Rabu, 22 Oktober 2025 | 10 min read | Andhika R
Bahaya Credential Stuffing: Password Lama Anda Bisa Jadi Celah Baru
Password Lama, Bahaya Baru
“Bukan sistem yang gagal — manusialah yang menolak berubah.” Kalimat tajam ini mencuat di tengah maraknya serangan siber berbasis kredensial. Bayangkan sebuah password lama yang pernah Anda gunakan bertahun-tahun silam, tersimpan di sudut memori dan mungkin sudah dilupakan. Namun di dunia maya, kredensial usang itu tidak benar-benar mati. Ia berkeliaran di lorong-lorong gelap internet, siap “dihidupkan” kembali oleh pelaku kejahatan siber demi membobol akun-akun terbaru Anda. Inilah ironi keamanan digital masa kini: sistem sudah semakin canggih, tetapi kebiasaan pengguna yang enggan berubah justru menjadi celah terbesar. Faktanya, 88% insiden peretasan di tahun 2024 disebabkan oleh kredensial yang dicuri atau ditebak secara paksa. Angka ini menegaskan bahwa teknik seperti credential stuffing bukan semata trik teknis — melainkan cermin kelalaian kolektif kita dalam mengelola keamanan akun. Pelaku tak perlu menemukan celah baru dalam sistem, cukup memanfaatkan kecerobohan kita mempertahankan “kunci” lama untuk semua pintu digital.
Dunia yang Hidup dari Sisa Data
Di ranah siber, data yang sudah bocor ibarat hantu yang gentayangan: tidak terlihat kasat mata, tetapi aktif memperdaya korban baru. Dark web bukan kuburan data — melainkan tempat mereka bereinkarnasi menjadi senjata. Setiap informasi yang pernah tercuri masih beredar di pasar gelap digital, menunggu untuk diperdagangkan dan disalahgunakan. Baru-baru ini, publik dikejutkan dengan temuan kumpulan miliaran kredensial yang bocor di forum hacker. Bukan karena ada peretasan baru berskala raksasa, melainkan karena kredensial lama hasil berbagai pembobolan dikompilasi ulang. Bagi para kriminal, kumpulan usang ini laksana tambang emas. Mengapa? Karena password tidak memiliki tanggal kedaluwarsa. Selama pengguna masih malas menggantinya, kata sandi lama tetap bernilai di tangan penyerang. Reused atau weak credentials (kata sandi yang digunakan berulang atau lemah) terbukti menjadi salah satu cara paling efektif untuk membobol akun.
Pasar gelap data menciptakan ekosistem yang menggiurkan bagi penjahat siber. Miliaran username dan password yang dicuri beredar dengan harga sangat murah, nyaris tak bernilai saking melimpahnya. Biaya rendah ini diimbangi potensi keuntungan besar: cukup satu akun penting yang berhasil ditembus, imbalannya bisa jauh melampaui modal. Tak heran jika komplotan kejahatan siber rajin memonetisasi kredensial lama yang kita abaikan. Laporan terbaru juga menunjukkan hampir 80% pelanggaran data tahun lalu melibatkan penggunaan kredensial curian. Angka global ini sejalan dengan situasi lokal. Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) Indonesia mengungkap bahwa dalam rentang 2022 hingga pertengahan 2023 saja terdapat 376 dugaan kebocoran data pada infrastruktur vital. Bahkan BSSN berhasil mendeteksi lebih dari seratus insiden kebocoran melalui dark web sebelum kasusnya mencuat ke publik. Data-data yang bocor tersebut tidak lenyap ditelan waktu, melainkan terus berpindah tangan di komunitas bawah tanah. Ibarat peluru tak bertuan, informasi pribadi dan kredensial lama kita dapat “ditembakkan” kapan saja ke target apa pun oleh pihak tak bertanggung jawab.
