Kamis, 31 Juli 2025 | 16 min read | Andhika R
Social Engineering Pentesting: Menguji Kesiapan Manusia dalam Keamanan Siber
Social engineering (rekayasa sosial) adalah teknik penipuan berbasis manipulasi psikologis untuk mendapatkan informasi atau akses yang tidak semestinya. Ancaman nyata dari social engineering sangat besar – berbagai studi menunjukkan sekitar 90% serangan siber melibatkan faktor kesalahan manusia. Dengan kata lain, celah terbesar dalam keamanan siber kerap kali adalah manusia yang lengah atau tertipu, bukan semata-mata kelemahan teknis sistem. Oleh karena itu, menguji kesiapan dan kewaspadaan manusia melalui social engineering pentesting (pengujian rekayasa sosial) sama pentingnya dengan pengujian teknis. Pendekatan ini menyoroti seberapa tangguh “human firewall” perusahaan Anda dalam menghadapi serangan siber, memastikan bahwa bukan hanya sistem yang kuat tetapi juga sumber daya manusia siap menghadapinya.
Apa Itu Social Engineering Pentesting?
Social engineering pentesting adalah bentuk pengujian penetrasi yang berfokus pada aspek manusia dan proses, alih-alih kelemahan teknis pada sistem atau jaringan. Tujuan utamanya adalah meniru serangan social engineering secara terkendali untuk mengidentifikasi kerentanan pada perilaku, kebijakan, dan kewaspadaan karyawan di suatu organisasi. Berbeda dengan penetration testing tradisional yang mencari celah pada perangkat lunak, aplikasi, atau infrastruktur TI, pengujian ini mengincar kelemahan psikologis. Pentester (penguji) akan mencoba memanipulasi kepercayaan dan prosedur, misalnya dengan menyamar sebagai pihak terpercaya atau menciptakan skenario tipuan, alih-alih memanfaatkan eksploit perangkat lunak.
Pada praktiknya, social engineering pentesting dapat berupa simulasi email phishing, panggilan telepon berbahaya, hingga upaya akses fisik tanpa izin. Misalnya, tim pentest mungkin mengirim email mengatasnamakan departemen TI internal yang meminta reset password, atau mencoba masuk ke kantor dengan berpura-pura sebagai tamu. Skenario-skenario ini dirancang realistis agar dapat menguji apakah karyawan mengikuti prosedur keamanan yang semestinya atau justru terpancing manipulasi. Hasil akhirnya memberikan gambaran seberapa efektif pertahanan manusia di perusahaan dan di mana perlu dilakukan perbaikan.
Bentuk Umum Serangan Social Engineering dalam Pentesting
Dalam simulasi social engineering, terdapat beberapa bentuk serangan umum yang biasanya diuji oleh tim pentest:
- Phishing dan Spear Phishing: Phishing adalah upaya penipuan melalui email, pesan teks, atau media elektronik lain dengan berpura-pura sebagai entitas tepercaya. Contohnya, karyawan menerima email palsu seolah dari bank atau atasan, berisi link menuju halaman login palsu. Jika tidak waspada, korban dapat memasukkan kredensial atau mengunduh malware. Spear phishing merupakan versi phishing yang lebih terarah; penyerang menyesuaikan pesan secara khusus untuk target tertentu (misalnya direktur keuangan) agar terlihat meyakinkan. Contoh nyata: dalam sebuah uji coba, pentester mengirim email phishing berjudul “Urgent: Pembaruan VPN WFH” kepada 100 pegawai. Hasilnya, puluhan pegawai terpancing mengklik tautan dan memasukkan username/password ke situs palsu – menunjukkan betapa efektifnya teknik ini jika tidak diimbangi kewaspadaan tinggi.
