Rabu, 4 Juni 2025 | 11 min read | Andhika R

Zero Trust 2.0: Evolusi Arsitektur Tanpa Kepercayaan di Dunia Hyperconnected

Di era digital saat ini, dunia hyperconnected menuntut organisasi menghadapi tantangan keamanan yang belum pernah ada sebelumnya. Konektivitas tanpa batas – user-to-user, user-to-machine, dan machine-to-machine – menambah serangan permukaan (attack surface) yang harus dilindungi. Saat 4G bertransisi ke 5G dan Internet of Things (IoT) berkembang, kebutuhan keamanan siber yang scalable semakin mendesak. Dalam konteks ini, model Zero Trust yang menghilangkan kepercayaan implisit dan selalu memverifikasi setiap akses menjadi sangat relevan. Bahkan, pemerintah Indonesia mencatat bahwa pendekatan Zero Trust sudah diadopsi oleh “hampir semua negara” untuk memperkuat keamanan nasional. Dengan memahami konsep Zero Trust dan evolusinya ke Zero Trust 2.0, organisasi dapat merancang arsitektur keamanan yang adaptif dan tahan terhadap ancaman modern.

Zero Trust 2.0 Evolusi Arsitektur Tanpa Kepercayaan di Dunia Hyperconnected.webp

Apa Itu Zero Trust dan Bagaimana Evolusinya?

Zero Trust adalah strategi keamanan yang mengasumsikan tidak ada entitas – pengguna atau perangkat – yang secara otomatis dipercaya, baik di dalam maupun di luar perimeter jaringan. Konsep ini berlandaskan prinsip “tidak percaya, selalu verifikasi” (never trust, always verify). Berbeda dengan model tradisional yang mengandalkan firewall di batas jaringan, Zero Trust melindungi sumber daya (data, aplikasi, layanan) secara granular tanpa bergantung pada lokasi fisik jaringan. Setiap akses dinilai ulang melalui otentikasi yang kuat dan otorisasi ketat sebelum diberikan izin, dengan penerapan kebijakan least privilege untuk meminimalkan hak istimewa pengguna.

Evolusi Zero Trust melibatkan beberapa tonggak penting. Pada 2020, NIST menerbitkan SP 800-207 sebagai panduan arsitektur Zero Trust, menegaskan bahwa Zero Trust fokus pada perlindungan sumber daya tanpa menganggap jaringan sebagai komponen utama keamanan. Di tahun berikutnya, Presiden AS mengeluarkan perintah eksekutif yang mewajibkan seluruh lembaga federal mengadopsi arsitektur Zero Trust (ZTA). Laporan riset bahkan menunjukkan lebih dari dua pertiga organisasi di dunia menerapkan kebijakan Zero Trust secara luas. Seiring waktu, konsep ini berkembang menjadi Zero Trust 2.0, yang memadukan prinsip dasar Zero Trust dengan teknologi canggih seperti AI/ML, dan menekankan pendekatan berbasis identitas. Pendekatan 2.0 tidak hanya mengandalkan validasi identitas dan perangkat secara real-time, tetapi juga mengintegrasikan otomasi, analitik, serta kapabilitas lintas-pilar untuk menghadapi ancaman yang semakin dinamis.

Tantangan Keamanan di Dunia Hyperconnected

Dunia hyperconnected memperluas permukaan serangan dengan cepat. Proliferasi perangkat IoT, komputasi awan, 5G, serta tren remote working dan BYOD (Bring Your Own Device) membuat perimeter tradisional makin kabur. Situasi ini menciptakan tantangan seperti: 1) Perangkat tidak terkelola (owned vs BYOD) masuk ke jaringan, 2) Lalu lintas data melintasi cloud publik tanpa proteksi ujung-ke-ujung, 3) Peningkatan serangan siber canggih (malware, ransomware, serangan rantai pasokan) yang mengeksploitasi kerentanan tersembunyi. Selain itu, regulator memperketat persyaratan keamanan dan privasi data. Model keamanan lama yang berasumsi “user di dalam jaringan = aman” sudah tidak memadai lagi. Dengan serangan siber yang semakin kompleks, arsitektur keamanan harus mampu adaptif dan proaktif mengawasi setiap titik akses jaringan.

