Jumat, 20 Juni 2025 | 19 min read | Andhika R

Peta Gelap Internet: Bagaimana Informasi Pribadi Dijual Seperti Komoditas

Di tengah kemajuan teknologi digital yang semakin pesat, data pribadi telah menjelma menjadi aset bernilai tinggi. Apa yang dulunya hanya dianggap sebagai informasi biasa—seperti nama lengkap, nomor telepon, alamat email, bahkan nomor identitas—kini menjadi komoditas yang diperebutkan di ruang-ruang tersembunyi internet. Tanpa banyak disadari oleh publik, data semacam ini diperjualbelikan secara ilegal di tempat yang dikenal sebagai dark web, sebuah sisi gelap dunia maya yang sulit dijangkau dan dilacak.

Fenomena ini bukan hanya menjadi ancaman bagi individu, tetapi juga bagi perusahaan dan institusi. Di Indonesia, kasus kebocoran data pribadi terus berulang, melibatkan platform digital, layanan pemerintah, hingga institusi keuangan. Mirisnya, banyak dari data yang bocor tersebut dijual dengan harga yang sangat rendah, bahkan lebih murah dari secangkir kopi. Sementara itu, kerugian yang ditimbulkan bisa mencapai miliaran rupiah, baik dalam bentuk finansial maupun reputasi.

Kondisi ini menciptakan situasi yang mengkhawatirkan: di satu sisi, pengguna internet semakin terdigitalisasi, namun di sisi lain, perlindungan terhadap data pribadi belum sejalan dengan laju ancaman. Artikel ini akan mengajak Anda menyusuri "peta gelap" dari perdagangan data pribadi, mengungkap bagaimana informasi kita diperlakukan seperti barang dagangan, serta memberikan gambaran nyata bagaimana pelaku bisnis dan masyarakat bisa lebih waspada terhadap praktik ini.

Peta Gelap Internet Bagaimana Informasi Pribadi Dijual Seperti Komoditas.webp

Mengenal Dark Web dan Perdagangan Gelap Data Pribadi

Internet yang kita kenal sehari-hari hanyalah permukaan dari ekosistem digital yang jauh lebih luas. Di bawahnya, terdapat lapisan tersembunyi bernama dark web—sebuah wilayah anonim yang tidak bisa diakses melalui mesin pencari atau peramban biasa. Di sinilah aktivitas ilegal, termasuk jual beli data pribadi, marak terjadi tanpa banyak terdeteksi.

Dark web pada dasarnya adalah bagian dari deep web—area internet yang tidak terindeks oleh mesin pencari umum. Namun berbeda dari forum-forum internal atau konten berbayar yang sah, dark web dikenal sebagai tempat transaksi gelap berlangsung secara bebas. Transaksi di sana kerap menggunakan mata uang kripto seperti Bitcoin untuk menjaga anonimitas, dan penggunanya tersembunyi di balik jaringan terenkripsi seperti Tor.

Salah satu aktivitas yang paling umum di dark web adalah perdagangan data pribadi. Data ini bisa berasal dari berbagai sumber: hasil peretasan sistem, kebocoran data dari aplikasi populer, hingga pencurian melalui serangan phishing. Begitu data berhasil dikumpulkan, pelaku kejahatan akan menjualnya dalam bentuk paket—berisi nama lengkap, nomor KTP, alamat, email, hingga informasi finansial seperti nomor kartu kredit dan akun digital.

Menariknya (atau justru mengkhawatirkan), data-data tersebut diperdagangkan seperti komoditas. Ada harga tertentu untuk setiap jenis informasi, tergantung seberapa sensitif atau bermanfaatnya data tersebut bagi pelaku kejahatan. Beberapa jenis data bahkan dijual secara grosir, menunjukkan bahwa informasi pribadi kita diperlakukan layaknya barang dagangan massal.

Fenomena ini memperlihatkan betapa data pribadi kini bukan hanya aset digital, tetapi juga bahan bakar utama dalam rantai bisnis ilegal dunia maya. Semakin lengkap data yang diperoleh, semakin tinggi pula nilainya di pasaran gelap. Ironisnya, pelaku kejahatan seringkali tak membutuhkan keahlian teknis tingkat tinggi untuk mengakses atau menjual data ini—cukup koneksi yang tepat dan akses ke forum-forum gelap, semuanya bisa dilakukan.

