Senin, 4 Agustus 2025 | 24 min read | Andhika R

Malvertising: Wajah Gelap di Balik Iklan Digital

Iklan digital telah menjadi bagian tak terpisahkan dari pengalaman internet modern. Setiap kali kita membuka situs web berita, media sosial, atau platform berbagi video, hampir dapat dipastikan ada iklan yang menghiasi layar. Iklan-iklan ini membantu mendanai konten gratis yang kita nikmati, namun di balik kilau dan warna-warni banner tersebut, tersimpan wajah gelap iklan digital yang jarang disadari pengguna. Wajah gelap itu adalah malvertising – sebuah ancaman siber yang memanfaatkan iklan online sebagai kendaraan untuk menyebarkan malware dan aksi jahat lainnya.

Mengapa iklan digital bisa berbahaya? Bukankah iklan hanya konten pemasaran biasa? Kenyataannya, iklan digital dapat menjadi gerbang bagi malware masuk ke komputer atau perangkat kita. Malvertising (malicious advertising) menunggangi jaringan iklan yang sah untuk menyisipkan kode berbahaya. Akibatnya, pengguna internet yang tak curiga bisa terinfeksi malware hanya karena melihat atau mengklik iklan yang tampak normal. Parahnya lagi, hal ini bisa terjadi bahkan di situs-situs tepercaya sekalipun. Statistik global menunjukan tren serangan malvertising yang meningkat pesat. Sebuah laporan keamanan siber mengungkapkan kampanye malvertising skala besar meningkat sekitar 50% pada tahun 2023 dibanding tahun sebelumnya. Di samping itu, di berbagai belahan dunia termasuk Asia, kasus penipuan melalui iklan terus melonjak tajam seiring kian masifnya penggunaan internet. Indonesia sendiri tidak luput dari risiko ini – laporan Microsoft Security tahun 2019 menunjukkan bahwa tingkat serangan drive-by download (unduhan malware otomatis tanpa klik) di Indonesia mencapai 1,5 kali rata-rata global. Angka-angka ini menegaskan bahwa kewaspadaan terhadap iklan online perlu ditingkatkan, bahkan ketika kita berselancar di situs populer yang kita percaya. Iklan digital seharusnya menjadi sarana promosi yang aman, namun jika dimanfaatkan oleh pihak tak bertanggung jawab, iklan bisa berbalik menjadi ancaman.

Malvertising Wajah Gelap di Balik Iklan Digital.webp

Apa Itu Malvertising?

Istilah Malvertising berasal dari gabungan kata “malware” dan “advertising”. Secara sederhana, malvertising adalah praktik penyebaran malware melalui iklan daring. Dalam skenario ini, penjahat siber menyusupkan kode berbahaya ke dalam materi iklan yang ditayangkan di situs web. Iklan yang sudah terinfeksi tersebut lantas didistribusikan melalui jaringan periklanan ke berbagai situs. Ketika iklan muncul di layar pengguna, kode berbahaya bisa diaktifkan – baik melalui klik pengguna maupun secara otomatis – untuk menginfeksi perangkat korban.

Malvertising mulai dikenal sejak akhir tahun 2000-an ketika sejumlah situs web ternama secara tak sengaja menampilkan iklan berbahaya. Salah satu contoh awal terjadi pada tahun 2009, saat pengunjung situs The New York Times dikejutkan oleh iklan palsu yang menyamar sebagai notifikasi antivirus. Sejak itu, istilah malvertising semakin populer digunakan untuk mendeskripsikan semua kasus di mana iklan online digunakan sebagai saluran serangan malware.

Penting untuk membedakan malvertising dari iklan spam atau iklan scam biasa. Iklan spam atau penipuan umumnya berisi klaim palsu atau promosi menyesatkan (misalnya iklan produk ajaib, penawaran investasi fiktif, atau penipuan phishing) yang bertujuan mengelabui korban secara sosial. Meski iklan spam/scam juga merugikan, biasanya mereka tidak secara langsung memasukkan kode berbahaya ke perangkat korban. Malvertising berbeda karena melibatkan komponen teknis malware – yaitu ada upaya eksploitasi sistem atau penyebaran virus melalui media iklan. Dengan kata lain, jika iklan scam “hanya” menipu pengguna agar menyerahkan uang atau informasi, malvertising langsung memanfaatkan iklan untuk menginfeksi atau mengambil alih perangkat korban. Tentu, perbedaannya bisa kabur karena sering kali malvertising juga mengandung elemen penipuan (misal iklan yang mengaku “Anda menang hadiah, klik di sini” namun sebenarnya memasang malware). Namun intinya, malvertising adalah ancaman yang lebih berbahaya daripada sekadar iklan menjengkelkan – ia merupakan perpaduan trik penipuan dan serangan malware sekaligus.

