Rabu, 27 Agustus 2025 | 17 min read | Andhika R

Human Error: Titik Terlemah dalam Keamanan Siber yang Sering Terabaikan oleh Organisasi

Apa titik lemah paling krusial dalam pertahanan siber modern? Bukan sistem atau perangkat lunak canggih, melainkan manusia itu sendiri. Berbagai riset internasional mengungkap bahwa mayoritas insiden keamanan siber dipicu oleh kesalahan manusia. IBM Security pernah melaporkan sekitar 95% insiden siber melibatkan faktor human error sebagai kontributor utama. Laporan Verizon Data Breach Investigations Report (DBIR) 2022 juga menunjukkan hal serupa: 82% pelanggaran data melibatkan “unsur manusia”, entah berupa kelalaian, penggunaan kredensial curian, atau keberhasilan social engineering oleh penyerang. Angka-angka ini menegaskan bahwa human error adalah titik lemah utama dalam keamanan siber yang kerap underestimate (diremehkan) oleh organisasi.

Ironisnya, banyak organisasi masih lebih fokus pada teknologi pertahanan—firewall, enkripsi, perangkat deteksi intrusi—dan kurang memberi perhatian pada faktor manusia. Artikel ini bertujuan memberikan pemahaman mendalam tentang peran human error dalam insiden siber, menyajikan ilustrasi nyata kasus-kasus kesalahan manusia, serta menawarkan strategi praktis untuk meminimalkan risiko tersebut. Dengan kombinasi pengetahuan dan langkah preventif yang tepat, organisasi dapat memperkuat lini pertahanan terlemahnya: sumber daya manusia.

Human Error Titik Terlemah dalam Keamanan Siber yang Sering Terabaikan oleh Organisasi.webp

Apa Itu Human Error dalam Keamanan Siber?

Dalam konteks keamanan siber, human error merujuk pada kesalahan atau kelalaian yang dilakukan manusia (pengguna, karyawan, admin TI, stakeholder internal lainnya) yang berakibat pada munculnya celah keamanan. Kesalahan ini bisa berbentuk tindakan yang tidak seharusnya dilakukan maupun kegagalan melakukan tindakan yang seharusnya. Beberapa contoh umum meliputi:

  • Tertipu Phishing: Mengklik tautan atau lampiran email phishing yang tampak meyakinkan, kemudian memasukkan informasi kredensial di situs palsu. Tindakan ini tanpa disadari memberikan jalan masuk bagi peretas ke sistem internal.
  • Kesalahan Konfigurasi: Salah mengatur sistem atau layanan sehingga terbuka untuk akses publik. Misalnya, keliru mengonfigurasi firewall yang meninggalkan port terbuka, atau menyetel penyimpanan cloud tanpa proteksi kata sandi sehingga data sensitif bisa diakses siapa saja di internet.
  • Berbagi Data Sensitif Tanpa Sengaja: Mengirim dokumen rahasia ke penerima yang salah, salah memasukkan alamat email tujuan, atau membagikan file internal ke publik karena kurang berhati-hati dengan izin akses.
  • Praktik Password yang Buruk: Menggunakan password default yang tidak diubah, memakai kata sandi yang terlalu lemah atau mudah ditebak, ataupun menggunakan ulang kata sandi yang sama di banyak sistem.

Penting untuk menekankan bahwa human error di sini bukanlah tindakan sabotase sengaja oleh orang dalam. Berbeda dari insider threat yang berniat jahat, kesalahan manusia umumnya terjadi tanpa niat buruk – murni karena kelalaian, kurangnya pengetahuan, kelelahan, atau kurangnya pelatihan. Dengan kata lain, ancaman siber tidak selalu datang dari peretas eksternal; karyawan internal yang khilaf pun bisa tanpa sadar menjadi mata rantai terlemah yang membuka peluang terjadinya insiden siber.