- Pretexting: Teknik di mana penyerang menciptakan pretext (skenario pura-pura) untuk memperoleh kepercayaan korban. Pelaku menyamar sebagai pihak berwenang atau orang dalam, lalu meminta informasi rahasia atau melakukan tindakan tertentu. Contoh: pentester menelpon staf helpdesk mengaku sebagai manajer kantor cabang yang lupa password dan butuh akses darurat. Dengan modal informasi hasil OSINT (Open Source Intelligence) – seperti nama atasan, proyek, atau jargon internal – penyerang mencoba meyakinkan korban. Jika staf tidak memverifikasi identitas penelpon sesuai prosedur, ia bisa saja memberikan kredensial atau kode OTP. Teknik pretexting juga mencakup skenario tatap muka, misalnya seseorang berpura-pura menjadi teknisi vendor datang ke kantor dan meminta akses ruang server. Keberhasilan pretexting tergantung kepiawaian penyerang memainkan peran serta kelengahan korban dalam mematuhi prosedur verifikasi.
- Simulasi Serangan Fisik: Social engineering tidak hanya melalui dunia maya – aspek fisik juga diuji. Pentest sering meliputi simulasi intrusi fisik ke fasilitas perusahaan. Taktik umum termasuk tailgating (mengikuti orang sah masuk pintu akses tanpa badge), piggybacking, atau kloning kartu akses. Pentester dapat mencoba memasuki gedung dengan berpakaian layaknya kurir, tamu, atau teknisi, menguji apakah petugas keamanan dan karyawan memeriksa identitas dengan benar. Mereka mungkin juga mencoba meninggalkan USB baiting (USB drive berisi malware) di area parkir atau lobi untuk melihat apakah ada karyawan yang memungut dan mencolokkannya ke komputer kantor. Tujuan simulasi fisik adalah menilai efektivitas kebijakan keamanan fisik: Apakah pintu akses selalu tertutup? Apakah karyawan berani menegur orang asing tanpa tanda pengenal? Contoh kasus, dalam sebuah pentest di perusahaan finansial, anggota tim berhasil masuk ke ruangan arsip hanya dengan menumpang di belakang karyawan yang membuka pintu, menunjukkan bahwa prosedur “dilarang membukakan pintu untuk orang tak dikenal” belum dipatuhi sepenuhnya.
Tahapan Pelaksanaan Social Engineering Pentest
Pelaksanaan social engineering pentest biasanya mengikuti beberapa tahapan sistematis untuk memastikan pengujian berjalan efektif dan etis:
- Perencanaan dan Persetujuan Klien: Tahap awal adalah diskusi dengan manajemen perusahaan (klien) untuk menentukan ruang lingkup dan aturan main. Pada fase ini disepakati skenario apa saja yang akan diuji (phishing, vishing, akses fisik, dll), jadwal pelaksanaan, serta batasan-batasan (misalnya area terlarang, larangan menyebabkan kerusakan sistem). Persetujuan tertulis sangat penting mengingat social engineering pentest menyangkut manusia; manajemen perlu siap dengan konsekuensi simulasi (seperti kepanikan kecil atau pelanggaran prosedur) dan memastikan aspek legal – serangan hanya pura-pura dan diizinkan.
- Pengumpulan Informasi (OSINT dan Reconnaissance): Sebelum eksekusi, tim pentest melakukan reconnaissance mendalam. Mereka mengumpulkan data tentang target melalui sumber terbuka (Open Source Intelligence). Misalnya: profil LinkedIn karyawan, struktur organisasi di situs web perusahaan, info kontak, kebiasaan perusahaan yang diunggah di media sosial, hingga dokumen publik. Informasi ini membantu menyusun serangan yang realistis dan tepat sasaran. Jika akan menguji phishing, mungkin dikumpulkan contoh email internal atau tanda tangan email pimpinan agar email palsu tampak meyakinkan. Bila akan uji fisik, pentester mungkin survei gedung (berapa pintu masuk, apakah ada penjaga, jam sibuk karyawan masuk/keluar). Semakin banyak info, semakin tinggi peluang skenario social engineering berhasil tanpa dicurigai.