Cara Kerja Malvertising

Bagaimana penjahat siber menyisipkan malware ke dalam iklan dan menargetkan pengguna? Proses cara kerja malvertising biasanya melibatkan beberapa tahap berikut:

  • Penyusupan ke Jaringan Iklan: Pertama, pelaku kejahatan akan membuat atau menyusupkan kode malware ke dalam materi iklan digital. Mereka mungkin membuat banner, pop-up, atau media iklan lain yang tampak normal, namun di baliknya terselip skrip berbahaya. Untuk mendistribusikannya, pelaku bergabung dengan jaringan periklanan (advertising network) atau platform ad exchange, sering kali dengan menyamar sebagai pengiklan sah. Jaringan iklan ini menjadi jalur penyebaran karena banyak situs web – termasuk situs berita besar dan portal populer – mempercayakan slot iklan mereka pada jaringan pihak ketiga. Pelaku memanfaatkan rantai distribusi iklan yang kompleks ini untuk memasukkan iklan berbahaya ke arus iklan normal tanpa terdeteksi pihak penyedia iklan maupun publisher.
  • Penayangan di Situs Tepercaya: Setelah berhasil melewati pemeriksaan awal, iklan berbahaya tersebut akan mulai tayang di berbagai situs web sebagai bagian dari rotasi iklan biasa. Yang mengkhawatirkan, situs-situs tepercaya pun dapat menampilkan malvertising tanpa sadar, karena mereka menerima feed iklan dari jaringan. Pengguna yang mengunjungi situs berita, forum terkenal, atau bahkan portal pemerintahan bisa saja disuguhi iklan berbahaya di samping konten asli situs tersebut. Iklan ini secara kasat mata terlihat wajar – mungkin berupa banner promosi produk atau iklan layanan – sehingga tidak memicu kecurigaan.
  • Redirect Otomatis ke Situs Berbahaya: Begitu iklan malvertising dimuat di halaman web, kode jahat di dalamnya biasanya langsung bekerja. Mekanisme redirect otomatis sering digunakan: tanpa perlu klik sekalipun, iklan dapat mengarahkan browser pengguna ke sebuah situs web eksternal yang telah disiapkan penyerang. Tiba-tiba pengguna mendapati muncul tab baru atau jendela pop-up yang membawa mereka ke halaman asing – inilah tanda bahwa malvertising sedang menjalankan aksinya. Dalam kasus lain, terkadang serangan aktif setelah pengguna mengklik iklan (misalnya karena tergiur penawarannya), barulah terjadi pengalihan. Apa pun pemicunya, tujuannya sama: membawa korban ke situs berbahaya di luar situs asli yang dikunjungi.
  • Eksploitasi dan Infeksi Malware: Pada tahap ini, pengguna berada di situs jebakan penyerang. Sering kali situs berbahaya tersebut telah dilengkapi exploit kit – yaitu paket program yang dirancang untuk memanfaatkan kelemahan (vulnerabilities) pada sistem korban. Exploit kit secara otomatis akan memindai perangkat pengunjung untuk melihat apakah ada celah keamanan, misalnya versi peramban yang usang, plugin Flash/Java yang rentan, atau sistem operasi tanpa patch terbaru. Jika ditemukan celah, exploit kit akan melancarkan serangan drive-by download, di mana malware diunduh dan dijalankan di perangkat korban tanpa perlu persetujuan pengguna. Serangan ini terjadi nyaris tanpa gejala; pengguna mungkin tidak menyadari apa pun kecuali sedikit lag di browser. Dalam sekejap, perangkat bisa terinfeksi ransomware, trojan perbankan, spyware, atau jenis malware lain yang disisipkan penjahat. Penting dicatat bahwa beberapa malvertising tidak memerlukan klik sama sekali – cukup dengan memuat halaman web yang berisi iklan tercemar, rantai infeksi dapat dimulai otomatis via kode tersembunyi seperti iframe tak kasat mata.
  • Eksekusi Payload dan Aksi Jahat: Setelah malware masuk ke perangkat korban, tahap akhir adalah eksekusi program jahat tersebut. Bergantung pada tujuan penyerang, malware bisa langsung mengunci file korban (ransomware meminta tebusan), mencuri data pribadi dan informasi login, memasang backdoor untuk akses jarak jauh, atau bahkan memanfaatkan komputer korban untuk cryptojacking (menambang cryptocurrency secara rahasia). Di sisi lain, ada pula malvertising berbentuk iklan phishing yang mengarahkan korban mengisi formulir data sensitif di halaman palsu. Apa pun bentuk akhirnya, semua ini dimulai dari sebuah iklan online yang kelihatannya tidak berbahaya.

Setelah satu siklus serangan berhasil, biasanya para pelaku tidak berhenti. Mereka akan mengulangi metode ini dengan variasi baru, misalnya mengganti identitas pengiklan, memodifikasi kode malware agar lolos deteksi antivirus, atau mencari celah di jaringan iklan lain. Itulah mengapa malvertising terus berkembang menjadi ancaman yang sulit dilacak. Kombinasi teknik periklanan (seperti real-time bidding untuk menargetkan korban tertentu) dengan trik malware canggih membuat malvertising menjadi serangan siber yang unik – memanfaatkan infrastruktur iklan yang ada untuk menyebarkan ancaman secara masif.