Analoginya, jika data adalah makhluk, maka dark web adalah alam baka yang justru ramai aktivitas. Di sana, password yang sudah mati di satu platform terlahir kembali untuk menghantui platform lain. Industri kejahatan siber memfasilitasi “reinkarnasi” ini melalui forum jual-beli data, dump kredensial, hingga layanan berlangganan untuk akses “barang rampasan” digital. Contoh konkret adalah takedown pasar gelap besar yang menjual identitas digital lengkap beserta cookie dan VPN untuk memuluskan aksi penipuan. Jelas sudah: selama pengguna masih ceroboh menganggap kebocoran data lama sebagai masa lalu semata, para pelaku kejahatan akan terus menjadikannya modal masa kini. Dunia maya benar-benar hidup dari sisa data yang kita tinggalkan.
Credential Stuffing: Serangan yang Tak Perlu Meretas
Serangan credential stuffing pada dasarnya tidak memerlukan keahlian meretas sistem. Ibarat pencuri yang menemukan kunci cadangan di bawah keset, pelaku credential stuffing memanfaatkan kunci (password) yang pernah bocor untuk membuka pintu lain. Credential stuffing adalah serangan otomatis berbasis volume besar: penyerang mengambil daftar kombinasi username-password hasil bocoran, lalu mencoba memasukkannya ke berbagai situs hingga ada yang berhasil login. Tidak ada celah keamanan canggih yang dieksploitasi; yang ada hanyalah efisiensi psikologis memanfaatkan kelengahan dan kemalasan pengguna.
Dari sisi teknis, credential stuffing tidak sesulit serangan brute force tradisional. Pelaku tidak menebak password secara acak karakter per karakter, melainkan langsung menembakkan peluru yang sudah pasti: kombinasi login hasil curian. Inilah mengapa tingkat keberhasilannya lebih tinggi daripada sekadar coba-coba buta. Sekilas, tingkat keberhasilan per percobaan mungkin terlihat kecil, namun jika jutaan percobaan login dilakukan secara otomatis oleh bot, jumlah korban yang sukses dibobol bisa sangat besar. Dengan biaya operasional nyaris nol dan hasil maksimal, peretas mengantongi keuntungan besar dari usaha minimal. Hal ini pula yang membuat serangan credential stuffing sulit dideteksi: lalu lintas login tampak seperti pengguna normal, hanya saja mereka bersenjata password curian.
Solusi sederhana untuk mencegah jadi korban credential stuffing sebenarnya sudah sering didengungkan: jangan gunakan ulang password. Ironisnya, solusi yang terdengar mudah ini justru paling sulit diterapkan secara konsisten oleh pengguna kebanyakan. Password manager dan generator kata sandi kompleks sudah banyak tersedia, namun belum diadopsi merata. Banyak orang masih merasa semua akun mereka “aman”, lupa bahwa keamanan serendah rantai terlemahnya. Saat satu password bocor, seluruh akun dengan password serupa ikut terancam. Intinya, pelaku credential stuffing tidak perlu meretas sistem Anda – merekalah yang memanfaatkan Anda yang meretas diri sendiri dengan praktik keamanan buruk.
Bukti di Lapangan: Kasus dan Pola Global
Fenomena credential stuffing bukan teori belaka. Sejumlah kasus nyata menggarisbawahi betapa masif dan mudahnya serangan ini menembus berbagai layanan. Contoh yang mencuat pada tahun 2020 adalah insiden yang menimpa platform streaming musik besar, di mana ratusan ribu akun berhasil diambil alih oleh pihak tak berwenang sebelum perusahaan tersebut melakukan reset massal kata sandi. Perlu digarisbawahi, dalam kasus ini platform tersebut tidak mengalami kebocoran sistem – para hacker cukup memanfaatkan email dan password yang sebelumnya bocor dari layanan lain.
Layanan streaming memang menjadi sasaran empuk. Sebuah laporan menyebutkan jutaan akun dari berbagai platform hiburan telah bocor kredensialnya selama tahun 2024. Data ini tidak berasal dari pembobolan server mereka, melainkan dikumpulkan dari kampanye pencurian kredensial yang lebih luas. Akibatnya, banyak akun premium dijual murah di forum gelap, atau digunakan pelaku untuk menonton gratis hingga pemilik asli tersingkir dari akunnya. Pola serupa juga terjadi pada berbagai sektor lain, termasuk keuangan dan e-commerce, menunjukkan skala global dari serangan tipe credential stuffing ini.