- Perancangan Skenario Realistis: Berdasarkan data recon, tim merancang skenario serangan social engineering yang tailored untuk target. Ini mencakup membuat konten phishing (email dengan domain mirip, bahasa yang sesuai kultur perusahaan), skenario pretexting (alur cerita untuk panggilan atau kunjungan, lengkap dengan jawaban jika ditanya), dan rencana intrusi fisik (misal, pentester akan datang sebagai tamu interview di jam makan siang ketika resepsionis lengah). Skenario harus mempertimbangkan kemungkinan respon dari target. Pentester menyiapkan juga backup plan, misalnya jika satu vektor gagal, mencoba pendekatan lain. Yang terpenting, skenario disusun tanpa melampaui batas etis: tidak melibatkan ancaman fisik atau aksi ilegal sesungguhnya, dan menjaga agar data sensitif yang mungkin didapat tidak disalahgunakan di luar lingkup tes.
- Eksekusi Simulasi Serangan: Pada tahap ini, skenario dijalankan. Tim pentest melancarkan attack simulation sesuai jadwal dan metode yang disepakati. Misalnya, phishing email dikirim serentak ke sejumlah karyawan, atau pentester mulai melakukan panggilan telepon berpura-pura sebagai support IT. Untuk uji fisik, pentester mendatangi lokasi sesuai peran yang ditentukan (teknisi, tamu, dll). Selama eksekusi, setiap tindakan dan respon dicatat. Pentester berusaha semirip mungkin dengan pelaku sesungguhnya: menggunakan trik psikologis seperti menciptakan urgensi (“segara klik link ini untuk hindari akun terkunci!”) atau memanfaatkan kesopanan korban (contoh: membawa banyak barang agar korban mau menahan pintu terbuka). Tim juga siap menghentikan simulasi jika terjadi eskalasi di luar skenario (misal, jika karyawan mulai curiga sampai hendak memanggil polisi – biasanya ada kata kode untuk menghentikan). Pada akhirnya, tahap ini akan mengungkap siapa saja yang terpancing, berapa banyak yang patuh prosedur vs melanggarnya, dan kelemahan mana yang paling menonjol.
- Dokumentasi Hasil dan Rekomendasi: Setelah simulasi selesai, tim pentest menyusun laporan komprehensif. Laporan mencakup temuan utama: berapa persen email phishing yang di-klik, informasi sensitif apa yang berhasil diperoleh via pretexting, area mana yang berhasil diakses secara fisik, serta kelemahan prosedur apa yang teridentifikasi (contoh: karyawan cenderung tidak melakukan verifikasi dua faktor saat ada permintaan via telepon). Setiap temuan biasanya disertai bukti (screenshot email, foto saat berhasil tailgating, rekaman percakapan penting jika ada) namun tetap menjaga anonimitas individu yang terlibat. Yang terpenting, laporan berisi rekomendasi perbaikan: misalnya perlunya training ulang bagi departemen tertentu, pembaruan kebijakan seperti kewajiban verifikasi identitas via jalur terpisah, pengetatan akses fisik (menambah petugas keamanan atau turnstile), hingga saran teknis (implementasi email filtering lebih baik, atau tools anti-phishing). Rekomendasi ini menjadi masukan bagi manajemen untuk meningkatkan posture keamanan dari sisi manusia.