Pilar Utama Zero Trust 2.0

Menurut model Zero Trust terbaru, terdapat lima pilar utama yang menjadi fondasi arsitektur keamanan Zero Trust 2.0:

  • Identitas (Identity): Verifikasi kuat terhadap identitas pengguna dan layanan. Setiap entitas harus terautentikasi menggunakan mekanisme tangguh, misalnya autentikasi multi-faktor (MFA) anti-phishing. Microsoft menegaskan bahwa identitas “divalidasi dan diamankan dengan autentikasi tahan-phishing (MFA) di mana-mana”. Kredensial riil harus diperiksa dengan cermat sebelum akses diberikan.
  • Perangkat (Devices): Mengelola dan mengecek kelayakan perangkat. Setiap perangkat yang mencoba mengakses sumber daya harus memenuhi standar kesehatan tertentu. Microsoft menerapkan validasi kesehatan perangkat secara ketat: perangkat harus memenuhi kondisi kesehatan minimal sebelum diberi akses. Solusi endpoint security dan manajemen perangkat memainkan peran kunci di sini.
  • Jaringan (Networks): Segmentasi dan pembatasan pergerakan lateral. Lalu lintas jaringan dikontrol secara micro-segmentasi sehingga penyerang sulit bergerak melebar jika terjadi pelanggaran. Setiap koneksi antar-jaringan harus melalui pemeriksaan keamanan (misalnya VPN Zero Trust, akses jaringan nol-kepercayaan).
  • Aplikasi & Beban Kerja (Applications and Workloads): Keamanan aplikasi dan layanan. Pengguna hanya dapat mengakses aplikasi atau workload yang sudah diotorisasi dan diverifikasi kontekstual (misalnya status aplikasi pada cloud). Koneksi ke microservice atau API diisolasi dengan kebijakan granular.
  • Data (Data): Perlindungan data di setiap lapisan. Data diklasifikasi, dienkripsi, dan diberikan label metadata uniform. Standarisasi klasifikasi dan protokol enkripsi memastikan data “diidentifikasi, dilindungi, dan dipantau secara konsisten” sepanjang siklus hidupnya. Kebijakan DLP (Data Loss Prevention) dan kontrol akses berbasis kandungan melindungi data sensitif meski berada di luar perimeter tradisional.

Setiap pilar tersebut didukung oleh kapabilitas lintas-pilar seperti Visibilitas dan Analitik, Otomasi dan Orkestrasi, serta Tata Kelola (Governance). Visibilitas penuh dan analitik yang komprehensif diperlukan untuk memantau aktivitas secara real-time. Otomasi & orkestrasi memungkinkan respons cepat otomatis terhadap insiden. Tata kelola menyatukan kebijakan dan prosedur di seluruh pilar untuk memastikan kepatuhan dan manajemen risiko yang konsisten.

Strategi Implementasi Zero Trust 2.0

Menerapkan Zero Trust 2.0 memerlukan perencanaan matang dan pendekatan bertahap. Beberapa langkah strategi penting meliputi:

