Kamis, 5 Juni 2025 | 14 min read | Andhika R

Kedaulatan Data Nasional di Era Cloud Global

Di era transformasi digital global, penggunaan layanan cloud oleh perusahaan dan pemerintah semakin masif. Layanan cloud global dari penyedia asing seperti Google, Microsoft, dan Amazon memudahkan pengelolaan data dan aplikasi, namun menimbulkan kekhawatiran terhadap kedaulatan data nasional. Menurut BSSN, percepatan ekonomi digital Indonesia menuntut upaya kuat untuk melindungi kedaulatan data nasional. Kekhawatiran ini diperkuat oleh para pemimpin nasional. Kepala Staf Kepresidenan menegaskan bahwa ketergantungan pada public cloud asing selama ini membuat keamanan data Indonesia rentan, sehingga pembangunan cloud system lokal menjadi kunci untuk mencapai kemandirian dan kedaulatan data.

Tekanan agar data warga negara dan pemerintahan dapat terjaga di bawah kendali nasional makin mendesak. Sementara itu, di sisi lain, globalisasi layanan cloud membawa manfaat efisiensi dan inovasi bagi bisnis dan pemerintahan. Oleh karena itu muncul tantangan serius bagi regulator maupun perusahaan: bagaimana menyeimbangkan kebutuhan perlindungan data dan kedaulatan negara dengan pemanfaatan teknologi cloud yang bersifat lintas batas. Artikel ini membahas konsep kedaulatan data, perkembangan cloud global, tantangan yang dihadapi regulator dan perusahaan, serta pendekatan solusi dan rekomendasi strategis demi mencapai keseimbangan tersebut.

Kedaulatan Data Nasional di Era Cloud Global Tantangan untuk Regulator dan Perusahaan.webp

Apa Itu Kedaulatan Data Nasional?

Kedaulatan data adalah konsep yang menyatakan bahwa data tunduk pada hukum negara atau wilayah di mana data tersebut dihasilkan. Dengan kata lain, suatu negara memiliki otoritas dan hak untuk mengatur, mengawasi, serta melindungi data warganya sesuai dengan peraturan domestik. Di Indonesia, hal ini diakomodasi melalui kerangka hukum terbaru seperti Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU No. 27 Tahun 2022). UU PDP menegaskan bahwa semua pengelolaan data pribadi warga negara, baik oleh individu, lembaga, maupun penyedia layanan digital, wajib mematuhi prinsip-prinsip hukum Indonesia meski data tersebut disimpan di luar negeri. Artinya, Indonesia berupaya menjaga kedaulatan datanya dengan memastikan setiap pemrosesan data warga Indonesia mengikuti ketentuan nasional.

Implikasi dari kedaulatan data ini sangat luas. Selain data pribadi, data terkait keamanan nasional, ekonomi, dan kepemerintahan juga dianggap sebagai aset strategis negara yang harus dilindungi. Kedaulatan data berkaitan erat dengan kepercayaan publik terhadap keamanan data, perlindungan privasi, serta stabilitas infrastruktur digital nasional. Seperti yang disampaikan BSSN, keamanan siber perlu ditingkatkan untuk menjaga kerahasiaan dan integritas informasi sensitif serta memperkuat ketahanan digital nasional. Dengan kata lain, di bawah prinsip kedaulatan data, negara berkewajiban mengatur lokasi penyimpanan dan mekanisme pengolahan data – misalnya dengan mendorong pusat data lokal atau menuntut enkripsi dan audit keamanan agar data dalam negeri tetap berada di bawah kendali hukum Indonesia.

Perkembangan Teknologi Cloud Global

Teknologi cloud computing global telah berkembang pesat dalam beberapa tahun terakhir. Banyak perusahaan multinasional (hyperscaler) membangun pusat data di Indonesia untuk melayani pelanggan lokal. Misalnya, Google Cloud sejak 2020 mengoperasikan Jakarta Cloud Region, yang diperkirakan telah memberikan dampak ekonomi sebesar sekitar Rp 900 triliun bagi Indonesia dalam lima tahun terakhir. Indonesia menjadi pasar besar bagi layanan cloud global karena basis pengguna yang luas dan kebutuhan infrastruktur digital meningkat. Microsoft pun baru-baru ini meresmikan cloud region pertamanya di Indonesia (disebut Indonesia Central) dengan investasi besar dan fasilitas penyimpanan data lokal berkeamanan tinggi serta latensi rendah. Keberadaan region cloud lokal oleh penyedia global ini memungkinkan bisnis dan pemerintah Indonesia memproses data di wilayahnya sendiri, sekaligus mematuhi regulasi negeri kita.

