki peran krusial. Selain merampungkan aturan turunan UU PDP, publik perlu mendapatkan edukasi literasi digital. Kampanye kesadaran tentang bahaya pelacakan ilegal dan cara perlindungan data harus digencarkan. Penegakan hukum pun harus nyata: aparat penegak hukum harus aktif mengejar penyalahguna data, sedangkan pengadilan memeriksa bukti-bukti digital dengan berorientasi pada aturan terbaru. Pada tataran yang lebih luas, pemerintah harus memastikan ekosistem digital aman melalui kerjasama internasional—misalnya, menyelaraskan standar perlindungan data dengan mitra dagang global—serta mendorong pengembangan teknologi keamanan (seperti enkripsi domestik atau sertifikasi keamanan siber).

Teknologi itu sendiri juga dapat membantu privasi: misalnya memanfaatkan privasi diferensial, desain perangkat lunak tanpa pelacakan (ad and tracker blockers), serta mempromosikan penggunaan layanan berbasis enkripsi ujung-ke-ujung. Pengguna harus proaktif memperbarui perangkat lunak (agar tidak mudah disusupi oleh spyware), dan memeriksa izin aplikasi. Ketika setiap pihak menjalankan tanggung jawabnya, lingkungan digital dapat menjadi lebih sehat. Dengan UU PDP yang kini ada, Indonesia setidaknya memiliki payung hukum; namun penerapannya membutuhkan dukungan kolektif agar privasi benar-benar terlindungi sebagai hak, bukan pilihan.

Kesimpulan: Saatnya Privasi Menjadi Hak, Bukan Pilihan

Dalam dunia yang semakin terhubung, jejak digital yang kita tinggalkan tidak pernah benar-benar hilang. Jejak tersebut telah menjadi basis bagi berbagai inovasi bermanfaat, tetapi juga membuka ruang penyalahgunaan lewat pelacakan ilegal. Bagian krusial dari perubahan ke depan adalah menutup “ruang abu-abu” hukum yang selama ini memungkinkan tindakan invasi. Dengan Undang-Undang Pelindungan Data Pribadi yang mulai berlaku, Indonesia melangkah ke era baru — namun upaya nyata untuk penegakan dan edukasi masih terus dibutuhkan. Warga negara harus terus waspada, memperkuat kesadaran privasi, dan menuntut akuntabilitas pengelola data. Hanya jika upaya perlindungan dijunjung bersama oleh individu, korporasi, dan negara, privasi digital kita dapat dijamin sebagai hak konstitusional. Jejak digital harusnya menjadi sekadar bayangan kebebasan berekspresi dan inovasi, bukan belenggu tak kasat mata yang mengancam hak asasi setiap orang. Karena pada akhirnya, privasi bukanlah fasilitas tambahan, melainkan hak fundamental yang harus ditegakkan di era digital ini.

Bagikan:

Avatar

Andhika RDigital Marketing at Fourtrezz

Semua Artikel

Artikel Terpopuler

Berlangganan Newsletter FOURTREZZ

Jadilah yang pertama tahu mengenai artikel baru, produk, event, dan promosi.

Partner Pendukung

infinitixyberaditif

© 2025 PT Tiga Pilar Keamanan. All Rights Reserved.
Info Ordal