Contoh dan Studi Kasus Nyata

Untuk memahami dampak nyata human error, berikut beberapa contoh kasus di dunia nyata yang menunjukkan bagaimana kelalaian manusia berujung pada insiden keamanan siber serius:

  • Kasus Phishing yang Berhasil Menjebak: Salah satu contoh klasik terjadi ketika seorang staf administrasi di sebuah perusahaan menerima email yang tampak seperti dari departemen TI perusahaan, meminta verifikasi akun. Tanpa curiga, staf tersebut mengklik tautan di email dan memasukkan username serta password-nya di laman palsu. Akibatnya, peretas memperoleh kredensial internal dan berhasil mengakses jaringan perusahaan. Insiden serupa pernah menimpa institusi keuangan dan pemerintah. Sebagai contoh, pada tahun 2016, Bank Sentral Bangladesh mengalami pencurian dana US$81 juta setelah pegawainya tertipu membuka lampiran email ber malware. Contoh lain, Twitter pernah diretas pada 2020 melalui social engineering terhadap karyawan, yang menunjukkan betapa efektifnya phishing dan teknik rekayasa sosial dalam memanfaatkan kelengahan manusia.
  • Kasus Kesalahan Konfigurasi Sistem: Banyak kebocoran data berskala besar ternyata bersumber dari konfigurasi sistem yang ceroboh. Misalnya, pelanggan Toyota Motor Corp dikejutkan oleh kabar kebocoran data pada tahun 2023 ketika sekitar 2,15 juta data pengguna layanan cloud Toyota bocor ke publik. Penyebabnya? Tim TI secara tidak sengaja meninggalkan server penyimpanan cloud dalam keadaan dapat diakses tanpa autentikasi (public access). Ini merupakan human error fatal yang seharusnya bisa dicegah dengan konfigurasi dan pengecekan berlapis. Begitu pula, kasus kesalahan konfigurasi cloud kerap terjadi di berbagai perusahaan: pada 2017, jutaan data pelanggan sebuah operator telekomunikasi terpapar karena bucket Amazon S3 milik pihak ketiga dibiarkan terbuka tanpa password. Contoh-contoh tersebut menunjukkan bahwa satu langkah konfigurasi yang terlewat dapat membahayakan jutaan data, meskipun tidak ada celah perangkat lunak yang dieksploitasi oleh hacker.
  • Kasus Kelalaian Manajemen Password: Mengelola kata sandi terdengar sederhana, namun kesalahan di area ini terus menjadi sumber insiden. Penggunaan password default yang tidak diganti adalah salah satu contohnya. Insiden terkenal di ranah IoT terjadi pada 2016 ketika malware Mirai berhasil menginfeksi ratusan ribu perangkat smart camera dan router hanya dengan mencoba username/password default pabrik (misalnya “admin/admin” atau kombinasi sederhana lain yang lupa diubah oleh pengguna). Serangan itu kemudian dipakai untuk DDoS besar-besaran. Dalam lingkungan korporat, praktik serupa juga berbahaya. Contohnya, sebuah perusahaan rintisan pernah mengalami kebocoran basis data karena administrator sistem lupa mengganti kata sandi standar pada panel admin yang terhubung internet – alhasil, peretas dengan mudah masuk menggunakan kredensial default yang umumnya sudah diketahui publik. Kasus lain, pelanggaran pada Colonial Pipeline (AS, 2021) sebagian disebabkan oleh buruknya manajemen password: kata sandi sebuah akun VPN lama yang tidak dicabut bocor di internet, dan akun itu tidak dilindungi Multi-Factor Authentication (MFA), sehingga penyerang leluasa masuk ke jaringan perusahaan. Semua contoh ini menegaskan bahwa kelalaian dalam manajemen password, sekecil apapun, dapat berujung bencana keamanan.

Dari ketiga kasus nyata di atas, benang merahnya jelas: kesalahan manusia memberikan celah yang dapat dieksploitasi oleh pihak tak bertanggung jawab. Phishing berhasil karena ada pengguna yang teperdaya. Sistem bocor karena ada konfigurasi yang terlewat. Jaringan disusupi karena ada password lemah yang tidak diubah. Meskipun niat jahat utama datang dari penyerang eksternal, aksi mereka seringkali berhasil justru karena adanya kontribusi kesalahan non-malisus dari pihak internal.

Mengapa Organisasi Sering Mengabaikan Human Error?