Di Indonesia, pola serupa sudah diperingatkan ketika terjadi kebocoran data besar seperti pada kasus Tokopedia tahun 2020. Para pakar segera mengimbau pengguna untuk mengganti semua password akun lain yang serupa karena penjahat siber pasti akan melakukan credential stuffing terhadap korban breach. Password yang berhasil dicuri dari satu layanan akan dicoba untuk login di layanan populer lain: dari email, media sosial, hingga akun e-commerce lainnya. BSSN mencatat insiden tersebut sebagai salah satu kebocoran terbesar, dan efek lanjutannya bisa meluas apabila masyarakat tidak sigap mengganti kredensial. Benar saja, tak lama setelah bocor, muncul laporan akun-akun pengguna di platform berbeda mengalami pengambilalihan ilegal. Perusahaan bisa saja sudah menerapkan sistem keamanan berlapis, tapi jika penggunanya masih memakai password lama yang sudah bocor, pertahanan sekuat apa pun akan runtuh dari dalam.
Mengapa Perusahaan Masih Gagal Mengantisipasi
Melihat masifnya ancaman credential stuffing, pertanyaan kritis muncul: mengapa banyak organisasi masih kecolongan menghadapi serangan yang sebenarnya dapat diprediksi ini? Jawabannya tidak sederhana, tetapi satu benang merahnya terletak pada aspek manusia dan budaya organisasi. Masalah utamanya bukan minimnya alat keamanan, melainkan kurangnya disiplin dan awareness di tingkat pengguna serta manajemen. Banyak perusahaan telah menggelontorkan investasi besar untuk firewall, sistem deteksi intrusi, hingga enkripsi canggih. Ironisnya, celah justru muncul dari hal-hal mendasar seperti kebijakan password yang tidak dijalankan dengan konsisten.
Survei menunjukkan disparitas antara kebijakan dan praktik di lapangan. Mayoritas organisasi mengaku sudah memiliki panduan manajemen password, namun itu tidak otomatis berarti eksekusinya efektif. Faktanya, sekitar separuh dari karyawan masih menggunakan ulang password yang sama untuk akun kerja dan pribadi mereka. Bahkan dalam lingkungan korporat yang ketat, banyak pengguna internal diketahui memakai kredensial yang sama di beberapa akun. Ini menunjukkan bahwa keberadaan aturan saja tidak cukup; kepatuhan dan pengawasan adalah titik lemah. Banyak karyawan mengakui mengambil jalan pintas demi kemudahan, seperti mengabaikan protokol keamanan atau memakai ulang password untuk banyak aplikasi kerja. Celah perilaku ini jelas berbahaya – satu kata sandi bocor, seluruh sistem rentan.
Budaya organisasi turut berperan. Edukasi keamanan siber di banyak perusahaan masih dianggap sebatas formalitas “sekali setahun”. Tidak heran jika security awareness karyawan cenderung rendah, bahkan di level pimpinan. Selain itu, tanggung jawab keamanan sering dianggap domain tim IT semata. Padahal, kebijakan sekuat apa pun tak akan efektif tanpa teladan dan dukungan dari manajemen atas. Kemampuan perusahaan mengantisipasi credential stuffing juga terkendala oleh prioritas bisnis. Dalam banyak kasus, pengalaman pengguna (user experience) dipilih mengungguli keamanan. Misalnya, masih banyak layanan yang enggan memaksa penerapan MFA karena khawatir mempersulit login pelanggan. Padahal, penelitian menunjukkan MFA dapat mencegah hampir seluruh serangan pembajakan akun. Namun implementasinya seringkali lamban karena alasan klasik seperti “takut merepotkan user”.
Singkatnya, perusahaan masih gagal mengantisipasi serangan credential stuffing bukan karena teknologi mereka kurang, tapi karena manusia di dalamnya belum menjadikan keamanan sebagai budaya. Diperlukan perubahan paradigma di organisasi: menganggap keamanan siber bukan sekadar biaya atau checklist kepatuhan, melainkan investasi jangka panjang. Edukasi keamanan bagi karyawan seharusnya diperlakukan sama seriusnya dengan pelatihan keterampilan bisnis. Kedisiplinan digital perlu dibangun layaknya budaya keselamatan kerja: setiap orang bertanggung jawab, dari staf hingga direksi.