Menurut IDC, nilai pasar infrastruktur public cloud di Indonesia mencapai sekitar US$2,9 miliar pada periode 2021-2022. Berbagai sektor – dari finansial, pemerintahan, hingga pendidikan – kini mengandalkan cloud untuk analisis big data, AI, dan digitalisasi layanan. Di sisi lain, muncul pula inisiatif cloud lokal. Contohnya, perusahaan anak bangsa meluncurkan Cloud Nusantara, platform cloud 100% buatan dalam negeri untuk mengurangi ketergantungan pada layanan asing. Seluruh tren ini menunjukkan bahwa infrastruktur digital global dan lokal berkembang seiring; pasar dan teknologi cloud terus tumbuh pesat, namun menghadirkan skenario di mana data mudah berpindah melalui jaringan global.

Dengan kata lain, di era cloud global ini data digital bisa ditransfer antar-negara dengan cepat. Hal ini baik untuk kolaborasi ekonomi digital, tetapi di sisi lain menjadi persoalan baru: regulator harus mencari cara mengatur arus data lintas batas tanpa menghambat inovasi. Inilah yang memunculkan kompleksitas baru dalam mewujudkan kedaulatan data nasional sambil tetap memanfaatkan keunggulan teknologi global.

Tantangan Utama bagi Regulator

Regulator menghadapi dilema berat dalam era cloud. Di satu sisi, pemerintah ingin mendorong transformasi digital dan efisiensi melalui pemanfaatan teknologi mutakhir. Di sisi lain, mereka harus menjaga data kritis agar berada di bawah pengawasan hukum nasional. Beberapa tantangan utama yang muncul antara lain:

  • Peraturan data lintas batas yang belum jelas. Seperti dikritik Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), Indonesia belum memiliki kepastian regulasi terkait aliran data internasional. Berbagai kebijakan lama cenderung mendorong lokalisasi data (data lokal), sehingga pembagian data dengan pihak asing masih dibatasi. Misalnya, UNCTAD menyebut Indonesia memiliki pendekatan terbatas terhadap aliran data internasional karena aturan lokalisasi. Akibatnya, belum ada kerangka hukum yang menjelaskan secara rinci mana data yang bisa dipindahkan keluar negeri dan mekanisme keamanannya. UU Perlindungan Data Pribadi memberikan definisi kategori data sensitif, namun ketiadaan regulasi turunan membuat implementasi masih kabur.
  • Mengimbangi keamanan dan pertumbuhan. Regulator harus menjaga perlindungan data dan keamanan nasional tanpa menghambat inovasi. Misalnya, meski UU PDP telah disahkan, pemerintah perlu merumuskan aturan pelaksana dan sertifikasi penyelenggara data untuk menjamin standar keamanan yang tinggi. Belum lagi tantangan mengadopsi teknologi baru (AI, IoT, 5G) yang menghasilkan volume data besar. Perlu waspada terhadap potensi penyalahgunaan data atau serangan siber yang dapat menjebol data penting. Pengalaman insiden dunia seperti ransomware dan pembocoran data global memberikan tekanan agar regulasi lebih kuat.
  • Keterbatasan sumber daya dan koordinasi. Pemerintah harus memastikan institusi negara memiliki SDM yang memadai untuk mengawasi teknologinya. Data menunjukkan Indonesia masih kekurangan talenta digital terampil, sehingga adopsi cloud publik bisa melahirkan peluang baru bagi 345 ribu tenaga kerja, namun juga membutuhkan 600 ribu talenta tiap tahun di bidang 5G, big data, dan keamanan siber. Dari sisi regulasi, banyak lembaga (keuangan, pemerintahan, kesehatan) memiliki aturan sendiri tanpa koordinasi terpadu. Misalnya OJK dan BI punya aturan tersendiri tentang penyimpanan data nasabah, sedangkan Kominfo mengelola registrasi penyedia sistem elektronik (PSE). Hal ini menuntut adanya kerangka nasional yang terintegrasi, agar kebijakan seragam dan efektif diimplementasikan.