  1. Penilaian & Audit Awal: Lakukan evaluasi menyeluruh terhadap infrastruktur TI dan risiko keamanan yang ada. NIST menyarankan agar organisasi menilai sistem, sumber daya, dan proses saat ini sebelum berinvestasi dalam solusi Zero Trust. Hasil audit membantu mengidentifikasi kemampuan yang sudah ada dan celah (gap) yang perlu diperbaiki terlebih dahulu.
  2. Standarisasi Protokol Identitas dan Akses: Terapkan protokol autentikasi dan otorisasi seragam di seluruh organisasi. Misalnya, penggunaan standar seperti SAML untuk single sign-on dan XACML untuk kebijakan akses membantu menyelaraskan manajemen identitas. Kebijakan least privilege ditegakkan melalui definisi peran dan hak akses yang ketat.
  3. Otentikasi Multi-Faktor (MFA) dan Enrolmen Perangkat: Wajibkan MFA untuk semua akses ke sumber daya perusahaan. Selain faktor-faktor tradisional, integrasi biometrik atau token dinamis dapat meningkatkan keamanan. Daftarkan perangkat (mobile, IoT, dll.) agar hanya yang telah terverifikasi dan patuh kebijakan keamanan yang diizinkan bergabung ke jaringan.
  4. Segmentasi dan Kontrol Jaringan: Terapkan micro-segmentation pada jaringan sesuai klasifikasi risiko. Penggunaan firewall internal atau Software-Defined Perimeter memisahkan zona jaringan, sehingga jika satu segmen dilanggar, penyerang tidak dapat dengan mudah berpindah ke segmen lain.
  5. Standarisasi Data dan Metadata: Terapkan skema klasifikasi data yang konsisten dan enkripsi end-to-end. Pastikan setiap aset data diberi label metadata (pemilik, jenis data, tingkat sensitivitas) yang seragam. Hal ini memudahkan penegakan kebijakan akses dan audit keamanan.
  6. Referensi Desain dan Integrasi Lintas Sistem: Kembangkan dan bagikan reference architecture Zero Trust untuk mempercepat implementasi. DHS merekomendasikan penggunaan desain arsitektur acuan sehingga tim keamanan dapat menghindari kesalahan umum. Uji interoperabilitas antar-komponen (seperti sistem IAM, platform keamanan endpoint, dan aplikasi) untuk memastikan mereka bekerja selaras.
  7. Otomasi dan Analitik: Integrasikan alat analitik keamanan (SIEM, XDR) dan otomasi respons insiden. Data dari berbagai sumber digabungkan untuk mendeteksi pola anomali dan memicu tindakan otomatis. Contoh, penggunaan AI/ML dapat memproses volume log besar secara real-time.
  8. Pendidikan dan Budaya Keamanan: Libatkan seluruh karyawan melalui pelatihan kesadaran keamanan siber. Zero Trust menuntut perubahan budaya – setiap orang harus sadar bahwa keamanan itu tanggung jawab bersama. Simulasi insiden (misalnya latihan phising) dapat meningkatkan kesiapan tim dalam merespons ancaman.

Langkah-langkah ini bertujuan menciptakan roadmap implementasi Zero Trust secara terukur. Para ahli menyarankan pendekatan multistep, dimulai dari proyek kecil dan real-time workflow, untuk menghindari klaim berlebihan dan risiko gangguan besar. Dengan perencanaan yang matang, organisasi dapat beralih secara bertahap menuju model keamanan yang lebih tangguh.

Studi Kasus & Contoh Nyata

Sejumlah entitas global telah merasakan manfaat Zero Trust. Google, misalnya, mengembangkan kerangka BeyondCorp sebagai implementasi internal Zero Trust. BeyondCorp mengalihkan kontrol akses dari perimeter jaringan ke tingkat individu: setiap karyawan Google dapat bekerja aman dari jaringan tak tepercaya tanpa VPN tradisional. Model ini memastikan autentikasi dan otorisasi berbasis identitas pengguna dan perangkat, memungkinkan akses jarak jauh yang aman bagi ribuan pegawai Google setiap hari.

Di sektor swasta lainnya, Microsoft telah menerapkan Zero Trust selama bertahun-tahun. Dalam laporannya, Microsoft menyebutkan bahwa arsitektur Zero Trust mereka “mengurangi risiko di seluruh lingkungan” dengan verifikasi identitas yang kuat, validasi kepatuhan perangkat sebelum memberi akses, dan least privilege yang ketat. Hasilnya, setiap akses diperiksa ulang (dari pengguna, perangkat, jaringan, hingga aplikasi) untuk memastikan kepercayaan sebelum data perusahaan dijamah.

