Selasa, 14 Januari 2025 | 4 min read | Andhika R

Perang Modern: Evolusi Teknologi dan Tantangan Hukum Humaniter Internasional

Transformasi teknologi telah secara drastis mengubah karakter peperangan. Dahulu, perang identik dengan senjata konvensional seperti senapan dan tank, yang melibatkan medan perang fisik dengan musuh yang jelas. Kini, perkembangan teknologi digital menciptakan dimensi baru dalam konflik, mengarah pada senjata-senjata canggih yang tak kasat mata. Dampaknya, peperangan modern mampu melumpuhkan suatu negara tanpa melepaskan satu pun tembakan, menghadirkan ancaman baru yang jauh melampaui batas medan perang tradisional.

Salah satu bukti nyata dari perubahan ini adalah meningkatnya serangan siber dalam beberapa tahun terakhir. Serangan ini telah menjadi senjata strategis untuk melemahkan kedaulatan negara lain. Serangan siber melibatkan upaya untuk mengganggu, merusak, atau mengakses sistem komputer, jaringan, atau data digital secara ilegal. Tujuan dari serangan ini bervariasi, mulai dari mencuri informasi hingga melumpuhkan infrastruktur vital atau mengganggu layanan publik. Beberapa metode yang umum digunakan termasuk malware, phishing, serangan DDoS, eksploitasi celah keamanan (zero-day), dan rekayasa sosial.

Serangan siber dapat merusak data sipil seperti catatan medis, melumpuhkan infrastruktur penting seperti jaringan listrik dan pasokan air, serta mengganggu layanan pemerintah berbasis elektronik. Dalam peperangan modern, serangan siber sering kali digunakan bersamaan dengan senjata tradisional, memperbesar dampak dengan melumpuhkan komunikasi atau infrastruktur pendukung lainnya. Kemampuan serangan ini untuk berjalan tanpa deteksi fisik menjadikannya alat strategis yang sangat efektif dalam perang era digital.

Baca Juga: Biden Siapkan Perintah Eksekutif Baru untuk Tingkatkan Keamanan Siber di AS

Salah satu contoh mencolok dari ancaman siber dapat dilihat dalam konflik antara Rusia dan Ukraina yang dimulai pada tahun 2022. Serangan siber Rusia menyasar berbagai sektor penting di Ukraina, termasuk sektor pemerintah, telekomunikasi, dan transportasi. Menurut laporan dari The State Service of Special Communications and Information Protection (SSSCIP), Ukraina mengalami lebih dari 796 serangan siber sejak awal konflik. Serangan ini tidak hanya menyebabkan kerusakan infrastruktur tetapi juga mengganggu stabilitas nasional Ukraina.

Strategi ini menggambarkan bagaimana serangan siber telah menjadi alat utama dalam konflik modern, memungkinkan negara pelaku untuk menyerang tanpa menggunakan kekuatan militer konvensional. Rusia bukan satu-satunya negara yang secara terbuka menggunakan serangan siber sebagai bagian dari strategi militernya. Semakin banyak negara yang mengembangkan kapabilitas siber militer, menciptakan dilema hukum dan etika di tingkat internasional.

Dalam konteks perang modern, Hukum Humaniter Internasional (HHI) menghadapi tantangan besar dalam menyesuaikan diri dengan teknologi yang terus berkembang. HHI bertujuan untuk mengurangi dampak konflik bersenjata terhadap manusia dengan membatasi alat dan taktik perang serta melindungi mereka yang tidak terlibat langsung dalam permusuhan.

Seperti halnya hukum yang mengatur senjata konvensional seperti bom dan peluru, HHI juga berlaku untuk senjata dan metode perang modern, termasuk serangan siber. Hal ini ditegaskan dalam Pendapat Penasihat Mahkamah Internasional tentang Senjata Nuklir tahun 1996, yang menyatakan bahwa HHI berlaku untuk semua bentuk peperangan, baik di masa lalu, sekarang, maupun masa depan.

Dalam Protokol Tambahan I (1977) Pasal 36, negara-negara diwajibkan untuk mengevaluasi legalitas senjata baru, termasuk teknologi siber, guna memastikan kesesuaiannya dengan HHI. Mahkamah Internasional juga menegaskan bahwa HHI relevan untuk semua jenis konflik, bahkan yang melibatkan teknologi modern. Meskipun Protokol Tambahan I dibuat sebelum era digital, prinsip-prinsipnya tetap dapat diadaptasi untuk menghadapi tantangan baru.

Walaupun HHI memiliki ketentuan yang dapat diterapkan pada perang modern, perdebatan terus berlangsung mengenai apakah hukum ini perlu diperbarui atau hanya ditafsirkan ulang untuk menjawab ancaman dari serangan siber. Sebagian pakar berpendapat bahwa interpretasi ulang cukup memadai, sementara yang lain merasa bahwa revisi diperlukan untuk mengakomodasi kompleksitas teknologi saat ini.

Namun, tantangan utama yang dihadapi HHI bukan hanya terletak pada pembaruan hukum, tetapi juga pada kurangnya komitmen negara-negara untuk menegakkan aturan yang ada. Tanpa dedikasi yang kuat dari pihak negara untuk mematuhi dan menerapkan hukum ini, efektivitas HHI dalam mengurangi penderitaan manusia selama konflik akan sulit tercapai. Hukum baru sekalipun hanya akan menjadi simbol tanpa dampak nyata jika tidak diimplementasikan dengan baik.

Untuk mengatasi tantangan perang modern, diperlukan komitmen global dalam menegakkan supremasi hukum, baik dalam konflik tradisional maupun modern. Kerja sama internasional sangat penting untuk memastikan bahwa serangan siber, yang dapat menimbulkan kerusakan besar tanpa pertempuran fisik, tetap berada dalam kerangka hukum yang jelas.

Langkah-langkah preventif seperti peningkatan transparansi, pengembangan standar internasional untuk keamanan siber, dan pelatihan bagi para pelaku di lapangan dapat membantu memperkuat upaya ini. Selain itu, diperlukan kolaborasi lintas sektor antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat internasional untuk menciptakan lingkungan yang lebih aman di era digital.

Bagikan:

Avatar

Andhika RDigital Marketing at Fourtrezz

Semua Artikel

Artikel Terpopuler

Berlangganan Newsletter FOURTREZZ

Jadilah yang pertama tahu mengenai artikel baru, produk, event, dan promosi.

Partner Pendukung

infinitixyberaditif

© 2025 PT Tiga Pilar Keamanan. All Rights Reserved.
Info Ordal