Dengan memahami bagaimana dark web bekerja dan mengapa data pribadi menjadi komoditas incaran, kita bisa mulai menyadari betapa pentingnya menjaga keamanan informasi yang sering kita anggap sepele.

Harga dan Jenis Data Pribadi yang Dijual di Dark Web

Data pribadi tidaklah mahal, bahkan beberapa jenis dijual dengan harga yang mengejutkan mulai dari puluhan ribu hingga jutaan rupiah. Berikut ini ringkasan harga berbagai jenis data menurut riset dari Kaspersky yang dipublikasikan lewat media seperti Detik, dan Suara.com :

Jenis DataKisaran Harga (Rp)
Identitas dasar (nama, email, HP)Rp 7.000 – Rp 142.000
Layanan berlangganan (streaming, dsb)Rp 7.000 – Rp 112.000
Kartu kredit & pasporRp 84.000 – Rp 284.000
Rekam medisRp 14.000 – Rp 426.000
Selfie dengan dokumen (KTP/SIM/Paspor)Rp 560.000 – Rp 852.000
Akun PayPalRp 706.000 – Rp 7.100.000
Rekening atau akun perbankan online1–10 % dari saldo akun

Beberapa poin menarik dari data di atas:

  • Identitas dasar seperti nama dan nomor telepon sangat murah, mulai dari Rp 7.000 saja.
  • Akun PayPal termasuk yang paling mahal, hingga puluhan juta rupiah per akun.
  • Menurut analisis, selfie dengan dokumen resmi dan rekam medis kini juga dijual bebas, mencerminkan meningkatnya permintaan akan data sensitif
  • Paket lengkap seperti akun perbankan bisa mencapai persentase tertentu dari nilai akun, sehingga bisa sangat merugikan bagi korban.

Pakar keamanan dari Kaspersky, Dmitry Galov, menggambarkan fenomena ini secara gamblang: data pribadi kini memiliki harga sangat murah—bahkan “lebih rendah dari secangkir kopi” namun efek negatif dan potensi kerugiannya jauh lebih besar.

Di marketplace gelap seperti dark web, data ini diperdagangkan di forum-forum rahasia, umumnya menggunakan mata uang kripto demi menjaga anonimitas. Data tersebut biasanya dijual dalam paket, tergantung kebutuhan pelaku kriminal seperti untuk penipuan akun, pencurian identitas, phishing, atau bahkan pemerasan.

Tren Kebocoran dan Penjualan Data Pribadi di Indonesia

Selama beberapa tahun terakhir, Indonesia menghadapi lonjakan signifikan dalam kasus kebocoran data pribadi. Tak hanya menimpa perusahaan swasta, insiden ini juga melibatkan institusi pemerintah yang menyimpan data sensitif milik jutaan warga. Fenomena ini mengindikasikan bahwa sistem perlindungan data di Indonesia masih rapuh, meskipun pemanfaatan teknologi digital sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat dan bisnis.

Salah satu kasus besar yang mencuat ke publik adalah kebocoran data pengguna Tokopedia pada Mei 2020. Saat itu, sekitar 91 juta akun, termasuk data dari 7 juta penjual, berhasil dicuri dan diperjualbelikan di forum gelap. Informasi yang bocor mencakup nama, email, dan data login. Ironisnya, data sebesar itu hanya ditawarkan seharga USD 5.000 atau sekitar Rp 74 juta di dark web. Kasus ini menjadi peringatan awal bahwa bahkan platform teknologi besar pun tak luput dari serangan.

Setahun kemudian, tepatnya pada Mei 2021, terjadi insiden yang jauh lebih mengkhawatirkan. Data milik 279 juta peserta BPJS Kesehatan—termasuk nama lengkap, nomor kepesertaan, alamat, dan bahkan gaji—diduga bocor dan dijual di forum RaidForums. Kominfo dan BSSN segera merespons dengan memblokir akses unduhan dan memanggil pihak BPJS untuk menyelidiki. Namun, skala kebocoran yang hampir mencakup seluruh populasi Indonesia menimbulkan kekhawatiran serius soal pengelolaan data oleh lembaga negara.