Contoh Kasus Nyata Malvertising

Ancaman malvertising bukan sekadar teori; sudah banyak kasus nyata di mana situs web populer turut menjadi korban penyebaran iklan berbahaya ini. Berikut beberapa contoh yang mengilustrasikan skala dan dampaknya:

  • Serangan di Yahoo (2015): Salah satu serangan malvertising terbesar terjadi pada Yahoo, salah satu portal web terbesar di dunia. Pada Agustus 2015, terungkap bahwa penjahat siber berhasil membeli ruang iklan di situs-situs Yahoo dan menayangkan iklan berisi malware. Iklan tersebut mengeksploitasi kelemahan Adobe Flash di komputer pengguna untuk menginstall ransomware dan malware lainnya. Yang mengkhawatirkan, serangan ini berlangsung silent tanpa interaksi pengguna – cukup dengan mengunjungi situs Yahoo yang menampilkan iklan tercemar, perangkat bisa terkena infeksi. Menurut perusahaan keamanan yang menemukan kasus ini, itu merupakan salah satu kampanye malvertising terbesar yang pernah tercatat pada masanya. Yahoo segera menarik iklan tersebut begitu mendapat laporan, namun ribuan pengguna diperkirakan sudah terpapar. Insiden ini merusak kepercayaan pengguna karena menunjukkan bahwa bahkan portal mainstream sekelas Yahoo pun dapat disusupi iklan jahat. Reputasi Yahoo sempat tercoreng, dan insiden ini menjadi lampu kuning bagi industri periklanan online untuk memperketat pengawasan keamanan.
  • Forbes (2016): Kasus terkenal lainnya menimpa situs bisnis dan finansial ternama, Forbes. Ironisnya, Forbes kala itu meminta pengunjung mematikan pemblokir iklan (ad blocker) agar bisa mengakses konten situs mereka. Namun tak lama setelah pengguna memenuhi permintaan tersebut, beberapa dari mereka justru disuguhi malware melalui iklan di halaman Forbes. Iklan berbahaya itu menampilkan pop-up dan mengarahkan ke exploit kit yang mencoba menanam malware di komputer pengunjung. Kasus Forbes ini menjadi sorotan luas di media teknologi karena memperlihatkan betapa riskannya ekosistem iklan: pengunjung yang berniat baik (mengizinkan iklan) justru terkena imbas negatif. Bagi Forbes, insiden ini merupakan pukulan reputasi sekaligus pembelajaran agar lebih waspada dalam memfilter konten iklan dari jaringan pihak ketiga.
  • Huffington Post dan The New York Times: Beberapa tahun sebelumnya, situs berita populer seperti Huffington Post dan NYTimes.com juga pernah menjadi korban malvertising. Pada 2014-2015, Huffington Post diketahui dua kali menayangkan iklan berisi kode redirect ke malware (salah satunya melalui exploit kit bernama Angler). Sementara NYTimes pada 2009 mengalami kejadian iklan palsu berbentuk pop-up antivirus yang menipu pengguna untuk mengunduh malware. Kedua contoh ini menggarisbawahi bahwa media arus utama pun tak kebal terhadap serangan malvertising. Meskipun perusahaan media tersebut tidak berniat menyebarkan malware, jaringan iklan yang mereka gunakan berhasil disusupi pelaku, sehingga insiden terjadi di luar kendali langsung redaksi. Akibatnya, pengguna yang hanya berniat membaca berita pun terpapar risiko keamanan.
  • Studi Kasus Lokal: Bagaimana dengan Indonesia? Walau kasus malvertising di Indonesia tidak banyak diekspos dalam pemberitaan, bukan berarti tidak ada. Situs-situs lokal dan regional juga menghadapi ancaman serupa, terutama jika menggunakan jaringan iklan tanpa pengawasan keamanan ketat. Beberapa platform iklan global yang menargetkan pengguna Indonesia bisa saja menjadi jalan masuk malvertising. Bahkan perusahaan teknologi besar seperti Google dan Facebook pun pernah diinfeksi iklan berbahaya di layanan mereka, menurut keterangan pakar industri. Ini menunjukkan bahwa skala perusahaan atau lokasi geografis bukan jaminan bebas dari risiko. Sebuah contoh sederhana, misalnya pada tahun 2022 platform iklan MGID memperingatkan bahwa semua publisher dari kecil hingga raksasa berpotensi menjadi korban malvertising bila tidak siap menghadapi ancaman ini. Dampak bagi situs yang terkena jelas merugikan: selain mengancam keselamatan pengguna, kredibilitas situs pun turun. Pengunjung yang tahu suatu situs pernah menyebarkan malware kemungkinan besar enggan kembali, sehingga trafik dan pendapatan iklan situs tersebut bisa anjlok.

Dari berbagai contoh di atas, pelajaran penting yang muncul adalah tidak ada situs yang 100% aman dari malvertising. Para penjahat siber sengaja menyasar situs-situs dengan audiens besar karena potensi korban lebih banyak. Setiap kasus malvertising merugikan semua pihak: pengguna menderita infeksi malware dan kehilangan data, publisher kehilangan kepercayaan dan harus menanggung biaya pemulihan, sedangkan industri iklan secara keseluruhan tercoreng citranya.