Secara keseluruhan, regulator dituntut mencari jalan tengah: memperjelas klasifikasi data (berdasarkan tingkat risiko) untuk memungkinkan transfer data tertentu, sambil tetap menegakkan standar keamanan dan audit. Pendekatan seperti ini sedang dirintis, misalnya dalam Peraturan Menteri Kominfo terbaru yang mewajibkan classifying data by risk bagi layanan publik yang memanfaatkan cloud pihak ketiga. Namun tantangan besar masih di depan mata: memastikan semua kebijakan saling sinkron, responsif terhadap perkembangan teknologi, serta didukung kerangka hukum yang komprehensif.

Tantangan bagi Perusahaan

Perusahaan (termasuk startup dan korporasi besar) yang memanfaatkan cloud computing juga menghadapi rintangan tersendiri. Di antaranya:

  • Kepatuhan dan regulasi yang kompleks. Perusahaan harus mematuhi berbagai peraturan lokal dan internasional. Data pelanggan atau operasional yang disimpan di luar negeri tetap harus mematuhi UU PDP Indonesia. Selain itu, sektor-sektor seperti keuangan, kesehatan, atau e-commerce sering kali dikenakan kewajiban tambahan (contoh: data residency untuk data nasabah oleh bank). Hal ini memaksa perusahaan membangun mekanisme internal untuk memastikan data mereka tidak melanggar peraturan, misalnya dengan sistem audit dan enkripsi data secara rutin.
  • Biaya operasional dan infrastruktur. Mengelola data sesuai prinsip kedaulatan data dapat meningkatkan biaya. Memilih untuk menyimpan data di pusat data lokal atau membangun infrastruktur private cloud sendiri memerlukan investasi besar. Bahkan ketika menggunakan penyedia cloud publik, model biaya berbasis penggunaan (pay-as-you-go) harus dipahami dengan baik. Seperti diperingatkan oleh Soltius, biaya operasional cloud bisa menjadi tantangan, terutama bagi startup dan UMKM yang keterbatasan modal. Selain itu, biaya kepatuhan (misalnya sertifikasi keamanan, audit) juga menambah beban perusahaan.
  • Keterbatasan konektivitas. Banyak wilayah di Indonesia masih memiliki infrastruktur internet yang belum memadai. Akses yang lambat atau tidak stabil dapat mengganggu kinerja layanan berbasis cloud. Perusahaan dengan lokasi operasional di daerah terpencil harus menghadapi risiko gagalnya sinkronisasi data, yang pada gilirannya dapat menurunkan keandalan layanan mereka.
  • Kekurangan sumber daya manusia terampil. Adopsi cloud memerlukan keahlian khusus (sekuriti siber, manajemen data, DevOps). Saat ini ketersediaan tenaga ahli di Indonesia masih terbatas. Perusahaan perlu menginvestasi pelatihan atau merekrut tenaga kerja asing untuk memenuhi kebutuhan ini. Kekurangan talenta dapat memperlambat penerapan teknologi baru dan meningkatkan risiko salah konfigurasi, yang berpotensi menimbulkan celah keamanan.
  • Ketergantungan terhadap penyedia (vendor lock-in). Banyak perusahaan khawatir terjebak pada satu penyedia cloud, sehingga sulit berpindah platform jika biaya atau persyaratan berubah. Strategi multi-cloud atau hybrid cloud bisa menjadi solusi, tetapi meningkatkan kompleksitas manajemen TI. Selain itu, seperti disebutkan oleh pakar industri, faktor keamanan, tata kelola, dan lokalisasi data menjadi pertimbangan utama bagi perusahaan saat memilih penyedia cloud. Jika penyedia global tidak memenuhi kriteria tersebut, perusahaan harus mencari alternatif lokal, yang kadang lebih mahal atau terbatas fiturnya.
  • Ancaman keamanan siber. Perusahaan harus menjaga data pelanggan dan operasional agar tidak bocor atau disalahgunakan. Hal ini berarti investasi pada enkripsi, firewall, dan sistem deteksi ancaman siber. Ketika data disimpan di cloud global, risiko pelanggaran data harus diperhitungkan. Secara umum, perusahaan dituntut ekstra hati-hati untuk memastikan data yang mereka tangani tetap aman dan hanya diakses oleh pihak yang berwenang.