Studi Kasus: Keberhasilan dan Kegagalan Simulasi
Untuk memahami dampak nyata social engineering pentest, berikut dua skenario (tanpa menyebut nama organisasi) dari sektor finansial dan pemerintahan:
- Contoh Keberhasilan Simulasi: Sebuah bank nasional meminta dilakukannya simulasi spear phishing terhadap 500 pegawai kantornya. Tim pentest mengirim email mengaku dari tim HR pusat, berisi imbauan pembaruan data pajak dengan tautan menuju formulir online. Email tersebut menggunakan logo resmi dan gaya bahasa formal internal perusahaan, sehingga tampak legit. Dalam beberapa jam pertama, sekitar 40% pegawai telah mengklik tautan dan mengisi formulir (yang sebenarnya palsu) dengan data kredensial kantor mereka. Bahkan beberapa mengunggah dokumen rahasia yang diminta. Incident response internal baru menyadari kejanggalan setelah ada laporan dari segelintir pegawai yang curiga. Hasil simulasi ini terbilang ‘berhasil’ bagi tim pentest – banyak pegawai yang jatuh dalam jebakan. Temuan ini menggugah manajemen bank untuk segera memperbaiki prosedur: mereka memperketat filter email, menerapkan konfirmasi kedua sebelum pegawai diminta input data sensitif, dan mengadakan pelatihan ulang tentang cara mengenali phishing. SOP keamanan diperbarui, misalnya setiap email dari HR mengenai data penting diwajibkan diumumkan juga via portal internal agar pegawai bisa cross-check.
- Contoh Kegagalan (Berhasil Digagalkan oleh Tim Internal): Sebaliknya, di sebuah instansi pemerintah yang peka terhadap keamanan, dilakukan simulasi social engineering dengan metode pretexting dan uji fisik. Seorang pentester berpura-pura sebagai pejabat tamu dari kementerian lain yang hendak rapat mendadak, dengan tujuan mencoba memasuki area arsip dokumen. Pentester datang dengan surat undangan palsu dan ID card yang meyakinkan. Namun, petugas keamanan depan cukup terlatih – mereka memverifikasi ke atasan terkait sebelum mengizinkan akses. Pentester pun gagal melewati resepsionis. Upaya kedua, tim mencoba menelepon staf administrasi mengaku dari bagian IT pusat yang membutuhkan akses jarak jauh. Lagi-lagi, staf tersebut mengikuti prosedur: ia meminta penelepon untuk mengirim permintaan resmi tertulis dan mengonfirmasi dengan supervisor, alih-alih langsung memberikan akses. Simulasi ini gagal menembus pertahanan – yang justru merupakan indikator positif. Tim internal rupanya telah membangun budaya waspada; mereka tidak segan menjalankan SOP verifikasi meski situasinya mendesak atau pelaku berusaha mengintimidasi dengan jabatan. Dampak terhadap SOP: Hasil simulasi “gagal” ini memberikan insight berharga bahwa kebijakan keamanan yang ada efektif jika dijalankan konsisten. Pimpinan instansi tetap melakukan evaluasi, misalnya menambah skenario pelatihan lebih variatif agar kewaspadaan tidak kendor, dan memberikan apresiasi kepada petugas/pegawai yang berhasil menggagalkan upaya social engineering sebagai teladan bagi yang lain.
Mengapa Social Engineering Pentesting Lebih Dibutuhkan dari Sebelumnya
Di era kini, serangan siber berbasis manipulasi manusia meningkat pesat, membuat social engineering pentest semakin relevan. Beberapa alasan utamanya:
- Lonjakan Serangan Berbasis Manusia Pasca Pandemi: Setelah pandemi COVID-19, pola kerja berubah drastis dengan remote working dan komunikasi digital yang intens. Penyerang memanfaatkan situasi ini – laporan berbagai lembaga keamanan (seperti ENISA di Eropa) mencatat kenaikan signifikan serangan phishing dan scam bermodus pandemi sejak 2020. Karyawan yang bekerja dari rumah mungkin kurang pengawasan langsung, jaringan pun lebih lemah keamanannya dibanding kantor. Akibatnya, phishing email bertema pandemi, bantuan pemerintah, atau pembaruan kebijakan WFH merajalela. Banyak organisasi mendapati insiden social engineering meningkat, dari phishing hingga penipuan melalui aplikasi pesan. Kondisi ini memaksa perusahaan memperkuat pertahanan yang berpusat pada manusia, dan cara terbaik mengukur kesiapan tersebut adalah dengan melakukan pentest social engineering yang terukur.