Jika human error begitu berbahaya, mengapa banyak organisasi kurang memberi perhatian serius pada faktor ini? Beberapa alasan berikut kerap menjadi penyebabnya:

  • Fokus Berlebihan pada Teknologi: Banyak perusahaan terpesona oleh solusi teknologi terbaru – memasang sistem keamanan berteknologi tinggi, perangkat lunak antivirus termahal, atau firewall canggih – dengan harapan itu sudah cukup mengamankan mereka. Paradigma yang sering muncul: “Toh kita sudah punya sistem keamanan kelas atas, jadi harusnya aman.” Akibatnya, aspek manusia dianggap sekunder. Kenyataannya, sehebat apa pun teknologi tidak akan efektif jika pengguna melakukan kesalahan fatal (misalnya, klik tautan berbahaya yang melewati semua pertahanan teknis).
  • Kurangnya Investasi dalam Pelatihan: Program pelatihan keamanan siber dan peningkatan awareness karyawan sering kali tidak menjadi prioritas anggaran. Beberapa organisasi menganggap pelatihan hanya beban biaya dan menyita waktu produktif. Alhasil, pengetahuan karyawan tentang ancaman siber tetap minim. Kurangnya pelatihan ini membuat karyawan rentan melakukan kesalahan yang sebenarnya dapat dicegah. Misalnya, tanpa latihan simulasi phishing, pegawai tidak terbiasa mengenali ciri-ciri email penipuan terbaru.
  • Rendahnya Kesadaran Manajemen: Dukungan dari tingkat manajemen atau pimpinan perusahaan sangat menentukan fokus keamanan siber. Bila para pengambil keputusan kurang sadar bahwa human error adalah risiko nyata, maka budaya keamanan tidak terbentuk. Beberapa eksekutif masih keliru berpikir bahwa urusan keamanan adalah tugas divisi TI semata. Padahal, ancaman siber bersifat holistik, mencakup perilaku setiap orang di organisasi. Tanpa kesadaran ini, kebijakan untuk mengurangi human error (seperti SOP ketat atau program awareness) mungkin tidak mendapat dukungan penuh.
  • Asumsi “Manusia Pasti Hati-hati”: Ada organisasi yang beranggapan optimistis bahwa mereka telah mempekerjakan orang-orang profesional, sehingga kecil kemungkinan melakukan kesalahan ceroboh. Sayangnya, asumsi ini tidak didukung data. Setiap orang dapat berbuat salah di bawah kondisi tertentu (tekanan deadline, kelelahan, dsb.). Over-konfidensi terhadap kewaspadaan karyawan justru membuat manajemen lengah untuk menerapkan kontrol berlapis. Selain itu, sebagian perusahaan enggan mengakui faktor manusia sebagai kelemahan karena takut hal itu mencerminkan buruknya pengelolaan SDM mereka. Akibatnya, insiden-insiden kecil akibat human error mungkin diabaikan alih-alih dijadikan pelajaran.

Singkatnya, banyak organisasi terjebak pada pendekatan keamanan siber yang berat di teknologi, tapi ringan di manusia. Selama mindset ini belum berubah, celah human error akan terus terbuka. Dibutuhkan perubahan pendekatan yang mengakui bahwa keamanan siber adalah kombinasi antara teknologi dan perilaku manusia.

Risiko dan Dampaknya

Mengabaikan faktor human error dalam keamanan siber dapat berujung pada berbagai risiko dan dampak serius bagi organisasi, di antaranya:

  • Kerugian Finansial: Kesalahan manusia yang memicu insiden siber dapat menyebabkan kerugian finansial langsung maupun tak langsung. Serangan siber akibat kelalaian pegawai (misalnya ransomware karena klik lampiran berbahaya) bisa membuat operasional lumpuh dan perusahaan harus mengeluarkan biaya besar untuk pemulihan. Belum lagi potensi denda dan kompensasi. Riset IBM tentang Cost of a Data Breach menunjukkan bahwa rata-rata biaya penanganan satu insiden keamanan bisa mencapai jutaan dolar (termasuk biaya investigasi, pemulihan sistem, serta kompensasi korban). Bagi organisasi di Indonesia, insiden data breach juga bisa berdampak pada kerugian penjualan jika pelanggan kehilangan kepercayaan dan berpindah ke kompetitor.
  • Dampak Hukum dan Kepatuhan: Di era regulasi perlindungan data yang ketat, konsekuensi hukum akibat kebocoran data sangatlah berat. Regulasi GDPR di Eropa misalnya, mengatur denda hingga 4% dari total pendapatan tahunan perusahaan jika terbukti lalai melindungi data pribadi. Indonesia sendiri telah mengesahkan UU Pelindungan Data Pribadi (UU PDP) pada tahun 2022 yang mengancam sanksi denda administratif hingga 2% dari pendapatan tahunan bagi perusahaan yang gagal menjaga keamanan data pribadi pengguna. Selain denda, perusahaan dapat menghadapi gugatan hukum dari pihak yang dirugikan. Reputasi kepatuhan hukum perusahaan juga dipertaruhkan; otoritas dan mitra bisnis mungkin enggan bekerja sama lagi jika perusahaan dianggap abai terhadap keamanan siber dan regulasi.
  • Tergerusnya Kepercayaan dan Reputasi: Reputasi adalah aset yang sulit diperoleh namun mudah hilang. Ketika terjadi insiden akibat human error (misalnya data pelanggan bocor atau layanan lumpuh karena kesalahan internal), publik dan stakeholder akan mempertanyakan kompetensi perusahaan dalam menjaga keamanannya. Kepercayaan pelanggan menurun drastis begitu mereka merasa data pribadi mereka tidak aman di tangan perusahaan. Hal ini berdampak jangka panjang: pelanggan beralih, pertumbuhan bisnis terhambat, bahkan nilai saham bagi perusahaan publik bisa anjlok. Reputasi brand yang telah dibangun bertahun-tahun bisa tercoreng hanya oleh satu insiden besar. Selain itu, secara internal, moril karyawan bisa turun dan budaya saling menyalahkan dapat muncul jika perusahaan tidak menangani insiden dengan baik.