Jenis-jenis Serangan melalui Malvertising

Malvertising merupakan metode, sedangkan tujuan akhirnya dapat bervariasi. Berikut ini beberapa jenis serangan atau aksi jahat yang sering disebarkan melalui teknik malvertising:

  • Redirect ke Situs Phishing: Salah satu skenario malvertising adalah iklan yang ketika diklik atau otomatis dijalankan akan mengalihkan pengguna ke situs phishing. Situs phishing ini biasanya meniru halaman login atau formulir situs resmi (misalnya situs bank, portal email, atau e-commerce populer) dan berusaha mengelabui korban untuk memasukkan data kredensial, nomor kartu kredit, atau informasi sensitif lainnya. Iklan malvertising jenis ini mungkin tidak langsung menginfeksi perangkat dengan virus, tetapi menipu korban agar menyerahkan data berharga. Contohnya, sebuah banner iklan mungkin menampilkan promo hadiah atau pengumuman “akun Anda perlu diverifikasi”, yang ketika diklik membawa ke halaman login palsu. Jika pengguna terpancing dan memasukkan data, penjahat akan mencuri informasi tersebut untuk disalahgunakan. Dampaknya bisa berupa pembobolan rekening, pencurian identitas, atau penyalahgunaan akun korban.
  • Penyebaran Ransomware: Malvertising kerap menjadi pintu masuk serangan ransomware, yakni malware yang mengenkripsi data korban dan meminta tebusan. Seperti diuraikan sebelumnya, exploit kit yang dijalankan melalui iklan berbahaya dapat menanam file ransomware ke komputer korban tanpa diketahui. Setelah aktif, ransomware akan mengunci file-file penting (dokumen, foto, database) dan menampilkan pesan tuntutan tebusan dalam bentuk uang (seringnya mata uang kripto) agar file dikembalikan. Iklan berbahaya yang menyebarkan ransomware ini biasanya memanfaatkan kelemahan software korban (misalnya sistem operasi atau plugin browser yang belum di-update). Begitu kelemahan dieksploitasi, malware jenis ransomware terunduh otomatis. Serangan ransomware melalui malvertising sangat merusak karena pengguna biasa tidak menyangka bahwa hanya dengan membuka situs berita, tiba-tiba data di komputernya bisa disandera penjahat.
  • Penyusupan Trojan dan Spyware: Selain ransomware, malvertising juga digunakan untuk menyuntikkan trojan (program jahat yang menyamar sebagai aplikasi legit) atau spyware ke sistem korban. Trojan yang dipasang lewat malvertising bisa berbentuk trojan perbankan yang diam-diam mencuri data login dan informasi finansial saat korban bertransaksi online. Sementara spyware adalah malware yang bertugas memata-matai aktivitas korban, misalnya merekam ketikan keyboard (keylogger) untuk mencuri password, mengaktifkan mikrofon/kamera secara rahasia, atau memantau situs apa saja yang dikunjungi korban. Iklan yang membawa trojan/spyware sering kali tidak menunjukkan gejala langsung. Korban mungkin tetap bisa menggunakan komputernya normal, namun di balik layar trojan sudah membuat “pintu belakang” (backdoor) bagi hacker untuk masuk atau spyware sedang mengirim laporan data ke server penjahat. Efek jangka panjangnya bisa sangat merugikan karena data pribadi dan rahasia bisnis dapat diakses pihak tak berwenang tanpa sepengetahuan kita.
  • Cryptojacking melalui JavaScript Tersembunyi: Istilah cryptojacking mengacu pada praktik menyalahgunakan komputer orang lain untuk menambang mata uang kripto (cryptocurrency) tanpa izin. Malvertising menjadi salah satu cara cryptojacking menyebar dengan memanfaatkan kode JavaScript tersembunyi di iklan. Dalam skenario ini, iklan berbahaya tidak langsung mengunduh virus yang merusak sistem, melainkan menjalankan kode penambangan kripto (seperti Monero) saat iklan ditampilkan. Kode JavaScript tersebut akan memaksa prosesor perangkat korban bekerja keras memecahkan algoritma kriptografi, yang hasilnya masuk ke dompet kripto milik penyerang. Bagi korban, dampaknya adalah perangkat menjadi sangat lambat, cepat panas, dan sumber daya baterai atau listrik terkuras, tanpa tahu penyebabnya. Cryptojacking lewat iklan pernah marak ketika harga cryptocurrency melonjak; banyak penjahat menyisipkan miner ke iklan di berbagai situs untuk memperoleh keuntungan. Meski tidak mencuri data atau merusak file korban, cryptojacking tetap berbahaya karena bisa merusak perangkat (jika dibiarkan overheat) dan jelas merupakan pencurian sumber daya komputasi milik orang lain.