Masih di tahun 2021, aplikasi e-HAC milik Kementerian Kesehatan juga dilaporkan mengalami kebocoran data. Sekitar 1,3 juta data rekam pengguna ditemukan terekspos, yang diduga berasal dari aplikasi pendukung versi lama yang tidak lagi digunakan secara resmi. Pada saat yang hampir bersamaan, data milik sekitar 2 juta nasabah BRI Life juga diduga dijual di internet gelap, mencakup ribuan dokumen internal penting dan berisi file dalam jumlah besar.

Tren kebocoran terus berlanjut hingga 2022 dan 2023. Salah satu kasus yang menyedot perhatian publik adalah bocornya sekitar 105 juta data pemilih dari Komisi Pemilihan Umum (KPU). Data berupa NIK, nama lengkap, dan alamat dilaporkan bocor oleh peretas bernama "Bjorka", yang kemudian menjadi figur publik dalam dunia maya karena beberapa kali membocorkan data dari instansi strategis. Tak lama berselang, publik kembali digegerkan dengan informasi bahwa sebanyak 337 juta data penduduk dari Ditjen Dukcapil juga dijual di forum hacker internasional. Jumlah data ini bahkan melebihi jumlah penduduk Indonesia, yang kemungkinan mencakup data arsip atau yang sudah tidak aktif.

Puncaknya terjadi pada tahun 2024, ketika sistem Pusat Data Nasional Sementara (PDNS) milik pemerintah menjadi korban serangan ransomware. Kelompok peretas bernama Brain Cipher menyandera data ratusan instansi pemerintah dan meminta tebusan sebesar USD 8 juta atau sekitar Rp 131 miliar. Serangan ini tidak hanya memengaruhi akses layanan publik, tetapi juga menunjukkan betapa vital dan lemahnya infrastruktur digital Indonesia dalam menghadapi kejahatan siber yang semakin kompleks.

Menurut data yang dihimpun oleh GoodStats dan dikutip dari berbagai sumber resmi, lebih dari 300 juta data warga Indonesia telah bocor sejak 2020. BSSN (Badan Siber dan Sandi Negara) juga mencatat adanya 376 dugaan insiden kebocoran data hanya dalam kurun waktu 2022 hingga pertengahan 2023. Dari jumlah tersebut, lebih dari separuhnya terjadi di sektor pemerintahan, sementara sisanya melibatkan sektor keuangan, transportasi, dan layanan publik lainnya. Ironisnya, banyak dari kebocoran ini disebabkan oleh kelalaian mendasar—seperti data yang tidak dilindungi oleh enkripsi atau lemahnya sistem autentikasi internal.

Tren ini menunjukkan pola yang mengkhawatirkan: hampir setiap tahun terjadi kebocoran data berskala masif yang berdampak langsung pada masyarakat. Data yang seharusnya dijaga ketat, justru tersebar luas dan diperjualbelikan secara bebas di pasar gelap digital. Ini menciptakan ketidakpastian, baik dari sisi keamanan informasi maupun dari kepercayaan publik terhadap penyelenggara sistem elektronik, baik di sektor publik maupun swasta.

Situasi ini menegaskan satu hal penting: Indonesia berada dalam kondisi darurat kebocoran data pribadi. Tanpa upaya serius dari semua pihak—baik pemerintah, pelaku bisnis, maupun masyarakat pengguna teknologi—maka kasus serupa akan terus berulang. Perlindungan data bukan lagi sekadar urusan teknis, tetapi menyangkut kepercayaan, keamanan, dan martabat digital bangsa.

Mengapa Data Pribadi Diburu dan Dijual di Internet Gelap?

Di era digital seperti sekarang, data pribadi telah berubah menjadi komoditas yang sangat bernilai. Bagi sebagian besar dari kita, informasi seperti nama lengkap, alamat email, nomor telepon, atau bahkan nomor KTP mungkin tampak biasa saja. Namun di tangan yang salah, kumpulan data ini bisa menjadi bahan bakar kejahatan siber yang menguntungkan.

Ada beberapa alasan utama mengapa data pribadi begitu diburu dan diperjualbelikan di pasar gelap digital.