Dampak-dampak di atas memperjelas bahwa human error dalam keamanan siber bukan isu sepele. Risiko finansial, hukum, dan reputasional yang mengintai harus menjadi alarm bagi organisasi untuk segera mengambil tindakan preventif. Investasi pada mitigasi human error jauh lebih murah daripada menanggung konsekuensi sebuah kebocoran data besar.

Strategi Mitigasi & Solusi Praktis

Meskipun human error tidak bisa dihapus sepenuhnya (karena pada dasarnya manusia tidak luput dari kesalahan), namun risiko dapat diminimalkan dengan kombinasi strategi berikut:

  • Pelatihan Kesadaran Keamanan (Security Awareness Training): Edukasi adalah langkah pertama untuk mengubah perilaku. Program pelatihan keamanan siber sebaiknya dilakukan secara rutin untuk semua level karyawan, mulai dari staf operasional hingga manajemen puncak. Pelatihan ini mencakup pengenalan jenis ancaman terbaru (phishing, scam, malware, dll.), tata cara penanganan insiden awal, serta praktik terbaik menjaga keamanan data. Metode pelatihan perlu dibuat interaktif dan relevan dengan pekerjaan sehari-hari agar tidak membosankan – misalnya melalui simulasi phishing reguler (mengirim email jebakan internal untuk melihat siapa yang masih tertipu, lalu memberikan pembelajaran), modul e-learning dengan studi kasus, hingga workshop langsung. Dengan latihan terus-menerus, karyawan akan lebih waspada dan sigap menghadapi skenario serangan sosial. Data global menunjukkan bahwa organisasi yang menjalankan simulasi phishing rutin berhasil menurunkan tingkat klik tautan berbahaya secara signifikan, indikasi bahwa awareness memang meningkat.
  • Prosedur Operasional Standar (SOP) dan Kontrol yang Jelas: Kesalahan manusia kerap terjadi karena tidak adanya panduan dan kontrol internal yang kuat. Organisasi perlu menyusun SOP keamanan siber yang jelas untuk berbagai proses kritis. Contohnya, SOP dalam konfigurasi sistem (setiap perubahan konfigurasi harus melalui pengecekan dua orang atau peer review), prosedur manajemen patch (update sistem berkala dengan checklist supaya tidak terlewat), hingga panduan backup data dan pemulihan bencana. Buatlah checklist yang harus ditandatangani sebelum menerapkan perubahan di sistem produksi, guna mencegah kelalaian konfigurasi. Selain itu, tetapkan mekanisme double-check untuk tugas berisiko tinggi: misalnya, prinsip empat mata (two-man rule) untuk persetujuan transfer data penting atau otorisasi transaksi besar, sehingga satu orang tidak bisa sendirian melakukan kesalahan fatal tanpa diketahui. SOP juga harus mencakup langkah yang harus dilakukan karyawan jika mereka menyadari telah melakukan kesalahan (melapor ke mana, dalam waktu berapa lama, dll.). Dengan prosedur yang terstruktur, peluang human error bisa ditekan dan kalaupun terjadi, dampaknya dapat lebih cepat ditangani.
  • Pemanfaatan Teknologi Pendukung: Teknologi dapat membantu mengurangi potensi kesalahan manusia melalui otomatisasi dan pembatasan ruang lingkup kesalahan. Salah satu contohnya adalah penerapan Multi-Factor Authentication (MFA) pada semua akses akun penting – meskipun karyawan terpancing phishing dan menyerahkan password, penyerang tetap terhambat karena butuh faktor verifikasi tambahan (misal OTP di ponsel). Selain itu, memanfaatkan konsep Infrastructure as Code dan otomatisasi dalam deployment sistem bisa mengurangi konfigurasi manual yang rentan salah; skrip otomatis cenderung konsisten dan dapat melalui tahap review lebih dulu. Tools pendeteksi