- Sistem Keamanan Teknis Semakin Kuat, Manusia Tetap Titik Lemah: Investasi besar di firewall, anti-virus, enkripsi, dan alat keamanan lainnya telah membuat serangan teknis lebih sulit. Namun, hacker kini menyasar jalur paling mudah masuk: yaitu dengan menipu pengguna sah. Bahkan sistem canggih sekalipun bisa runtuh jika admin IT tertipu memberikan kata sandi, atau jika karyawan meng-klik lampiran berbahaya yang lolos dari filter. Laporan Verizon DBIR 2021 mengungkap 85% pelanggaran data melibatkan unsur manusia, dan sekitar sepertiga insiden berasal dari social engineering langsung. Ini menunjukkan bahwa tak peduli seberapa mutakhir perlindungan teknologi, “the human element” masih menjadi pintu masuk favorit penjahat siber. Social engineering pentesting membantu mengidentifikasi sejauh mana “rantai terlemah” ini dapat diperkuat, sebelum penjahat asli menyerang.
- Evolusi Ancaman: Diperlukan Budaya Keamanan Siber yang Kuat: Modus social engineering terus berkembang. Saat ini penyerang memanfaatkan kecanggihan AI dan informasi publik untuk membuat tipuan yang makin meyakinkan. Contoh tren terbaru, sudah terjadi kasus penipuan dengan deepfake: suara dan wajah digital yang ditiru agar korban percaya. Pada Februari 2024, misalnya, seorang karyawan perusahaan multinasional tertipu panggilan video deepfake yang menampilkan wajah serta suara persis seperti CFO perusahaannya, meminta transfer dana mendesak. Karyawan tersebut mentransfer dana hampir US$25 juta sebelum sadar rapat virtual itu palsu sepenuhnya. Serangan canggih semacam ini menunjukkan bahwa awareness dan budaya keamanan siber di kalangan karyawan harus ditingkatkan secara berkelanjutan. Social engineering pentesting di era sekarang tidak hanya sekadar mencari siapa yang klik email palsu, tetapi menjadi alat untuk membangun budaya waspada – melatih pola pikir skeptis yang sehat pada setiap permintaan tidak lazim, meskipun tampak datang dari otoritas tinggi. Dengan kata lain, fokus keamanan siber modern bergeser dari sekadar kepatuhan prosedur menjadi ketangguhan organisasi yang didukung kultur keamanan yang kuat.
Cara Meningkatkan Ketahanan SDM Terhadap Social Engineering
Hasil dari social engineering pentest sebaiknya langsung ditindaklanjuti dengan upaya peningkatan ketahanan manusia. Beberapa langkah yang dapat ditempuh antara lain:
- Program Pelatihan dan Kesadaran Keamanan (Security Awareness Training): Edukasi adalah garis pertahanan pertama. Pastikan perusahaan menjalankan program pelatihan siber secara rutin untuk semua level karyawan. Topik meliputi pengenalan berbagai modus social engineering (phishing, vishing, smishing, pretexting, dll), tanda-tanda email atau pesan mencurigakan, hingga etika keamanan informasi. Pelatihan yang interaktif dan kontekstual akan lebih efektif – misalnya simulasi kecil di kelas: memperlihatkan contoh email phishing asli vs palsu dan mendiskusikannya. Karyawan juga perlu disadarkan bahwa keamanan adalah tanggung jawab bersama, bukan hanya tugas tim IT. Keuntungan jangka panjang, karyawan yang teredukasi akan bertindak sebagai “human firewall” aktif yang dapat mencegah insiden sebelum terjadi.