  1. Bernilai Ekonomis Tinggi Bagi Pelaku Kejahatan

Pelaku kejahatan siber melihat data pribadi sebagai “modal mentah” untuk menjalankan berbagai aksi ilegal. Dengan memiliki akses ke informasi dasar seseorang, mereka bisa melakukan banyak hal—dari membuat akun palsu, mengajukan pinjaman online, hingga mencuri uang dari rekening digital.

Contohnya, dengan hanya menggabungkan nama, alamat email, dan nomor HP, pelaku bisa melancarkan serangan phishing yang sangat meyakinkan. Jika ditambah dengan data KTP atau informasi rekening bank, mereka bahkan bisa menyamar sebagai korban untuk mengakses layanan keuangan atau menyebar penipuan atas nama korban tersebut.

Beberapa jenis data bahkan bisa langsung dijual kembali ke pelaku lain. Misalnya, data login ke akun PayPal, dompet digital, atau internet banking. Semakin lengkap dan akurat datanya, semakin tinggi pula harganya di dark web.

  1. Dapat Digabungkan Menjadi Profil Lengkap

Satu informasi mungkin tampak tidak berbahaya, tapi ketika berbagai potongan data dari sumber berbeda digabungkan, pelaku bisa membentuk gambaran utuh tentang seseorang. Inilah yang disebut sebagai data agregat.

Misalnya, data email dan nomor HP dari kebocoran e-commerce, jika digabung dengan data NIK dan alamat dari lembaga pemerintah, serta data gaji atau rekam medis dari layanan asuransi—bisa membentuk profil digital seseorang secara lengkap. Profil semacam ini sangat bernilai, tidak hanya untuk penipuan finansial, tetapi juga untuk manipulasi sosial, pemerasan, atau kejahatan berbasis identitas lainnya.

Menurut pakar keamanan siber Pratama Persadha, data yang tersebar dalam berbagai kebocoran bisa saling melengkapi seperti potongan puzzle. Ketika digabungkan, nilainya melonjak berkali-kali lipat dibandingkan data tunggal.

  1. Mendukung Ekosistem Kejahatan Siber yang Terorganisir

Perdagangan data pribadi di dark web bukan aksi individu semata, tetapi bagian dari ekosistem kejahatan yang terorganisir. Ada pihak yang bertugas mencuri data, ada yang mengelola forum jual beli, ada pula yang menjadi pembeli akhir yang menggunakan data tersebut untuk aksi kriminal lanjutan.

Beberapa penjahat fokus pada pengumpulan data dalam jumlah besar, lalu menjualnya dalam paket grosir. Ada pula yang menawarkan data tertentu sesuai permintaan, misalnya data nasabah bank, pelanggan toko online, atau pegawai pemerintah. Semuanya terjadi dalam jaringan anonim, tersembunyi, dan sulit dilacak oleh aparat hukum.

  1. Risiko Rendah, Keuntungan Tinggi

Bagi pelaku, menjual data pribadi jauh lebih mudah dan minim risiko dibanding melakukan pencurian langsung. Cukup membobol server, mengunduh data, lalu menjualnya di forum tersembunyi menggunakan mata uang kripto. Tidak ada tatap muka, tidak perlu bertemu pembeli, dan identitas pelaku hampir mustahil dilacak jika mereka paham cara menyembunyikan jejak.

Sementara itu, keuntungannya bisa sangat besar. Satu kali kebocoran bisa berisi jutaan data, dan meskipun harga per data hanya beberapa ribu rupiah, akumulasi nilai totalnya bisa mencapai ratusan juta bahkan miliaran rupiah. Karena itulah, aktivitas ini sangat menggoda bagi penjahat dunia maya.

Dampak Kebocoran Data bagi Bisnis dan Masyarakat

Kebocoran data pribadi bukan hanya soal pelanggaran privasi. Dampaknya jauh lebih luas dan nyata, baik bagi masyarakat umum sebagai individu, maupun bagi pelaku usaha yang menyimpan dan mengelola data pelanggan dalam jumlah besar. Dalam banyak kasus, kebocoran data bisa menjadi awal dari serangkaian kerugian serius yang sulit dibalikkan.

  1. Kerugian Finansial yang Besar

Salah satu dampak paling langsung dari insiden kebocoran data adalah kerugian ekonomi. Menurut laporan dari IBM Security tahun 2023, rata-rata kerugian akibat satu insiden kebocoran data secara global mencapai USD 4,45 juta, atau sekitar Rp 70 miliar. Angka ini mencakup berbagai komponen: hilangnya pendapatan, biaya investigasi, layanan pemulihan, kompensasi bagi pelanggan, dan biaya hukum.