Dari sisi pemerintahan, Amerika Serikat memimpin regulasi Zero Trust. Perintah Eksekutif AS 2021 mewajibkan semua lembaga federal mengadopsi prinsip Zero Trust, dengan tujuan memperkuat postur keamanan nasional. CISA bahkan merilis “Zero Trust Maturity Model 2.0” untuk membantu lembaga merancang pilar keamanan yang komprehensif (identitas, perangkat, jaringan, aplikasi, data). Pendekatan yang serupa diadopsi di berbagai negara. Catatan pemerintah Indonesia menyebut bahwa konsep Zero Trust “telah dilakukan oleh hampir semua negara” untuk mengatasi kerentanan keamanan siber. Contoh konkretnya, Korea Selatan dan Filipina mengintegrasikan Zero Trust dalam kebijakan nasional mereka untuk melindungi infrastruktur kritis dan data warga.

Manfaat Jangka Panjang

Implementasi Zero Trust 2.0 membawa manfaat signifikan dalam jangka panjang. Pertama, reduksi risiko pelanggaran data. Dengan memastikan bahwa setiap akses terverifikasi, arsitektur Zero Trust “mengurangi risiko di seluruh lingkungan” perusahaan. Penggunaan MFA, segmentasi, dan monitoring terus-menerus meminimalkan kemungkinan penyerang bergerak lateral dalam sistem. Kedua, efisiensi biaya operasional. Pendekatan Zero Trust dapat mengurangi kebutuhan sumber daya manusia dan perangkat keras yang selalu aktif memantau keamanan, sehingga menekan biaya. Dengan arsitektur yang lebih otomatis dan terpadu, organisasi mengalokasikan sumber daya secara lebih efektif. Selain itu, Zero Trust meningkatkan kepatuhan pada regulasi keamanan dan privasi (dengan audit trail lebih baik) serta kepercayaan pelanggan karena data perusahaan terlindungi lebih kuat. Secara keseluruhan, strategi Zero Trust 2.0 membuat organisasi lebih gesit dan siap menghadapi ancaman baru, serta membangun fondasi keamanan yang tahan lama.

Tantangan dan Solusi Implementasi

Meskipun menjanjikan, penerapan Zero Trust 2.0 bukan tanpa hambatan. Tantangan utamanya meliputi: kompleksitas teknis (integrasi sistem lama dengan solusi baru), perubahan budaya organisasi (membutuhkan kesadaran keamanan tinggi di semua level), keterbatasan anggaran dan sumber daya (investasi awal untuk teknologi dan SDM), serta interoperabilitas beragam alat keamanan. Untuk mengatasinya, strategi berikut perlu diterapkan: mendapatkan dukungan eksekutif agar proyek Zero Trust menjadi prioritas; membagi implementasi dalam beberapa tahap dan pilot kecil sesuai roadmap; dan berfokus pada quick wins seperti MFA dan segmentasi mikro terlebih dahulu. CISA dan NIST menyediakan pedoman serta contoh referensi arsitektur untuk memperlancar integrasi. Penting juga menguji interoperabilitas antar-elemen Zero Trust (seperti sistem IAM, NAC, dan platform analitik) agar bekerja mulus. Akhirnya, perubahan manajemen yang hati-hati diperlukan – edukasi berkelanjutan dan pelatihan intensif membantu menyelaraskan tim TI dan pengguna terhadap prinsip Zero Trust. Dengan pendekatan terencana dan bertahap, solusi Zero Trust 2.0 dapat diimplementasikan secara efektif meski menghadapi kendala teknis dan organisasi.

Kesimpulan

Zero Trust 2.0 merupakan evolusi arsitektur keamanan modern yang sangat relevan di era dunia hyperconnected. Model ini menggeser paradigma dari kepercayaan jaringan statis menjadi verifikasi terus-menerus pada setiap akses sumber daya. Dengan lima pilar kunci (Identitas, Perangkat, Jaringan, Aplikasi, Data) dan kapabilitas lintas-pilar (visibilitas, otomasi, tata kelola), Zero Trust 2.0 mampu menghadapi ancaman siber yang semakin kompleks. Studi kasus Google, Microsoft, dan pemerintah AS menunjukkan bahwa dengan penerapan yang tepat, risiko keamanan dapat dikurangi drastis. Meskipun implementasinya menuntut perencanaan matang dan investasi, manfaat jangka panjang berupa keamanan data yang lebih kokoh, efisiensi operasional, serta kepatuhan yang lebih baik membuat Zero Trust 2.0 menjadi arah strategis utama bagi organisasi. Di dunia hiper-terhubung saat ini, mengadopsi arsitektur tanpa kepercayaan adalah langkah kritis untuk menjaga ketahanan siber nasional dan perusahaan.