Perlu dicatat, keempat jenis serangan di atas bukanlah daftar tertutup. Teknik malvertising dapat pula digunakan untuk distribusi adware (perangkat lunak yang memaksa iklan tak diinginkan muncul terus menerus), penyebaran scareware (iklan yang menakut-nakuti korban bahwa komputernya terkena virus lalu menawarkan software palsu), atau sekadar menjalankan penipuan klik iklan (ad fraud) untuk keuntungan finansial si pelaku. Intinya, malvertising adalah modus – hasil akhirnya bergantung pada malware atau skema apa yang disematkan oleh penjahat ke dalam iklan tersebut.

Mengapa Situs Terpercaya Juga Bisa Jadi Sarang Malvertising?

Salah satu aspek menakutkan dari malvertising adalah kemampuannya muncul bahkan di situs-situs yang selama ini kita anggap “bersih” dan terpercaya. Banyak orang berasumsi bahwa hanya situs bajakan, situs pornografi, atau website abal-abal yang berisiko membawa malware. Faktanya, situs web arus utama dengan reputasi baik pun bisa menjadi sarang malvertising. Mengapa hal itu bisa terjadi? Berikut beberapa alasannya:

  • Rantai Jaringan Iklan yang Kompleks: Ekosistem iklan digital melibatkan banyak pihak – mulai dari pengiklan, agen, jaringan iklan (ad networks), platform lelang iklan (ad exchanges, DSP/SSP), hingga publisher (pemilik situs). Proses penayangan iklan sering berlangsung otomatis lewat sistem lelang real-time saat halaman dimuat. Karena rantai distribusinya sangat panjang dan kompleks, celah keamanan bisa muncul di berbagai titik. Penjahat siber memanfaatkan kerumitan ini untuk menyusup di tengah-tengah. Sebuah situs berita biasanya tidak menjual iklannya satu per satu ke pengiklan akhir, melainkan melalui perantara jaringan iklan. Celah muncul jika salah satu perantara itu kecolongan menerima materi iklan berbahaya. Dengan demikian, situs tepercaya yang terhubung ke jaringan tersebut ikut menampilkan konten jahat tanpa menyadarinya. Singkatnya, situs besar pun rentan karena bergantung pada integritas pihak ketiga dalam rantai pasok iklan digital.
  • Kurangnya Pemeriksaan Keamanan di Pihak Ketiga: Banyak platform periklanan lebih fokus pada validasi konten iklan secara permukaan (apakah iklan sesuai aturan komunitas, tidak mengandung pornografi atau ujaran kebencian, dsb) ketimbang pemeriksaan mendalam soal kode di balik iklan. Iklan display modern bisa berisi elemen script, media interaktif, atau pengalihan URL. Bila jaringan iklan tidak memiliki filter keamanan yang canggih, kode berbahaya dapat lolos dari pemeriksaan. Terlebih lagi, aktor jahat kerap menggunakan teknik cloaking – menutupi perilaku asli iklan dari tinjauan moderator. Misalnya, selama proses review, iklan menampilkan konten normal; namun setelah disetujui dan tayang, barulah kode jahat diaktifkan untuk audiens tertentu. Minimnya inspeksi teknis dan pemantauan aktif dari pihak jaringan iklan membuat malvertising berhasil beredar luas sebelum terdeteksi. Apalagi, jika jaringan iklan tersebut berskala besar, satu iklan berbahaya bisa langsung menjangkau ratusan situs.
  • Tantangan Bagi Publisher untuk Memantau Iklan: Pemilik website (publisher) sebenarnya pihak yang paling dirugikan jika pengunjungnya terkena serangan lewat iklan. Sayangnya, kemampuan publisher untuk memantau setiap iklan yang tampil di situs mereka sangat terbatas. Dalam satu hari, mungkin ribuan kreatif iklan berbeda muncul di halaman mereka secara dinamis. Memeriksa satu per satu iklan secara manual nyaris mustahil. Publisher biasanya mengandalkan kepercayaan pada jaringan iklan atau platform yang mereka gunakan. Bahkan jika publisher ingin melakukan kontrol, secara teknis tidak mudah – iklan datang dan pergi dengan cepat, terkadang ditargetkan secara geografis atau demografis sehingga admin situs sendiri belum tentu melihat iklan yang sama dengan pengguna. Para penyerang memanfaatkan celah ini, misalnya dengan mengatur agar iklan jahat hanya muncul untuk pengguna di wilayah atau perangkat tertentu, sehingga sulit dilacak. Walhasil, situs bonafide pun bisa “kecolongan” menampilkan malvertising sebelum ada laporan dari pengguna atau peneliti keamanan. Bagi publisher, hal ini menjadi dilema: di satu sisi pendapatan iklan penting untuk operasional, di sisi lain mereka harus menjaga pengalaman pengguna agar aman.

Singkatnya, situs terpercaya bisa menjadi sarang malvertising bukan karena lalai atau berniat buruk, tetapi karena sifat ekosistem iklan digital yang terbuka dan kompleks. Pelaku kejahatan mengambil keuntungan dari kepercayaan antar pihak di industri iklan. Mereka ibarat menyuntikkan racun ke aliran air yang diminum banyak orang. Dampaknya, semua pemangku kepentingan – mulai dari jaringan iklan, publisher, hingga pengguna – terkena efek negatifnya. Kejadian malvertising di platform besar seperti Yahoo, Google, atau media mainstream membuktikan bahwa tidak ada jaminan 100% meski sebuah platform sudah punya reputasi keamanan baik. Oleh sebab itu, diperlukan upaya kolektif untuk memperbaiki keamanan jaringan iklan dan kesadaran semua pihak untuk menghadapi ancaman ini.