Meskipun skala bisnis di Indonesia mungkin berbeda, kerugian tetap terasa signifikan. Banyak perusahaan lokal yang akhirnya harus mengeluarkan dana besar untuk menanggulangi dampak dari kebocoran, bahkan terpaksa menghentikan layanan sementara atau kehilangan investor akibat hilangnya kepercayaan pasar.

  1. Hilangnya Kepercayaan Konsumen

Bagi pelaku usaha, reputasi adalah aset. Begitu data pelanggan bocor ke publik, kepercayaan yang telah dibangun selama bertahun-tahun bisa runtuh dalam hitungan hari. Pelanggan merasa tidak lagi aman bertransaksi, dan kemungkinan besar akan berpindah ke layanan lain yang dianggap lebih andal.

Contoh nyatanya bisa dilihat dari kasus Tokopedia pada 2020. Meski perusahaan segera memberi klarifikasi dan menjamin keamanan sistem, banyak pengguna merasa ragu untuk melanjutkan transaksi seperti biasa. Dampak reputasi ini sulit diukur secara angka, namun efeknya bisa bertahan lama dan memengaruhi loyalitas pelanggan.

  1. Sanksi Hukum dan Kewajiban Regulasi

Sejak diberlakukannya Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) pada Oktober 2022, perusahaan yang mengelola data pribadi di Indonesia memiliki tanggung jawab hukum yang lebih tegas. Bila terbukti lalai menjaga keamanan data, perusahaan bisa dikenai sanksi administratif berupa denda, hingga ancaman pidana jika terdapat unsur kesengajaan atau pelanggaran berat.

UU PDP juga mewajibkan penyelenggara sistem elektronik untuk melaporkan insiden kebocoran data dalam waktu maksimal 72 jam. Kegagalan dalam memenuhi kewajiban ini bisa memperparah konsekuensi hukum dan memperburuk posisi perusahaan di mata publik maupun regulator.

  1. Ancaman Langsung bagi Masyarakat

Bagi masyarakat umum, kebocoran data bisa berujung pada permasalahan yang sangat nyata. Mulai dari pencurian identitas, penyalahgunaan untuk pinjaman online ilegal, hingga serangan phishing yang semakin personal dan sulit dibedakan dari komunikasi resmi.

Sudah banyak kasus di mana seseorang tiba-tiba mendapat tagihan pinjaman padahal tidak pernah mengajukan, atau namanya digunakan untuk mendaftarkan akun fiktif. Semua ini bisa terjadi karena data KTP, nomor HP, atau informasi keuangan bocor dan dimanfaatkan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab.

Yang lebih berbahaya, data yang bocor bisa digunakan untuk melakukan pemerasan, doxing (penyebaran data untuk mempermalukan), atau bahkan rekayasa sosial yang merugikan korban secara psikologis maupun finansial.

  1. Gangguan Operasional dan Produktivitas

Kebocoran data yang berasal dari serangan siber juga kerap menimbulkan gangguan operasional yang parah. Misalnya, serangan ransomware pada Pusat Data Nasional Sementara (PDNS) pada 2024 menyebabkan gangguan pada ratusan sistem layanan pemerintah. Pelayanan publik terganggu, data tak bisa diakses, dan proses pemulihan berjalan lambat.

Di lingkungan bisnis, kondisi serupa bisa menyebabkan operasional lumpuh. Sistem pembayaran tak bisa digunakan, layanan pelanggan terganggu, dan proses internal menjadi kacau. Selain memicu kerugian jangka pendek, hal ini bisa memengaruhi daya saing perusahaan dalam jangka panjang.

Langkah Pemerintah Indonesia dan Regulasi Terkait

Meningkatnya ancaman kebocoran data pribadi di Indonesia tidak hanya menjadi perhatian masyarakat dan pelaku usaha, tetapi juga mendorong pemerintah untuk mengambil tindakan strategis dalam memperkuat perlindungan data. Sejumlah kebijakan dan inisiatif telah diluncurkan dalam beberapa tahun terakhir, meskipun tantangan implementasi masih terus menjadi pekerjaan rumah.