perilaku anomali pengguna (User Behavior Analytics) juga semakin canggih – sistem ini dapat memberi peringatan jika ada aktivitas tidak wajar dari akun karyawan (misalnya login di lokasi tak biasa atau akses data dalam jumlah besar), sehingga kesalahan atau kompromi akun bisa cepat terdeteksi sebelum meluas. Teknologi lain yang penting adalah sistem logging dan monitoring real-time: pastikan log akses dan perubahan sistem selalu dipantau, sehingga jika ada kesalahan konfigurasi atau tindakan mencurigakan, tim keamanan bisa segera merespons. Intinya, teknologi sebaiknya dimanfaatkan tidak hanya untuk menangkal serangan eksternal, tapi juga untuk meminimalkan dampak kesalahan internal dan memberikan safety net bagi kelalaian manusia.
  • Membangun Kultur Keamanan Siber: Budaya organisasi berperan besar dalam mencegah maupun menangani human error. Pertama, ciptakan budaya “lapor tanpa takut”. Karyawan harus didorong untuk segera melaporkan jika mereka melakukan kesalahan atau mengalami insiden (misalnya tanpa sengaja mengklik email mencurigakan), tanpa rasa takut akan sanksi atau dipermalukan. Pendekatan tanpa saling menyalahkan (no-blame culture) ini penting agar insiden tidak disembunyikan. Data survei menunjukkan masih ada persentase karyawan yang enggan melapor karena takut dihukum atau dianggap tidak kompeten – hal ini berbahaya karena keterlambatan laporan memperburuk dampak insiden. Kedua, kepemimpinan harus memberi contoh (tone at the top). Manajemen puncak sebaiknya terlibat aktif dalam program keamanan: misalnya ikut hadir dalam pelatihan, mematuhi SOP yang sama ketatnya, dan secara rutin menyuarakan pentingnya keamanan siber dalam setiap kesempatan. Jika karyawan melihat pemimpinnya disiplin soal keamanan, mereka akan terdorong mengikuti. Ketiga, integrasikan keamanan siber ke dalam nilai-nilai perusahaan dan penilaian kinerja. Beri apresiasi kepada karyawan yang proaktif melaporkan kerentanan atau insiden, dan jadikan kepatuhan terhadap praktik keamanan sebagai salah satu indikator kinerja. Dengan begitu, keamanan siber menjadi tanggung jawab bersama, bukan beban divisi TI saja.
  • Audit dan Simulasi Berkala: Terakhir, terapkan pendekatan proaktif dengan melakukan audit dan simulasi keamanan secara berkala yang turut mencakup faktor manusia. Audit rutin atas konfigurasi sistem, pengaturan akses, dan kepatuhan karyawan terhadap kebijakan keamanan dapat mengidentifikasi titik rawan sebelum disalahgunakan. Misalnya, vulnerability assessment tiap triwulan bisa menemukan server yang terlewat belum di-patch, atau audit password dapat menemukan akun-akun dengan kredensial lemah. Selain audit, lakukan simulasi serangan (drill) untuk menguji kesiapan manusia dan tim respons insiden. Contohnya, gelar penetration testing atau red teaming yang tidak hanya menguji sistem teknis tetapi juga mencoba social engineering terhadap staf (dengan kontrol dan izin tentunya). Hasil simulasi ini dapat mengungkap seberapa mudah karyawan tertipu, seberapa cepat tim keamanan merespons insiden, dan area mana yang perlu perbaikan. Belajar dari simulasi jauh lebih murah dan aman daripada belajar dari insiden nyata. Setelah simulasi, adakan sesi post-mortem atau evaluasi bersama tanpa saling menyalahkan, guna membahas apa yang bisa diperbaiki. Siklus audit dan simulasi berkala ini akan menciptakan feedback loop yang terus menerus meningkatkan postur keamanan siber organisasi serta menanamkan mindset waspada di benak seluruh tim.