- Latihan Berkala dengan Simulasi Realistis: Drill atau simulasi serangan sebaiknya tidak hanya dilakukan sekali. Perusahaan yang tangguh menjalankan simulasi social engineering internal secara berkala, entah triwulanan atau sesuai kebutuhan. Misalnya, phishing campaign internal yang dikirim tanpa pemberitahuan untuk menguji perkembangan awareness karyawan dari waktu ke waktu. Bisa juga simulasi panggilan telepon penipuan ke bagian keuangan untuk memastikan mereka tetap waspada. Latihan-latihan ini harus didesain semakin variatif dan canggih seiring waktu (menyesuaikan tren serangan terbaru), sehingga karyawan tidak mudah lengah atau hanya hafal skenario tertentu. Umpan balik hasil simulasi penting disampaikan ke individu atau tim terkait secara konstruktif, guna pembelajaran. Dengan pendekatan “latihan tempur” terus-menerus, karyawan akan lebih siap menghadapi situasi nyata karena sudah terlatih menghadapi berbagai skenario.
- Penguatan Kebijakan Internal (Prosedur Berlapis dan Teknologi Pendukung): Tata kelola keamanan internal harus mendukung ketahanan terhadap social engineering. Pertama, terapkan autentikasi dua faktor (2FA/MFA) di seluruh akses akun penting – jadi walaupun password bocor karena phishing, pelaku tak mudah masuk tanpa kode kedua. Kedua, buat kebijakan verifikasi berlapis: contohnya, setiap permintaan transaksi finansial besar melalui email atau telepon harus dikonfirmasi melalui jalur independen (misal konfirmasi langsung via nomor resmi atau tatap muka). Prosedur seperti call-back verification ini efektif mencegah penipuan CEO fraud atau phishing yang meminta transfer uang. Ketiga, tegakkan aturan keamanan fisik: setiap karyawan wajib memakai tanda pengenal di kantor, tamu harus terdaftar dan ditemani, dan dorong budaya “challenge” – karyawan tak perlu segan menanyakan identitas orang yang tidak dikenal di area terbatas. Terakhir, manfaatkan teknologi pendukung seperti email gateway dengan filter phishing, software anti-spoofing, dan sistem keamanan fisik (kamera CCTV, alarm akses) untuk memperkecil peluang serangan berhasil. Kombinasi kebijakan jelas dan teknologi akan menciptakan lapisan pertahanan berlapis yang memperkuat kesiapan SDM.
Rekomendasi Implementasi di Perusahaan
Agar upaya melawan social engineering optimal, berikut rekomendasi praktis yang dapat diadopsi organisasi:
- Libatkan Pihak Ketiga Profesional untuk Audit & Pentest: Menggunakan jasa konsultan atau tim ahli eksternal dalam melakukan social engineering pentesting sangat disarankan. Pihak ketiga yang profesional dan berpengalaman dapat melihat celah yang mungkin luput dari tim internal. Mereka juga membawa sudut pandang fresh dan teknik serangan terbaru yang berkembang di luar. Audit independen ini membantu organisasi mendapatkan assessment obyektif terhadap posture keamanan manusiawi mereka. Pastikan memilih vendor pentest bereputasi dan memiliki rekam jejak baik, serta selalu adakan perjanjian kerahasiaan data sebelum pentest dimulai.
- Jadikan Hasil Pentest sebagai Dasar Revisi Kebijakan Keamanan: Temuan dari social engineering pentest adalah cermin jujur kondisi keamanan siber perusahaan dari sisi manusia. Gunakan hasil tersebut sebagai dasar memperbarui kebijakan dan prosedur. Misalnya, jika pentest berhasil mendapatkan banyak password karena pegawai memakai password lemah yang sama, segera perketat kebijakan password (panjang, kompleks, rutin ganti, tidak boleh sama). Jika ditemukan bahwa karyawan mudah tertipu telepon palsu, rancang SOP baru bahwa semua permintaan sensitif via telepon harus diverifikasi video call atau tanda identitas lain. Penting juga memperbaiki incident response plan – misalnya, pasca simulasi phishing, bagaimana tim IT dan manajemen bereaksi, itu bisa dievaluasi dan ditingkatkan kecepatannya. Pendek kata, jadikan setiap celah yang terungkap sebagai pelajaran untuk memperkuat kerangka kebijakan keamanan, alih-alih mencari kambing hitam.