Dari Password ke Identitas: Pergeseran Paradigma
Melihat kelemahan fundamental pada sistem password tradisional, saatnya kita mempertimbangkan pergeseran paradigma keamanan. Di masa depan, keamanan tidak lagi bergantung pada seberapa rumit password Anda, tetapi seberapa yakin sistem dapat membuktikan bahwa Anda adalah Anda. Prinsip ini mendorong transisi dari sekadar perlindungan teknis menuju tata kelola identitas digital yang adaptif.
Langkah pertama yang kian didorong adalah penerapan otentikasi multi-faktor (MFA) secara luas. Dengan MFA, meskipun password Anda bocor, pelaku tak serta-merta bisa masuk tanpa faktor verifikasi tambahan (seperti OTP, sidik jari, atau konfirmasi via ponsel). Selain itu, industri teknologi tengah bergerak ke arah passwordless authentication seperti single sign-on, magic link, atau standar FIDO2/passkey. Perusahaan-perusahaan besar kini berkolaborasi mendorong ekosistem passwordless agar pengguna tidak lagi bergantung pada string karakter yang mudah ditebak.
Lebih jauh, perusahaan perlu mengadopsi pendekatan identity assurance yang komprehensif, termasuk teknik verifikasi perilaku dan konteks login. Jika ada anomali (misal login dari negara baru atau perangkat asing), sistem dapat menantang dengan verifikasi tambahan. Otentikasi adaptif semacam ini membuat pencurian kredensial saja tidak cukup bagi penyerang untuk menembus pertahanan.
Dalam konteks ini, perusahaan keamanan seperti Fourtrezz berperan membantu organisasi beralih dari paradigma lama ke sistem identitas digital yang kuat. Fourtrezz mendorong pendekatan Zero Trust, audit kredensial berkala, serta integrasi sistem manajemen identitas yang terpusat — memastikan bahwa keamanan bukan lagi sekadar teknologi, tapi bagian dari budaya organisasi.
Kesimpulan: Kesadaran Adalah Tembok Terkuat
Ujung dari semua pembahasan ini kembali pada faktor manusia. Teknologi apa pun yang kita terapkan, pada akhirnya kesadaran pengguna adalah tembok pertahanan terkuat – atau sebaliknya, kelengahan pengguna menjadi lubang terbesar. Serangan credential stuffing mengajarkan kita bahwa masalahnya bukan sekadar teknis, melainkan perilaku. Password lama mungkin hanya rangkaian karakter, tetapi di tangan yang salah, ia bisa menjadi kunci menuju kehancuran digital.
Bagi organisasi, ini waktunya memperlakukan keamanan sebagai investasi kepercayaan. Edukasi pengguna harus digencarkan – bukan hanya kepada karyawan internal tapi juga pelanggan. Misalnya, bank atau e-commerce dapat memberikan notifikasi kepada user jika terdeteksi password yang mereka pakai pernah bocor di tempat lain. Langkah-langkah kecil seperti inilah yang menempatkan kesadaran sebagai benteng kokoh.
Pada akhirnya, teknologi dan manusia harus beriringan. Solusi seperti MFA, sistem deteksi fraud berbasis AI, hingga inisiatif passwordless akan efektif jika didukung oleh pengguna yang peduli keamanan dirinya. Disinilah peran Fourtrezz menjadi vital: membantu organisasi membangun kepercayaan digital yang tahan terhadap serangan berbasis kredensial. Dengan pendekatan proaktif, Fourtrezz memastikan kredensial bukan lagi titik lemah, melainkan fondasi pertahanan yang kokoh.

Andhika RDigital Marketing at Fourtrezz
Artikel Terpopuler
Tags: Credential Stuffing, Password Lama, Keamanan Siber, Multi-Factor Authentication, Identitas Digital
Baca SelengkapnyaBerita Teratas
Berlangganan Newsletter FOURTREZZ
Jadilah yang pertama tahu mengenai artikel baru, produk, event, dan promosi.