FAQ

  1. Apa itu Zero Trust 2.0?
    Zero Trust 2.0 adalah konsep lanjutan dari arsitektur keamanan Zero Trust. Prinsip dasarnya tetap “tidak percaya, selalu verifikasi” pada setiap akses, namun 2.0 mengintegrasikan teknologi terbaru (seperti AI/ML dan cloud) serta penekanan pada identitas dan data. Model ini mempertimbangkan lingkungan yang sangat terkoneksi dan dinamis, dengan menambahkan kapabilitas otomasi dan analitik tingkat lanjut.
  2. Apa perbedaan Zero Trust dengan model keamanan tradisional?
    Model tradisional mengandalkan perimeter jaringan dan “kepercayaan implisit” pada pengguna di dalamnya. Sedangkan Zero Trust sama sekali tidak mempercayai entitas mana pun secara otomatis. Setiap akses diverifikasi melalui autentikasi kuat (MFA) dan otorisasi ketat, serta kontrol segmentasi mikro. Dengan demikian, Zero Trust melindungi sumber daya secara end-to-end, bukan hanya di batas luar jaringan.
  3. Mengapa Zero Trust penting di era dunia hyperconnected?
    Karena organisasi kini memiliki lebih banyak titik akses (perangkat mobile, IoT, remote) di mana-mana. Dunia hyperconnected memperluas permukaan serangan secara eksponensial. Zero Trust menjadi penting karena tidak mengandalkan perimeter yang mudah dibobol; melainkan mengawasi setiap koneksi pengguna, perangkat, dan aplikasi. Ini membantu menanggulangi risiko yang timbul dari mobilitas tinggi dan infrastruktur yang terdistribusi.
  4. Apa saja pilar utama Zero Trust 2.0?
    Zero Trust 2.0 dibangun atas lima pilar utama: Identitas, Perangkat, Jaringan, Aplikasi & Beban Kerja, dan Data. Misalnya, pada pilar Identitas, setiap pengguna harus terautentikasi dengan MFA; pada pilar Perangkat, perangkat harus tervalidasi sehat. Pilar-pilar ini didukung kapabilitas lintas-pilar seperti visibilitas/analitik dan otomasi, yang memastikan kebijakan Zero Trust diterapkan konsisten di seluruh organisasi.
  5. Bagaimana cara memulai implementasi Zero Trust di organisasi?
    Langkah awal adalah melakukan audit keamanan menyeluruh (inventaris aset, identifikasi risiko). Selanjutnya, bentuk tim lintas fungsi untuk merumuskan kebijakan Zero Trust. Terapkan langkah-langkah dasar terlebih dahulu, seperti MFA untuk semua akses dan segmentasi jaringan. Ikuti panduan standar (misal NIST SP 800-207 atau model CISA v2.0) dan gunakan arsitektur referensi yang ada. Tingkatkan secara bertahap sambil terus memantau efektivitas dan mengedukasi pengguna. Prinsip dasarnya adalah bertahap dan terus-terusan meningkatkan tingkat kepercayaan (maturity) Zero Trust.
Bagikan:

Avatar

Andhika RDigital Marketing at Fourtrezz

Semua Artikel

Artikel Terpopuler

Berlangganan Newsletter FOURTREZZ

Jadilah yang pertama tahu mengenai artikel baru, produk, event, dan promosi.

Partner Pendukung

infinitixyberaditif

© 2025 PT Tiga Pilar Keamanan. All Rights Reserved.
Info Ordal