- Integrasikan Pentest Social Engineering ke Program Manajemen Risiko TI: Social engineering risk seharusnya dimasukkan dalam penilaian risiko keamanan siber organisasi secara formal. Ini berarti mengakui bahwa faktor manusia adalah salah satu ancaman utama dan perlu diukur serta dimitigasi seperti halnya risiko teknis lainnya. Dengan mengintegrasikan ke program manajemen risiko, perusahaan dapat menjadwalkan pentest social engineering secara periodik (misal tahunan) sebagai bagian dari audit rutin. Hasilnya dilaporkan kepada manajemen puncak dan dewan perusahaan, sehingga mendapatkan perhatian strategis dan anggaran yang memadai untuk inisiatif peningkatan awareness. Selain itu, integrasi ini memastikan tindak lanjut pentest dimonitor dalam kerangka manajemen risiko – contohnya, temuan kritis diberi treatment plan dan diikuti sampai selesai (closing the loop). Langkah ini akan menjadikan upaya peningkatan ketahanan terhadap social engineering berkesinambungan dan terdokumentasi, bukan bersifat ad-hoc semata.
Penutup: Dari Kepatuhan Menuju Ketangguhan Siber
Di dunia keamanan siber modern, social engineering bukan sekadar isu teknis, melainkan isu budaya dan manusia. Sebagus apapun teknologi pertahanan yang dimiliki, jika budaya keamanan di dalam perusahaan lemah, maka celah akan selalu ada. Itulah sebabnya investasi pada human factor – edukasi, pelatihan, dan pengujian – sama pentingnya dengan investasi pada perangkat keras maupun perangkat lunak keamanan.
Social engineering pentesting membantu organisasi beralih dari sekadar kepatuhan (compliance) menuju ketangguhan (resilience). Bukan lagi menjalankan checklist keamanan karena kewajiban, melainkan membentuk lingkungan di mana setiap individu waspada dan proaktif mencegah ancaman. Ujian-ujian simulasi ini mengasah indra keenam karyawan terhadap penipuan, memperkuat prosedur menjadi kebiasaan sehari-hari, dan mengidentifikasi kelemahan untuk segera diperbaiki sebelum dieksploitasi aktor jahat sesungguhnya.
Sebagai penutup, sebuah ajakan bagi para pemimpin organisasi: jangan tunggu hingga insiden nyata terjadi untuk mengevaluasi pertahanan manusia Anda. Lakukanlah audit dan pentest social engineering secara berkala mulai sekarang. Hasilnya akan memberikan peta jelas tentang di mana Anda harus berbenah – apakah itu meningkatkan training, memperketat aturan, atau kombinasi keduanya. Dengan langkah proaktif ini, perusahaan Anda bertransformasi dari target empuk serangan menjadi entitas dengan ketangguhan siber tinggi, di mana setiap karyawan berperan sebagai penjaga garda terakhir keamanan informasi. Keamanan siber yang tangguh tercapai ketika teknologi canggih berjalan beriringan dengan manusia yang sadar dan siaga. Jangan abaikan faktor manusia – justru di situlah pertahanan terbaik bisa dibangun.

Andhika RDigital Marketing at Fourtrezz
Artikel Terpopuler
Tags: Keamanan Aplikasi, Super App, Pengembang Aplikasi, Keamanan Siber, API Tersembunyi
Baca SelengkapnyaBerita Teratas
Berlangganan Newsletter FOURTREZZ
Jadilah yang pertama tahu mengenai artikel baru, produk, event, dan promosi.