Cara Mendeteksi dan Menghindari Malvertising

Menghadapi ancaman malvertising, setiap pengguna internet perlu mengambil langkah proaktif untuk melindungi diri. Berikut adalah beberapa cara mendeteksi dan menghindari malvertising yang dapat dilakukan baik oleh individu maupun organisasi:

  • Gunakan Browser dengan Proteksi Keamanan: Pastikan Anda menjelajah dengan peramban (browser) yang memiliki fitur keamanan terkini. Browser modern seperti Google Chrome, Mozilla Firefox, atau Microsoft Edge umumnya dilengkapi proteksi real-time terhadap situs phishing dan malware (contohnya fitur Google Safe Browsing). Aktifkan fitur keamanan ini agar Anda mendapatkan peringatan jika suatu halaman terdeteksi berbahaya. Selain itu, pertimbangkan untuk mengubah pengaturan plugin seperti Flash atau Java (jika masih digunakan) menjadi “klik-untuk-menjalankan” (click-to-play), sehingga konten aktif tidak langsung berjalan otomatis. Ini dapat mencegah drive-by download dari iklan yang diam-diam menjalankan kode eksploitasi.
  • Instal Pemblokir Iklan atau Skrip Berbahaya: Ad blocker adalah ekstensi atau software yang dapat menyaring iklan dari halaman web. Menggunakan ad blocker dapat secara drastis mengurangi risiko terpapar malvertising, karena mayoritas iklan pihak ketiga akan diblokir sebelum sempat muncul. Ada banyak opsi pemblokir iklan (misal: uBlock Origin, AdBlock Plus) yang dapat dipasang di browser. Selain itu, script blocker seperti NoScript (pada Firefox) memungkinkan Anda memblokir eksekusi kode JavaScript dari domain yang tidak dikenal. Dengan memblokir skrip pihak ketiga, potensi kode malware dari iklan bisa dicegah. Perlu diingat, beberapa situs mungkin tidak berfungsi penuh jika semua iklan diblokir, namun Anda bisa mengatur pengecualian untuk situs tepercaya. Bagi perusahaan, penerapan filter iklan di gateway internet kantor juga bisa dipertimbangkan untuk melindungi karyawan saat browsing.
  • Waspadai dan Hindari Iklan Mencurigakan: Sikap waspada adalah lini pertahanan pertama. Jangan sembarang mengklik iklan, terutama yang terlihat terlalu bagus untuk jadi kenyataan atau muncul tiba-tiba mengalihkan layar Anda. Contohnya, iklan yang menawarkan hadiah fantastis, peringatan “komputer Anda terkena virus” yang mendadak muncul, atau iklan berkedok software penting yang meminta download segera – semua itu patut dicurigai sebagai malvertising atau scam. Meskipun iklan tersebut muncul di situs yang kredibel, tetap lakukan pengecekan. Lihat URL tujuan dengan mengarahkan kursor (tanpa klik) pada iklan: apakah mengarah ke domain asing atau aneh? Bila ragu, lebih baik abaikan iklan tersebut. Budayakan skeptis terhadap pop-up atau tab baru yang muncul tanpa interaksi jelas. Menutup paksa jendela tersebut (melalui Task Manager jika perlu) lebih aman daripada berinteraksi dengannya.
  • Gunakan Perangkat Lunak Keamanan Terbaru: Pastikan di perangkat Anda terpasang antivirus dan anti-malware yang update. Software keamanan yang kredibel biasanya memiliki modul perlindungan web yang bisa mendeteksi upaya eksploitasi dari malvertising. Misalnya, jika sebuah iklan mencoba mengunduh file berbahaya, antivirus yang up-to-date dapat mendeteksi dan menghentikannya sebelum infeksi terjadi. Selain itu, rutinlah memperbarui sistem operasi dan aplikasi Anda. Banyak serangan malvertising berhasil karena mengeksploitasi kelemahan pada software lama (seperti celah keamanan di versi Windows atau browser lama). Dengan mengaktifkan update otomatis, Anda menutup pintu celah-celah yang mungkin dimanfaatkan exploit kit. Anggaplah update keamanan sebagai bagian penting dari hygiene digital untuk mencegah serangan melalui iklan maupun vektor lain.
  • Edukasi dan Kebijakan untuk Karyawan: Bagi organisasi atau perusahaan, faktor manusia sering menjadi titik lemah keamanan. Edukasi keamanan siber bagi karyawan sangat penting, termasuk sosialisasi tentang bahaya malvertising. Buatlah kebijakan internal yang melarang atau membatasi klik iklan online dari komputer kerja, kecuali memang diperlukan. Adakan pelatihan agar karyawan dapat mengenali ciri-ciri iklan mencurigakan dan tahu langkah yang harus diambil jika secara tidak sengaja diarahkan ke situs berbahaya (misalnya segera lapor ke tim IT). Kesadaran individu untuk tidak asal sembarang klik akan mengurangi kemungkinan jaringan kantor terinfeksi malware akibat satu komputer pegawai terkena malvertising. Selain itu, tim keamanan TI perusahaan bisa memasang solusi DNS filtering atau Secure Web Gateway yang otomatis memblokir domain-domain berbahaya, sehingga jika ada iklan nakal mencoba redirect pun, akses tersebut akan ditolak oleh sistem sebelum mencapai pengguna.