  1. Pengesahan UU Perlindungan Data Pribadi (UU PDP)

Langkah paling monumental dilakukan pada Oktober 2022, saat pemerintah secara resmi mengesahkan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP). Regulasi ini menjadi tonggak sejarah karena untuk pertama kalinya Indonesia memiliki payung hukum khusus yang mengatur secara komprehensif pengumpulan, pengolahan, penyimpanan, dan penghapusan data pribadi.

Beberapa poin penting dari UU PDP antara lain:

  • Setiap penyelenggara sistem elektronik wajib menjamin keamanan data pribadi pengguna.
  • Warga negara memiliki hak untuk mengetahui, memperbaiki, dan menghapus data pribadinya.
  • Insiden kebocoran data harus dilaporkan kepada otoritas dalam waktu maksimal 72 jam.
  • Tersedia sanksi administratif berupa denda, dan bahkan pidana bagi pelanggaran berat.

UU ini juga mengamanatkan pembentukan lembaga otoritas perlindungan data dalam waktu dua tahun setelah pengesahan, yang nantinya akan bertindak sebagai regulator dan pengawas independen.

  1. Peran Sementara Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo)

Sembari menunggu terbentuknya otoritas baru, Kementerian Kominfo ditunjuk sebagai lembaga pengawas sementara yang mengawal implementasi UU PDP. Kominfo memiliki tugas untuk:

  • Menyusun aturan turunan berupa Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri.
  • Memberikan pedoman teknis perlindungan data pribadi bagi sektor publik maupun swasta.
  • Menangani laporan insiden dan memberikan sanksi administratif sesuai kewenangan yang ada.

Dalam beberapa insiden besar, seperti kebocoran data BPJS, Dukcapil, dan NPWP, Kominfo telah melakukan pemanggilan pihak terkait dan memfasilitasi proses investigasi, meskipun efektivitas tindak lanjut masih kerap menjadi sorotan publik.

  1. Peran Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN)

Sebagai lembaga teknis keamanan siber nasional, BSSN berperan dalam mendeteksi, menganalisis, dan memberikan peringatan dini terhadap insiden kebocoran data maupun serangan siber lainnya. BSSN juga aktif:

  • Merilis laporan statistik ancaman siber tahunan.
  • Memberikan pelatihan dan asistensi keamanan informasi bagi lembaga pemerintah.
  • Menyediakan panduan tata kelola keamanan untuk sektor swasta, termasuk UKM.

Namun, BSSN tidak memiliki kewenangan penindakan hukum. Keterbatasan ini membuat peran BSSN lebih bersifat preventif dan teknis. Oleh karena itu, ada wacana memperkuat lembaga ini melalui pembentukan unit penyidik PNS atau peningkatan kerja sama dengan kepolisian.

  1. Koordinasi dengan Penegak Hukum dan Pembentukan Satgas

Dalam kasus-kasus kebocoran besar, pemerintah juga membentuk Satuan Tugas Perlindungan Data Pribadi yang terdiri dari lintas lembaga: Kominfo, BSSN, Polri, BIN, dan kementerian teknis lainnya. Satgas ini bertugas:

  • Mengkoordinasikan respons cepat atas insiden kebocoran data.
  • Melakukan investigasi bersama dan penindakan hukum bila diperlukan.
  • Menyusun rekomendasi kebijakan jangka panjang.

Contohnya, dalam kasus “Bjorka” yang sempat membocorkan data KPU dan pejabat negara pada 2022, Satgas dibentuk untuk menelusuri pelaku dan memulihkan kepercayaan publik. Meskipun belum seluruhnya berhasil membongkar aktor intelektual di balik aksi tersebut, langkah ini menunjukkan komitmen awal pemerintah dalam menangani kejahatan siber secara lintas sektor.

  1. Literasi Digital dan Edukasi Keamanan Siber

Di sisi lain, pemerintah juga mendorong penguatan pemahaman publik melalui program literasi digital, khususnya di bawah gerakan nasional Siberkreasi. Program ini menargetkan masyarakat umum, pelajar, guru, dan pelaku UMKM agar lebih melek terhadap ancaman digital dan pentingnya menjaga keamanan data pribadi.

