Kamis, 2 Oktober 2025 | 6 min read | Andhika R

Pentest: Crash Test Keamanan Siber agar Kebocoran Data Tak Terulang

Kasus kebocoran data pribadi terus meledak, dengan ratusan juta catatan warga Indonesia terpapar. Misalnya, Tokopedia (2020) kehilangan ~91 juta akun, BPJS Kesehatan (2021) ~279 juta data, KPU (2022) ~105 juta data pemilih, dan terakhir Dukcapil (2023) diperkirakan ~337 juta data kependudukan. Bahkan data sensitif hingga NPWP warga (sekitar 6 juta alamat pajak termasuk Presiden) sempat bocor dan diperjualbelikan di forum gelap. Korban kebocoran harus menghadapi dampak serius: data pribadi (nama, NIK, alamat, nomor telepon, detail kesehatan, dsb.) yang seharusnya terlindungi, kini beredar di internet gelap. Misalnya, sebuah pelaku forum gelap mengaku memiliki 81,47 juta data pelanggan JNE (nama, alamat, no. telepon, riwayat paket) dan menyatakan, “kami sudah menghubungi JNE… tidak ada balasan, jadi kami jual di sini”. Situasi ini menimbulkan keresahan besar: “Apakah data kita masih aman?”

Tokopedia (2020): 91 juta data pengguna terungkap.

BPJS Kesehatan (2021): 279 juta data peserta bocor.

KPU (2022): 105 juta data pemilih diretas.

Dukcapil (2023): 337 juta data kependudukan terekspos.

JNE (2025): ~81 juta pelanggan (riwayat paket) dijual di forum gelap.

MyPertamina (2022): 44 juta data pengguna (email, NIK, KTP) dibobol.

NPWP (2023): 6 juta data (termasuk Presiden) bocor dijual online.

Angka-angka di atas menggambarkan betapa luasnya data kita sudah tersebar. Dampaknya bukan hanya kerugian finansial, tetapi juga rusaknya kepercayaan publik.

Pentest Crash Test Keamanan Siber agar Kebocoran Data Tak Terulang copy.webp

Mengapa Kebocoran Data Terjadi Berulang

Banyak insiden kebocoran mengikuti pola yang sama: salah konfigurasi, kode aplikasi rentan, atau kontrol akses lemah. Studi menunjukkan kasus nyata: hampir 45% instance ServiceNow perusahaan memiliki pengaturan akses yang salah, sehingga Private Identifiable Information (PII) dan kredensial layanan terekspos publik. Demikian pula, mayoritas kebocoran terjadi karena data tidak dienkripsi secara memadai. Penyebab lain termasuk kegagalan pengelolaan hak akses, kurangnya segmentasi jaringan, dan kecolongan oleh teknik rekayasa sosial (social engineering).

Sering kali, perusahaan bersikap reaktif ketimbang proaktif. Laporan CSIRT Indonesia mencatat hanya 39% organisasi yang benar-benar siap menghadapi serangan siber modern, sementara 61% lainnya masih dalam tahap awal persiapan (bersifat reaktif). Banyak perusahaan baru mulai memperbaiki setelah data sudah bocor, bak “memasang kunci setelah pintu terbuka”. Misalnya, beberapa lembaga pemerintah maupun swasta baru menambah fitur pengamanan atau enkripsi usai publik mengungkap kebocoran data mereka. Padahal, logika sederhananya: rumah yang pintunya terbuka lebar akan mudah dibobol maling. Begitu pula sistem digital — jika tidak diuji dan diamankan sebelum serangan terjadi, kerap kali baru dicek ulang setelah ada insiden.

Pentest sebagai ‘Crash Test’ untuk Keamanan Digital

Penetration test (pentest) bisa diumpamakan seperti uji tabrak untuk mobil. Sebelum mobil dipasarkan, produsen akan menabrakkannya demi menguji kekokohan rangka dan sabuk pengaman. Demikian pula, pentest adalah simulasi serangan siber nyata untuk menemukan titik lemah sebelum sistem benar-benar jatuh ke tangan penjahat. Tim pentester bertindak seperti hacker etis: mereka “menyerang” sistem perusahaan dengan teknik hacking terkini, mulai dari eksploitasi kerentanan sampai uji coba skenario serangan sosial. Misalnya, seorang pentester bisa mencoba mengakses server melalui port yang tidak terlindungi, atau mengelabui sistem login menggunakan password default.

Proses ini intrusif, namun tujuannya konstruktif: memperbaiki sistem. Seperti yang diingatkan CSIRT Indonesia, banyak organisasi masih hanya mengaktifkan “tim pertahanan” sekali setahun—misalnya menjelang audit atau tenggat regulasi—padahal penyerang tidak menunggu musim atau momen tertentu. Uji penetrasi seharusnya rutin, bukan event sekali waktu. Anologinya, SOC (Security Operation Center) tradisional ibarat alarm keamanan yang berbunyi setelah maling masuk, sedangkan pendekatan ofensif secara rutin memeriksa pintu, jendela, dan dinding rumah agar semua terkunci sebelum maling beraksi. Pentest menjaga agar kelemahan sistem teridentifikasi lebih awal sehingga mitigasi bisa diterapkan sebelum kebocoran nyata terjadi.

Apakah Pentest Bisa Mencegah Kebocoran Data?

