Rabu, 23 Juli 2025 | 3 min read | Andhika R

Ancaman Deepfake Mengincar Perbankan Digital: Waspada Kloning Suara hingga Identitas Sintetis

Serangan siber di sektor perbankan kini memasuki babak baru yang lebih canggih dan mengkhawatirkan: pemanfaatan teknologi deepfake dan kecerdasan buatan (AI). Di tengah transformasi digital dan lonjakan transaksi online, industri perbankan menghadapi risiko keamanan yang semakin kompleks dan sulit dideteksi, terutama dari teknik manipulasi seperti kloning suara dan pencurian identitas berbasis AI.

Bayangkan skenario ini: seorang karyawan menerima panggilan video dari atasannya yang memintanya untuk segera mentransfer dana dalam jumlah besar. Wajah dan suara pada video tampak meyakinkan. Namun, setelah dana dikirim, baru diketahui bahwa atasannya tidak pernah melakukan panggilan tersebut. Ini bukan adegan film fiksi ilmiah—ini adalah hasil rekayasa deepfake.

Ganda Raharja Rusli, Direktur Risiko, Kepatuhan, dan Hukum Allo Bank, dalam diskusi media di kantor pusat Allo Bank Jakarta Selatan (17/7/2025), menyatakan bahwa jenis kejahatan siber berbasis AI kini telah menjadi ancaman nyata, bukan sekadar teori.

Baca Juga: Waspada Phishing! Ini 7 Ciri Link Palsu yang Harus Diwaspadai oleh Pengguna Internet di Indonesia

Menurutnya, ada dua bentuk utama serangan deepfake yang saat ini paling mengkhawatirkan industri perbankan:

1. Voice Cloning Scam (Penipuan Kloning Suara)

Penjahat siber kini dapat meniru suara seseorang secara akurat hanya bermodalkan rekaman pendek. Suara tersebut lalu digunakan untuk menipu karyawan atau mitra bisnis agar mentransfer dana atau memberikan akses ke data sensitif.

“Suara seorang pemimpin perusahaan bisa dipalsukan untuk memerintahkan bawahannya melakukan transfer. Karena terdengar sangat mirip, mereka percaya begitu saja,” ujar Ganda.

2. Identity Theft & Synthetic KYC

Teknologi deepfake juga memungkinkan pencurian identitas secara menyeluruh, bahkan hingga membuat identitas sintetis untuk keperluan Know Your Customer (KYC) yang menipu sistem verifikasi digital bank. Pelaku dapat menyamarkan wajah dan suara seperti pelanggan sungguhan, lalu membuka rekening palsu untuk pencucian uang atau kejahatan lainnya.

“Dulu deepfake hanya sekadar lucu-lucuan di internet. Sekarang sudah digunakan untuk kejahatan yang sangat serius,” tambah Ganda.

Ancaman ini tidak hanya berdampak pada keamanan sistem, tapi juga kepercayaan nasabah terhadap lembaga keuangan digital. Kecepatan adopsi teknologi harus diimbangi dengan peningkatan sistem pengamanan yang mumpuni.

Baca Juga: Ironi Dunia Kripto: Dua Eksekutif MoonPay Kehilangan Ethereum Senilai Rp4 Miliar akibat Penipuan Online

Ganda menekankan pentingnya strategi mitigasi risiko yang tidak hanya mengutamakan keamanan, tetapi juga menjaga pengalaman pengguna agar tetap optimal.

“Bank digital perlu menerapkan strategi optimasi risiko yang mampu menyeimbangkan antara pengalaman nasabah dan aspek keamanan, guna menjaga kepuasan serta loyalitas jangka panjang,” tegasnya.

Kemajuan teknologi seperti AI dan deepfake memang membawa banyak manfaat, namun juga menjadi senjata baru bagi pelaku kejahatan siber. Dunia perbankan harus merespons cepat dengan sistem deteksi dan verifikasi yang lebih canggih, termasuk penggunaan biometrik lanjutan, verifikasi multi-faktor, serta pemantauan aktivitas real-time.

Kesadaran akan ancaman deepfake dan edukasi bagi seluruh pemangku kepentingan di sektor keuangan menjadi kunci utama dalam menghadapi gelombang kejahatan digital generasi terbaru.

Jangan biarkan suara atau wajah palsu menghancurkan keuangan Anda. Tetap waspada, dan pastikan bank serta institusi keuangan Anda siap menghadapi era penipuan berbasis AI.

Bagikan:

Avatar

Andhika RDigital Marketing at Fourtrezz

Semua Artikel

Artikel Terpopuler

Berlangganan Newsletter FOURTREZZ

Jadilah yang pertama tahu mengenai artikel baru, produk, event, dan promosi.

Partner Pendukung

infinitixyberaditif

© 2025 PT Tiga Pilar Keamanan. All Rights Reserved.
Info Ordal