Studi Kasus

Beberapa kasus nyata mengilustrasikan tantangan kedaulatan data di era cloud global:

  • Serangan Ransomware pada Pusat Data Nasional (PDN). Pada Juni 2024, Pusat Data Nasional Kominfo (infrastruktur PDN di Cikarang) diserang ransomware LockBit, menyebabkan lumpuhnya layanan e-government, terutama imigrasi. Untuk menjaga layanan tetap berjalan, Menteri Hukum & HAM segera memigrasikan data imigrasi ke layanan Amazon Web Services (AWS) dalam waktu 12 jam. Kasus ini menunjukkan dua hal: walaupun memiliki data center nasional, kerentanan siber masih ada, dan layanan cloud global menjadi solusi sementara. Kondisi ini memicu perdebatan tentang apakah pemerintah harus terus fokus hanya pada pusat data lokal atau juga membuka opsi penyedia asing dengan pengawasan ketat.
  • Implementasi Hybrid Cloud pada Layanan Pemerintahan. Sebuah instansi pemerintah Indonesia (dikelola Kemenkeu) mengadopsi solusi hybrid cloud (Microsoft Azure Stack) untuk keperluan pembiayaan usaha mikro. Infrastruktur fisik primary mereka tetap berada di data center pemerintah (memenuhi tuntutan PP 71/2019 tentang kedaulatan data), namun dipadukan dengan cloud Microsoft untuk meningkatkan skalabilitas dan keamanan. Pendekatan ini memungkinkan lembaga tersebut memanfaatkan kemampuan cloud sekaligus tetap menjaga kendali penuh atas data sensitif di dalam negeri. Kasus ini mencontohkan bagaimana sinergi antara penyedia lokal dan global bisa menjawab tuntutan kedaulatan sekaligus inovasi.

Kedua contoh di atas menggambarkan dilema operasional nyata: PDN ransomware menyoroti pentingnya keamanan dan kontinuitas layanan, sedangkan implementasi hybrid cloud menunjukkan solusi rekayasa teknologi untuk memenuhi kepatuhan kedaulatan data. Studi kasus tersebut menjadi pelajaran berharga bagi regulator dan perusahaan dalam mengelola data kritis di era digital.

Pendekatan Solusi: Sinergi dan Kebijakan

Menghadapi tantangan tersebut, pendekatan solutif harus melibatkan sinergi antara pemerintah, penyedia teknologi, dan pemangku kepentingan lainnya. Beberapa langkah kunci yang dapat diambil meliputi:

  • Kolaborasi publik-swasta. Pemerintah kini membuka peluang kerja sama dengan penyedia pusat data dan cloud swasta, baik lokal maupun global. Sebagaimana diungkapkan Kemkominfo, penyimpanan dan pemrosesan data pemerintahan tidak lagi harus sepenuhnya bergantung pada anggaran APBN; komponen pihak ketiga (cloud swasta) bisa dimanfaatkan untuk memperkuat ekosistem digital nasional. Misalnya, kebijakan baru mendorong penyedia cloud pihak ketiga untuk membantu menambah kapasitas infrastruktur, sehingga pelayanan publik dapat terus menyala, aman, dan tangguh. Pendekatan ini juga terlihat dari Peraturan Menkominfo Nomor 5 Tahun 2025, di mana PSE Lingkup Publik yang menggunakan cloud pihak ketiga wajib mengklasifikasi data berdasarkan risiko yang dikelolanya. Dengan skema ini, data dengan tingkat sensitivitas rendah dapat dikelola oleh mitra swasta setelah dikaji keamanannya, sementara data sangat sensitif tetap diolah di lingkungan pemerintah.
  • Regulasi berbasis risiko. Daripada menerapkan lokalisasi data yang ketat tanpa kecuali, Indonesia sedang mengarah ke pendekatan klasifikasi risiko data. CIPS menyarankan agar Indonesia menerapkan aturan yang mengelompokkan data berdasarkan tingkat sensitivitasnya. Hal ini sejalan dengan kebijakan Permenkominfo di atas. Regulasi semacam ini memberikan fleksibilitas: data non-sensitif (misalnya data statistik publik) bisa diarsipkan di cloud global dengan pengamanan standar, sedangkan data kritikal (misalnya data intelijen atau rahasia industri) diharuskan berada di pusat data lokal. Pendekatan ini dapat menjaga perlindungan data nasional tanpa menutup kesempatan memanfaatkan teknologi global yang efisien.
  • Standar keamanan dan sertifikasi. Sebagai reaksi terhadap insiden siber seperti serangan PDN, pemerintah perlu mengatur secara tegas syarat kepatuhan penyedia cloud pihak ketiga. Hal ini mencakup audit keamanan, sertifikasi standar internasional (misalnya ISO/IEC 27001, CSA STAR), serta kewajiban Service Level Agreement (SLA) dan pengelolaan insiden. Direktur Kebijakan Publik menegaskan bahwa syarat kepatuhan penyedia pihak ketiga harus diatur “secara rigid”, bahkan dapat mengizinkan penggunaan penyedia luar negeri jika teknologi tertentu belum tersedia lokal. Dengan persyaratan ketat tersebut, regulator memastikan bahwa setiap mitra swasta – baik lokal maupun global – mampu menjaga keamanan dan kerahasiaan data sesuai standar nasional.
  • Pembangunan infrastruktur lokal. Pemerintah terus mengembangkan infrastruktur data lokal seperti PDN dan pusat data pemerintah daerah. Selain itu, inisiatif cloud lokal (seperti Cloud Nusantara) diharapkan menjadi alternatif yang mendukung kedaulatan data. Pengembangan pusat data tier 4 dan edge computing di berbagai wilayah dapat menurunkan ketergantungan pada cloud global, sambil menciptakan ekosistem teknologi digital yang mandiri. Sinergi dengan sektor swasta, misalnya melalui skema G-to-G atau kemitraan investasi, mempercepat realisasi infrastruktur ini.
  • Penguatan sumber daya manusia dan literasi. Sinergi juga mencakup kolaborasi dalam pendidikan dan pelatihan. Pemerintah dan industri perlu bersama-sama meningkatkan kapasitas talenta digital Indonesia dalam keamanan siber, cloud engineering, dan manajemen data. Program-program pelatihan dan sertifikasi menjadi penting agar tantangan SDM tidak menghambat penerapan solusi teknologi. Sinergi semacam ini memperkuat efektivitas kebijakan dan memungkinkan perusahaan lokal bersaing dalam ekosistem cloud.

Dengan menjalankan langkah-langkah di atas, regulator dan pelaku bisnis dapat saling mendukung. Regulasi yang modern dan kolaboratif membuka ruang inovasi, sementara solusi teknologi (hybrid cloud, cloud berdaulat, enkripsi, dll.) menyediakan jaminan kedaulatan dan keamanan. Sinergi semacam ini adalah kunci membangun ekosistem digital yang kokoh dan berdaulat.

Rekomendasi Strategis

Berikut beberapa rekomendasi konkret untuk mendukung kedaulatan data nasional di era cloud global:

  • Perbaikan kerangka regulasi. Pemerintah perlu melengkapi UU PDP dengan peraturan pelaksana yang jelas (misalnya mekanisme persetujuan transfer data lintas batas dan penggolongan data). Regulasi sektoral (keuangan, kesehatan, telekomunikasi) sebaiknya disinkronkan agar tidak saling bertentangan. Pemberlakuan aturan klasifikasi data berbasis risiko (misalnya melanjutkan Permenkominfo No.5/2025) harus dipantau dan dievaluasi secara berkala. Selain itu, perlu didorong kerangka kerja audit dan compliance yang transparan untuk penyedia data center agar standar keamanan terjaga.
  • Investasi dan insentif infrastruktur lokal. Pemerintah dan BUMN dapat memberikan insentif (misalnya perpajakan atau kemudahan izin) untuk pembangunan pusat data lokal kelas dunia. Kolaborasi dengan investor asing juga dapat dipertimbangkan jika sumber daya nasional terbatas. Dukungan pendanaan (seperti skema G-to-G dengan negara sahabat) penting untuk mempercepat proyek strategis seperti PDN dan pusat data regional. Setiap investasi infrastruktur diharapkan memenuhi standar keamanan tier-4 dan siap digunakan oleh cloud publik, hybrid, maupun swasta.
  • Standarisasi dan sertifikasi. Indonesia perlu mengadopsi atau merujuk standar internasional dalam tata kelola data dan keamanan siber, misalnya ISO/IEC 27018 untuk privasi di cloud atau standar CSA untuk cloud security. Penyedia layanan dan auditor harus tersertifikasi sesuai standar ini. Dengan standarisasi, perusahaan global bisa lebih mudah mematuhi tuntutan Indonesia, dan perusahaan lokal akan diuntungkan karena memiliki pedoman yang jelas. Misalnya, mengambil pelajaran dari kode etik CSA untuk GDPR, regulator dapat mendorong penyedia cloud menerapkan prinsip serupa demi memudahkan audit dan kepercayaan publik.
  • Pendukung teknis dan inovasi. Pemerintah dapat mendukung penelitian dan pengembangan solusi teknologi yang selaras dengan kedaulatan data: misalnya enkripsi end-to-end, cloud sovereignty (seperti arsitektur federated cloud atau blockchain untuk bukti kepemilikan data), serta AI/ML yang menjawab kebutuhan lokal. Mendorong inisiatif cloud lokal seperti Cloud Nusantara dan mengintegrasikannya ke dalam ekosistem digital nasional akan memperkuat opsi domestik.
  • Peningkatan kapasitas SDM. Program pelatihan keamanan siber, sertifikasi profesional, dan integrasi materi kedaulatan data dalam kurikulum perguruan tinggi perlu dipercepat. Sinergi antara industri dan lembaga pendidikan akan memastikan lulusan yang siap pakai. Rekomendasi ini sejalan dengan kebutuhan talenta digital Indonesia, yang menurut lembaga riset perlu ditingkatkan untuk mendukung infrastruktur cloud nasional.

Dengan menerapkan rekomendasi di atas, Indonesia dapat menjaga keamanan dan kedaulatan data nasional sekaligus tetap merangkul kemajuan teknologi cloud. Implementasi yang seimbang akan menciptakan iklim digital yang aman, inovatif, dan kompetitif.

Kesimpulan

Kedaulatan data nasional di era cloud global menghadirkan tantangan multidimensional. Layanan cloud yang memungkinkan data bergerak lintas negara membawa manfaat inovasi dan efisiensi, namun di sisi lain memunculkan risiko keamanan dan ketergantungan asing. Artikel ini menunjukkan bahwa mencapai kedaulatan data tidak semata soal lokalisasi data secara wajib, melainkan tentang pengelolaan data yang cerdas di bawah payung hukum nasional.

Regulator harus merancang kebijakan yang adaptif: menggunakan pendekatan berbasis risiko, memperkuat infrastruktur digital, dan bekerjasama dengan sektor swasta serta dunia internasional. Perusahaan harus meningkatkan tata kelola dan keamanan data dengan standar tinggi dan mematuhi peraturan yang berlaku. Sinergi antara pemerintah dan pelaku bisnis dalam membangun ekosistem cloud lokal (cloud berdaulat) serta memberikan ruang bagi inovasi teknologi menjadi kunci.

Dengan mengedepankan kolaborasi serta kombinasi kebijakan dan teknis tersebut, Indonesia dapat menjaga kedaulatan data nasional sambil tetap berpartisipasi aktif dalam ekonomi digital global. Seperti ditegaskan BSSN, melindungi kedaulatan data nasional adalah bagian integral dari ketahanan siber negara. Kesadaran ini harus mendorong langkah nyata ke depan, agar era cloud menjadi peluang, bukan ancaman, bagi bangsa dan negara.

Bagikan:

Avatar

Andhika RDigital Marketing at Fourtrezz

Semua Artikel

Artikel Terpopuler

Berlangganan Newsletter FOURTREZZ

Jadilah yang pertama tahu mengenai artikel baru, produk, event, dan promosi.

Partner Pendukung

infinitixyberaditif

© 2025 PT Tiga Pilar Keamanan. All Rights Reserved.
Info Ordal