Pada dasarnya, hacker dan pentester sama-sama “mencari celah”. Bedanya, hacker ilegal menyimpan celah untuk disalahgunakan atau dijual, sedangkan pentester melaporkannya agar bisa segera diperbaiki. Jika perusahaan A rutin melakukan pentest, kemungkinan besar kelemahan-kekuatan keamanan terungkap lebih awal, sehingga serangan riil bisa dicegah. Sebaliknya, perusahaan B yang mengabaikan pentest ibarat mengundang bencana; begitu ada celah, peretas masuk dan data bocor baru diketahui setelah terlambat.

Bayangkan dua perusahaan sejenis: Perusahaan A melakukan pentest tahunan dan memperbaiki setiap temuan celah. Ketika ada upaya peretasan, sistemnya tahan karena “ditempa” lebih dulu. Perusahaan B menunda pentest, fokus hanya memenuhi syarat administratif. Akhirnya, data B diretas karena celah tidak terdeteksi, menimbulkan kerugian besar. Skenario ini menunjukkan logika sederhana: pentest menemukan dan mengeliminasi celah sebelum penjahat menyalahgunakannya. Dengan kata lain, pentester menyelamatkan data kita dengan melapor sebelum kita benar-benar “bocor”.

Studi Kasus: Menghitung Harga Sebuah Kelalaian

Jika dibandingkan, investasi kecil untuk pentest jauh lebih murah ketimbang biaya menanggulangi kebocoran. Laporan IBM menunjukkan, rata-rata kerugian akibat breach di Asia Tenggara mencapai US$3,23 juta (sekitar Rp46 miliar), sedangkan di sektor keuangan melonjak rata-rata US$5,57 juta (Rp86 miliar) per insiden. Dampaknya bukan hanya biaya teknis; 70% organisasi mengaku gangguan operasional pascakebocoran sangat signifikan, dan pelanggan bisa berpindah ke layanan pesaing. Sementara itu, serangan ransomware terhadap Pusat Data Nasional (PDNS) mengakibatkan kerugian ekonomi nasional hingga Rp6,3 triliun plus Rp2,7 triliun pendapatan usaha hilang. Bandingkan dengan biaya pentest: sesi pentest di Indonesia umumnya hanya puluhan juta rupiah saja (sekitar Rp20–100 juta, tergantung lingkup).

Kerugian akibat kelalaian jauh lebih mahal jika dihitung komprehensif: pemerintah harus memulihkan sistem, membayar denda (misalnya ke OJK atau komplain publik), dan merebut kembali kepercayaan pengguna. Contoh nyatanya, perusahaan yang lalai akhirnya menanggung biaya jebol puluhan miliar, reputasi hancur, serta proses audit yang berlarut. Sebaliknya, organisasi yang sejak dini membangun budaya pengujian keamanan — seperti semangat pentest–patching–uji ulang — umumnya mampu menghindari skenario terburuk. Pentest yang rutin mendeteksi akar masalah berarti pengeluaran besar (termasuk penyelidikan forensik dan ganti rugi) dapat diminimalisir.

Lebih dari Sekadar Regulasi

Di Indonesia UU Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) memang sudah mewajibkan perusahaan melindungi data warga, dan Kominfo menetapkan sanksi bagi pelanggar. Namun, pentest bukan sekadar formalitas untuk memenuhi kepatuhan. Laporan pengujian keamanan menunjukkan keseriusan perusahaan dalam berjejaring dengan standar global. Perusahaan yang aktif melakukan pentest di mata mitra bisnis dan konsumen dianggap lebih proaktif dan dapat dipercaya. Bahkan dalam kerja sama dengan perusahaan multinasional, hasil pentest sering dijadikan bukti bahwa keamanan sudah diperhatikan secara serius. Mitra asing cenderung menuntut bukti pengujian keamanan sebelum mempercayakan data kepada lembaga lokal. Dengan kata lain, pentest membantu membangun trust dan reputasi: mitra bisnis dan konsumen merasa yakin bahwa data mereka telah diperiksa ketat, bukan dibiarkan terbuka. Pentest menjadi strategi proaktif yang bernilai lebih dari sekadar memenuhi checkbox audit.

Kesimpulan: Budaya Pentest, Bukan Sekadar Checklist

Dalam era di mana data menjadi komoditas, pertanyaan retoris berikut sangat relevan: “Apakah kita mau terus menunggu kebocoran terjadi, atau lebih baik sendiri menelisik celah di sistem sebelum pihak tak bertanggung jawab melakukannya?”. Pentest adalah investasi kecil untuk risiko besar. Mengakhiri dengan panggilan aksi: jadikan pentest sebagai budaya rutin, bukan seremonial tahunan. Perusahaan harus menempatkan keamanan siber sebagai prioritas, menyeluruh dan konsisten.

Untuk memulai langkah proaktif ini, perusahaan dapat bekerjasama dengan penyedia pentest profesional. Fourtrezz, misalnya, siap mendampingi dengan layanan pengujian penetrasi komprehensif. Hubungi Fourtrezz melalui www.fourtrezz.co.id | +62 857-7771-7243 | [email protected] untuk mengadakan pentest proaktif. Semakin dini celah ditemukan dan diperbaiki, semakin jauh risiko kebocoran terhindari.

Bagikan:

Avatar

Andhika RDigital Marketing at Fourtrezz

Semua Artikel

Berlangganan Newsletter FOURTREZZ

Jadilah yang pertama tahu mengenai artikel baru, produk, event, dan promosi.

Partner Pendukung

infinitixyberaditif

© 2025 PT Tiga Pilar Keamanan. All Rights Reserved.
Info Ordal