Dengan kombinasi langkah-langkah di atas, risiko dari malvertising dapat ditekan seminimal mungkin. Tentu tidak ada jaminan 100% aman, namun setidaknya kita bisa memperkecil peluang iklan berbahaya sukses menginfeksi perangkat kita. Ibarat pepatah, mencegah lebih baik daripada mengobati – sikap waspada dan protektif dalam berinternet adalah kunci menghadapi ancaman seperti malvertising.

Peran Penyedia Jaringan Iklan dan Regulator

Karena malvertising berakar dari ekosistem iklan digital, solusi jangka panjangnya harus melibatkan perbaikan dari sisi industri periklanan itu sendiri. Di sinilah peran penyedia jaringan iklan dan juga regulator sangat krusial untuk memastikan iklan digital aman dan bebas dari malware. Berikut beberapa hal yang perlu dilakukan di tingkat platform dan kebijakan:

Tanggung Jawab Platform Iklan: Perusahaan penyedia iklan online (seperti Google Ads, jaringan DSP/SSP, dan platform ad exchange lainnya) memegang garda depan dalam menyaring konten iklan. Mereka harus menerapkan standar keamanan iklan digital yang ketat. Ini termasuk melakukan scanning otomatis terhadap file iklan yang diunggah pengiklan untuk mendeteksi kode berbahaya tersembunyi. Teknologi deteksi malware di iklan, seperti sandboxing dan analisis heuristik, perlu diadopsi secara luas. Selain itu, platform iklan wajib memperkuat proses verifikasi pengiklan – misalnya memeriksa reputasi akun, memvalidasi identitas pemasang iklan, dan memonitor perilaku mencurigakan (seperti akun baru yang tiba-tiba mengajukan anggaran besar untuk iklan, yang bisa jadi tanda akun abal-abal milik pelaku). Kebijakan zero-tolerance harus diterapkan: jika ditemukan penyalahgunaan, akun pengiklan jahat segera di-ban dan semua materi iklannya ditarik. Beberapa platform besar telah membentuk tim khusus untuk menanggulangi iklan berbahaya, namun dengan semakin canggihnya trik malvertiser, investasi terus menerus di bidang ini mutlak diperlukan. Kepercayaan publik terhadap iklan digital sangat bergantung pada keseriusan platform menjaga keamanan.

Moderasi dan Kualitas Iklan: Di samping deteksi otomatis, moderasi manual tetap penting. Platform iklan sebaiknya memiliki tim review yang tidak hanya memeriksa teks dan gambar iklan, tetapi juga menguji halaman tujuan (landing page) dari iklan tersebut. Seorang moderator bisa mengklik iklan dalam lingkungan aman untuk melihat apakah diarahkan ke situs yang layak atau malah ke domain mencurigakan. Seperti saran dari pakar industri, pengecekan sebaiknya mencakup pre-lander dan landing page – artinya semua tahap yang dilalui pengguna setelah klik iklan harus dipastikan aman. Jika ditemukan teknik cloaking (iklan mengarahkan ke konten berbeda dari yang dijanjikan), iklan itu harus ditolak. Dalam konteks Indonesia, penyedia iklan disarankan memiliki panduan lokal yang sesuai regulasi dan kultur, serta selalu memperbarui pedoman tersebut seiring berkembangnya modus penipuan. Dengan kombinasi moderasi manusia dan mesin, kualitas iklan yang tayang dapat lebih terjaga.

Standar Industri & Kolaborasi: Upaya melawan malvertising perlu dikerjakan bersama secara industri. Misalnya, pembuatan standar iklan aman oleh asosiasi periklanan dan perusahaan teknologi. Standar ini bisa meliputi penggunaan kerangka kerja yang membatasi kemampuan kode iklan (seperti SafeFrame, yaitu container ad yang membatasi akses skrip iklan ke halaman host), atau protokol pelaporan insiden malvertising antar platform. Kolaborasi juga penting: ketika satu pihak mendeteksi kampanye iklan berbahaya, informasi tersebut sebaiknya dibagikan ke jaringan iklan lain agar pelaku yang sama tidak berpindah platform dengan mudah. Industri dapat membentuk semacam daftar hitam terpadu pengiklan atau domain yang teridentifikasi menyebarkan malware melalui iklan, sehingga mempersulit ruang gerak penjahat. Selain itu, perusahaan keamanan siber seperti Malwarebytes, Eset, dll. sering memiliki intelijen terkait tren malvertising terbaru; kerjasama antara platform iklan dan vendor keamanan bisa membantu meningkatkan kemampuan deteksi ancaman baru.