Rekomendasi Praktis untuk Organisasi

Mengintegrasikan fokus pada faktor manusia ke dalam strategi keamanan siber membutuhkan perencanaan. Berikut beberapa langkah implementasi bertahap yang dapat dilakukan oleh organisasi:

  1. Audit Internal Titik Rawan: Mulailah dengan audit menyeluruh untuk mengidentifikasi di mana saja potensi titik lemah terkait human error dalam proses bisnis dan teknologi Anda. Tinjau kebijakan penggunaan password, mekanisme otentikasi, alur persetujuan perubahan sistem, hingga budaya pelaporan insiden. Libatkan tim TI dan auditor internal untuk memetakan area-area di mana kelalaian manusia dapat berdampak besar (misalnya hak akses berlebih pada karyawan, atau prosedur verifikasi transfer dana yang kurang ketat). Hasil audit ini akan menjadi pijakan dalam menentukan prioritas perbaikan.
  2. Rancang Program Pelatihan Berkelanjutan: Berdasarkan temuan audit, susun program pelatihan keamanan siber yang disesuaikan dengan kebutuhan organisasi Anda. Tetapkan kurikulum pelatihan mencakup topik dasar (seperti pengenalan phishing, pentingnya update, kebijakan perangkat USB, dll.) hingga skenario lanjutan (misal teknik social engineering terbaru). Pastikan program ini berkelanjutan, bukan hanya sekali sosialisasi. Buat jadwal pelatihan berkala (misalnya tiap 6 bulan) dan evaluasi efektivitasnya dengan cara menguji karyawan pasca-pelatihan. Selain pelatihan formal, manfaatkan komunikasi internal: kirim tips keamanan bulanan, poster pengingat di kantor, atau kuis berhadiah untuk mendorong partisipasi. Evaluasi hasil pelatihan melalui simulasi – contohnya, bandingkan persentase karyawan yang klik email phishing sebelum dan sesudah program awareness berjalan.
  3. Optimalkan Proteksi Teknologi: Sambil memperkuat sisi manusia, jangan lupa mengonfigurasikan ulang kontrol teknologi agar dapat menekan dampak human error. Implementasikan Multi-Factor Authentication di semua sistem penting untuk mengurangi risiko kebocoran kredensial. Periksa kembali konfigurasi keamanan di infrastruktur TI Anda: pastikan default password sudah diganti, tutup port yang tidak perlu, terapkan enkripsi di perangkat portabel, dan aktifkan logging komprehensif. Gunakan tools otomatis untuk menjaga konsistensi konfigurasi (misalnya sistem manajemen konfigurasi atau infrastructure as code tadi). Selain itu, siapkan mekanisme deteksi dini: deploy solusi Security Incident and Event Management (SIEM) atau monitoring yang dilengkapi alogaritma kecerdasan buatan untuk menangkap gejala keanehan akibat ulah manusia (contoh: sistem mengirim alert jika ada login administrator di jam aneh atau perubahan massal pada file server). Teknologi yang tepat akan menjadi jaring pengaman ketika (bukan jika) kesalahan manusia terjadi.
  4. Bentuk Tim Keamanan Lintas-Fungsi: Keamanan siber yang efektif membutuhkan kolaborasi berbagai departemen. Bentuklah tim lintas-fungsi yang terdiri dari perwakilan TI, HR (SDM), Divisi Risiko/Kepatuhan, dan operasional inti. Tim ini bertanggung jawab merumuskan kebijakan terkait faktor manusia, seperti menyusun SOP, menentukan materi pelatihan, dan menegakkan disiplin keamanan sehari-hari. Keterlibatan HR penting untuk memasukkan aspek keamanan dalam siklus hidup karyawan (dari rekrutmen, training orientasi, hingga exit interview), sementara tim Risiko/Kepatuhan memastikan program sejalan dengan standar regulasi (misal ISO 27001, PCI-DSS, atau regulasi pemerintah seperti OJK/Bank Indonesia untuk sektor finansial). Dengan tim gabungan, pendekatan keamanan menjadi lebih holistik: aspek teknis, manusia, dan kepatuhan dibahas bersama sehingga solusi yang dihasilkan lebih komprehensif. Tim ini juga dapat mengevaluasi insiden atau near-miss (hampir terjadi insiden) akibat human error dan memberikan rekomendasi perbaikan lintas departemen.
  5. Tentukan KPI dan Ukur Perkembangannya: Agar upaya mitigasi human error dapat terukur keberhasilannya, tetapkan Key Performance Indicator (KPI) atau metrik kunci. Contoh KPI yang relevan antara lain: Jumlah insiden phishing yang berhasil diblokir atau tidak sengaja lolos (targetnya menurun seiring waktu), persentase karyawan yang lulus tes awareness (skor kuis keamanan minimum, targetnya meningkat), frekuensi kesalahan konfigurasi yang terdeteksi dalam audit (diharapkan turun mendekati nol), serta rata-rata waktu deteksi dan respons insiden (Mean Time to Detect/Respond) – makin singkat, makin baik. KPI juga bisa berbentuk tingkat partisipasi karyawan dalam pelatihan (misal >90% hadir dan tuntas). Pantau metrik ini secara periodik (bulanan atau kuartalan) dan laporkan ke manajemen. Dengan adanya data, organisasi dapat melihat tren perbaikan ataupun area yang masih lemah. KPI yang tercapai juga dapat dijadikan success story untuk mendukung terusnya program (misalnya, “tingkat klik link phishing karyawan kita sudah turun dari 20% ke 5% dalam satu tahun setelah training intensif”). Jika ada KPI yang belum membaik, analisis penyebab dan lakukan penyesuaian strategi. Pendekatan berbasis data ini memastikan bahwa upaya peningkatan keamanan manusia berdampak nyata dan bukan sekadar himbauan di atas kertas.