Kampanye edukasi juga mencakup topik-topik praktis, seperti:

  • Mengelola kata sandi yang aman.
  • Mengenali ciri-ciri penipuan digital dan phishing.
  • Menggunakan autentikasi dua faktor.
  • Mewaspadai penggunaan jaringan Wi-Fi publik.

Strategi Melindungi Data Pribadi dan Keamanan Siber bagi Bisnis

Di tengah maraknya kebocoran data dan semakin kompleksnya ancaman siber, pelaku usaha—baik skala kecil maupun besar—tidak lagi bisa memandang perlindungan data sebagai urusan teknis semata. Sebaliknya, menjaga keamanan data pribadi pelanggan dan aset digital internal kini menjadi bagian dari tanggung jawab strategis dalam menjaga keberlangsungan bisnis.

Berikut adalah sejumlah strategi dan langkah konkret yang dapat diterapkan oleh perusahaan untuk memperkuat sistem keamanan data mereka:

  1. Audit dan Evaluasi Sistem Keamanan Secara Berkala

Langkah pertama yang krusial adalah melakukan audit menyeluruh terhadap infrastruktur digital perusahaan. Ini mencakup sistem penyimpanan data, server, aplikasi yang digunakan, dan jalur komunikasi internal. Audit semacam ini membantu mendeteksi potensi kerentanan atau celah keamanan sebelum dimanfaatkan oleh pihak tidak bertanggung jawab.

Setelah audit dilakukan, perusahaan harus segera menindaklanjuti dengan peningkatan pengamanan, termasuk penerapan enkripsi untuk data sensitif, pemisahan akses pengguna (privilege segmentation), dan pembaruan perangkat lunak secara rutin.

  1. Terapkan Kebijakan Akses dan Kata Sandi yang Ketat

Data pribadi harus hanya bisa diakses oleh pihak yang benar-benar memiliki kewenangan. Oleh karena itu, perusahaan perlu mengatur hak akses berbasis peran (role-based access control) dan memastikan bahwa setiap akun karyawan menggunakan kata sandi yang kuat, unik, dan diperbarui secara berkala.

Sebagai langkah tambahan, perusahaan sangat disarankan mengaktifkan otentikasi dua faktor (2FA) pada semua sistem penting, untuk menghindari pembobolan akun hanya karena satu kredensial berhasil dicuri.

  1. Tingkatkan Kesadaran dan Literasi Keamanan Karyawan

Faktor manusia sering kali menjadi titik lemah terbesar dalam sistem keamanan. Oleh karena itu, penting bagi perusahaan untuk mengadakan pelatihan keamanan siber secara rutin, baik dalam bentuk seminar internal, simulasi phishing, maupun modul e-learning.

Materi pelatihan harus mencakup hal-hal mendasar seperti:

  • Cara mengenali email phishing atau tautan mencurigakan.
  • Kebiasaan aman dalam menggunakan perangkat kerja, terutama saat remote.
  • Prosedur melaporkan insiden jika karyawan mencurigai adanya pelanggaran.

Dengan membangun budaya cyber hygiene di tempat kerja, risiko insiden bisa ditekan secara signifikan.

  1. Siapkan Prosedur Tanggap Insiden (Incident Response Plan)

Tidak ada sistem yang benar-benar kebal terhadap serangan. Karena itu, perusahaan perlu menyiapkan protokol penanganan insiden yang jelas dan terstruktur. Ini mencakup langkah-langkah apa yang harus dilakukan ketika terjadi kebocoran, siapa yang bertanggung jawab, serta bagaimana melaporkan dan menginformasikan insiden ke publik maupun regulator.

Langkah cepat seperti isolasi sistem yang terdampak, analisis forensik digital, hingga pemberitahuan resmi ke pihak berwenang (seperti Kominfo) dapat meminimalisasi kerugian dan menunjukkan komitmen perusahaan dalam melindungi konsumen.

  1. Patuhi Regulasi dan Siapkan Dokumentasi Hukum

Seiring diberlakukannya UU Perlindungan Data Pribadi, perusahaan harus menyesuaikan diri dengan ketentuan hukum yang ada. Ini mencakup:

  • Menyusun dan mendokumentasikan kebijakan privasi.
  • Menunjuk petugas perlindungan data pribadi (Data Protection Officer) jika diperlukan.
  • Menyediakan mekanisme bagi pengguna untuk meminta akses, perbaikan, atau penghapusan datanya.