Peran Regulator dan Pemerintah: Di tingkat kebijakan, regulator memiliki peran memberikan pengawasan dan regulasi untuk melindungi konsumen. Pemerintah melalui otoritas terkait (misalnya Kominfo di Indonesia atau badan cybersecurity nasional) dapat mengeluarkan pedoman iklan digital yang aman. Walau sifat iklan daring lintas negara, regulasi lokal tetap penting untuk menekan penyebaran konten berbahaya. Regulator bisa mewajibkan platform iklan melapor secara berkala tentang insiden keamanan iklan dan langkah mitigasinya. Selain itu, hukum siber harus menjerat pelaku malvertising dengan tegas – misalnya dengan UU ITE terkait distribusi malware atau penipuan online – sehingga ada efek jera. Kampanye edukasi publik dari pemerintah juga bisa membantu meningkatkan kesadaran masyarakat tentang bahaya klik sembarangan. Di sisi lain, jika terjadi insiden besar (misal banyak warga menjadi korban malware dari iklan tertentu), pemerintah perlu cepat berkoordinasi dengan penyedia iklan untuk tindak tanggap darurat menarik iklan tersebut dan menginformasikan publik. Semua ini membutuhkan kemauan politik dan koordinasi lintas sektor, namun hasilnya akan berdampak signifikan menekan angka serangan malvertising.

Pada akhirnya, menciptakan iklan digital yang aman adalah tanggung jawab bersama. Platform iklan harus memasang “saringan” yang kian rapat, publisher perlu selektif memilih mitra iklan yang terpercaya, dan regulator memfasilitasi dengan aturan main yang jelas. Dengan langkah-langkah komprehensif dari hulu ke hilir, diharapkan celah bagi malvertising bisa diperkecil semaksimal mungkin.

Penutup: Iklan Digital Harus Aman, Bukan Ancaman

Kemajuan teknologi iklan digital seyogianya membawa manfaat bagi pebisnis dan pengguna internet. Iklan digital harusnya menjadi sarana informatif dan mendukung ekonomi digital, bukan malah menjadi momok yang ditakuti. Malvertising sebagai “wajah gelap” iklan digital telah mengajarkan kita bahwa inovasi selalu memiliki sisi penyalahgunaan. Namun, hal ini bukan alasan untuk antipati total terhadap iklan online. Sebaliknya, ini adalah panggilan bagi seluruh pemangku kepentingan untuk berbenah dan berkolaborasi.

Dari sudut pandang pengguna, penting untuk selalu waspada dan membekali diri dengan pengetahuan keamanan siber dasar. Jangan lengah meski sedang asyik browsing situs favorit – ingatlah bahwa ancaman bisa datang dari elemen sekecil iklan di sudut layar Anda. Dengan sikap hati-hati dan menggunakan tools perlindungan, Anda bisa menjelajah dengan lebih aman.

Bagi publisher dan pengiklan, reputasi dan kepercayaan audiens adalah modal utama. Pastikan untuk memilih jaringan iklan yang punya rekam jejak keamanan baik, serta proaktif menanyakan mekanisme filtrasi malware pada partner iklan Anda. Jika perlu, tekanlah jaringan iklan untuk meningkatkan standar keamanan. Iklan yang aman pada akhirnya akan menguntungkan semua pihak karena pengguna tidak akan ragu memasang ad blocker, dan tingkat kepercayaan pada ekosistem iklan meningkat.

Terakhir, kolaborasi antara industri dan regulator mutlak diperlukan. Malvertising adalah masalah yang kompleks dan lintas batas, sehingga upaya penanggulangannya pun harus terpadu. Dengan berbagi informasi, menetapkan standar, dan menegakkan aturan hukum, ancaman ini bisa ditekan. Kita perlu bersama-sama menciptakan lingkungan digital di mana iklan dapat dipercaya dan dinikmati sebagaimana mestinya.

Sebagai penutup, mari kita ingat bahwa iklan digital seharusnya menjadi peluang, bukan ancaman. Dengan kewaspadaan, edukasi, dan kerja sama, malvertising bisa dilumpuhkan. Iklan online yang aman akan mengembalikan kepercayaan pengguna untuk berinternet tanpa was-was, sekaligus memastikan roda ekonomi digital tetap berputar tanpa gangguan. Iklan digital yang sehat adalah kunci ekosistem internet yang kondusif dan produktif bagi semua. Jangan biarkan wajah gelap malvertising merusak terang-benderang manfaat iklan digital – bersama-sama, kita bisa menjaga dunia maya tetap aman.

Bagikan:

Avatar

Andhika RDigital Marketing at Fourtrezz

Semua Artikel

Artikel Terpopuler

Berlangganan Newsletter FOURTREZZ

Jadilah yang pertama tahu mengenai artikel baru, produk, event, dan promosi.

Partner Pendukung

infinitixyberaditif

© 2025 PT Tiga Pilar Keamanan. All Rights Reserved.
Info Ordal