Kesimpulan

Di ranah keamanan siber modern, human error telah terbukti menjadi titik lemah paling rentan yang sayangnya sering luput dari perhatian. Dari insiden phishing hingga konfigurasi keliru, kesalahan manusia berperan dalam sebagian besar pelanggaran keamanan. Penekanan kembali: secanggih apa pun sistem keamanan yang dimiliki organisasi, satu klik ceroboh atau satu kelalaian prosedur saja bisa melumpuhkannya. Oleh karena itu, mengatasi faktor manusia harus menjadi prioritas sejajar dengan investasi teknologi.

Solusi untuk masalah ini tidak sederhana, namun jelas memerlukan pendekatan terpadu: kolaborasi antara teknologi, pelatihan, prosedur, dan budaya. Teknologi berfungsi sebagai tameng dan jaring pengaman, pelatihan dan edukasi membangun benteng pertahanan dari dalam diri setiap karyawan, prosedur/SOP memberikan rambu agar operasional berjalan aman, sementara budaya keamanan yang positif memastikan semua pihak berkomitmen dan mau melapor ketika ada masalah. Ketika keempat elemen ini berjalan selaras, risiko human error dapat ditekan seminimal mungkin.

Terakhir, sebuah ajakan bagi setiap organisasi: jangan menunggu sampai terjadi insiden besar untuk mulai bergerak. Mulailah dari langkah kecil – misalnya adakan audit internal sederhana minggu ini, atau gelar sesi pelatihan singkat tentang phishing bagi tim Anda. Langkah-langkah kecil yang konsisten akan membawa perubahan besar seiring waktu. Dengan memahami dan memitigasi peran human error, organisasi Anda tidak hanya memperkuat postur keamanan siber, tapi juga melindungi masa depan bisnis dan kepercayaan yang telah dibangun. Keamanan siber adalah tanggung jawab bersama; saat setiap individu lebih waspada dan sistem mendukung, celah bagi penyerang akan semakin tertutup rapat. Jangan biarkan kelalaian manusia menjadi penyebab kelemahan terbesar – berinvestasilah pada manusia Anda sebagaimana Anda berinvestasi pada teknologi. Keamanan terbaik tercapai ketika teknologi unggul dan manusia yang siaga berpadu menjadi satu pertahanan yang kokoh.

Bagikan:

Avatar

Andhika RDigital Marketing at Fourtrezz

Semua Artikel

Artikel Terpopuler

Berlangganan Newsletter FOURTREZZ

Jadilah yang pertama tahu mengenai artikel baru, produk, event, dan promosi.

Partner Pendukung

infinitixyberaditif

© 2025 PT Tiga Pilar Keamanan. All Rights Reserved.
Info Ordal