Selain sebagai bentuk kepatuhan hukum, hal ini juga menjadi nilai tambah dalam membangun kepercayaan pelanggan.

  1. Gunakan Penyedia Teknologi yang Tepercaya dan Aman

Jika perusahaan menggunakan layanan pihak ketiga, seperti penyimpanan cloud atau sistem pembayaran, pastikan bahwa penyedia jasa tersebut telah memenuhi standar keamanan internasional dan memiliki rekam jejak baik dalam mengelola data.

Selalu cek apakah vendor memiliki sertifikasi seperti ISO/IEC 27001 atau memenuhi prinsip-prinsip data sovereignty jika data disimpan di luar negeri. Kontrak kerja sama juga harus menyertakan klausul perlindungan data yang jelas.

  1. Cadangkan Data Secara Berkala dan Pisahkan dari Sistem Aktif

Melakukan backup data secara teratur, baik ke lokasi fisik maupun penyimpanan cloud yang aman, menjadi langkah penting untuk menghadapi ancaman ransomware. Salinan data yang disimpan terpisah dari sistem utama akan sangat membantu dalam proses pemulihan jika terjadi penguncian sistem atau kerusakan.

Idealnya, perusahaan menggunakan pendekatan 3-2-1: tiga salinan data, di dua jenis media penyimpanan, dan satu di antaranya disimpan secara offline.

Kesimpulan

Perdagangan data pribadi di internet gelap bukan lagi sekadar isu teknis yang hanya dipahami oleh kalangan profesional IT. Ini adalah fenomena nyata yang menyentuh langsung kehidupan masyarakat dan pelaku usaha di Indonesia. Dalam beberapa tahun terakhir, kita telah menyaksikan bagaimana jutaan data sensitif—mulai dari nama, NIK, alamat, hingga informasi keuangan dan kesehatan—bocor dan diperjualbelikan secara terbuka di forum-forum gelap dengan harga yang sangat murah.

Ironisnya, meskipun data pribadi dihargai sangat rendah di pasar gelap—bahkan lebih murah dari secangkir kopi—dampak yang ditimbulkan bisa sangat besar. Dari pencurian identitas, kerugian finansial, hingga rusaknya reputasi bisnis, kebocoran data membawa konsekuensi jangka panjang yang tidak mudah dipulihkan.

Pemerintah telah merespons dengan berbagai kebijakan, termasuk pengesahan UU Perlindungan Data Pribadi dan pembentukan satuan tugas lintas sektor. Namun, upaya tersebut tidak akan cukup jika tidak diikuti dengan kesadaran dan langkah konkret dari pelaku usaha. Melindungi data bukan hanya tentang mematuhi regulasi, tetapi juga soal membangun kepercayaan—sebuah fondasi yang sangat penting dalam dunia bisnis digital.

Bagi perusahaan, membangun sistem keamanan data yang andal bukan lagi pilihan, melainkan kewajiban. Langkah-langkah seperti audit berkala, pelatihan karyawan, penguatan infrastruktur TI, serta penerapan kebijakan privasi yang transparan adalah bentuk komitmen nyata dalam menjaga integritas bisnis dan melindungi pelanggan.

Sementara bagi masyarakat, pemahaman tentang bagaimana data digunakan dan risiko di baliknya adalah langkah awal untuk menjadi pengguna digital yang lebih cerdas dan waspada.

Pada akhirnya, membangun ekosistem digital yang aman dan tepercaya adalah tanggung jawab bersama—pemerintah sebagai regulator, perusahaan sebagai pengelola, dan masyarakat sebagai pemilik data. Dengan kolaborasi yang kuat dan kesadaran yang tinggi, kita bisa keluar dari “peta gelap” internet dan menciptakan ruang digital Indonesia yang lebih aman, transparan, dan berkelanjutan.

Bagikan:

Avatar

Andhika RDigital Marketing at Fourtrezz

Semua Artikel

Artikel Terpopuler

Berlangganan Newsletter FOURTREZZ

Jadilah yang pertama tahu mengenai artikel baru, produk, event, dan promosi.

Partner Pendukung

infinitixyberaditif

© 2025 PT Tiga Pilar Keamanan. All Rights Reserved.
Info Ordal