Selasa, 9 Desember 2025 | 9 min read | Andhika R
Mengapa CISO Gagal Melindungi C-Suite dari Ancaman Siber Bertarget Tinggi?
Bukan Masalah Anggaran, Ini Masalah Kepercayaan: Mengapa Pertahanan Siber Elite Kita Runtuh di Ruang Rapat
Peningkatan dramatis dalam investasi keamanan siber oleh perusahaan global seolah menjadi paradoks. Ketika anggaran melonjak, mengapa serangan siber—khususnya yang menargetkan figur eksekutif dan dewan direksi (C-Suite) dan digolongkan sebagai ancaman siber bertarget tinggi—justru semakin presisten dan berhasil? Jawaban atas kegagalan fundamental ini, menurut berbagai riset, jarang terletak pada kegagalan teknologi semata. Sebaliknya, pangkal persoalan merujuk pada disfungsi struktural dan kesenjangan komunikasi yang melumpuhkan pengambilan keputusan strategis.
Argumen utama artikel ini tegas: kegagalan seorang Chief Information Security Officer (CISO) dalam melindungi C-Suite bukan karena ia kekurangan keahlian teknis, melainkan karena ia gagal menavigasi tiga jurang pemisah fundamental antara keamanan dan bisnis. Inilah tiga pilar kesenjangan yang membuat sistem pertahanan siber di tingkat tertinggi menjadi rapuh, menjadikan CISO Gagal Melindungi C-Suite meskipun memiliki tim dan peralatan terbaik.

I. Jurang Linguistik: Risiko Teknis vs. Risiko Bisnis
Sebuah survei global menggarisbawahi adanya gap keyakinan yang mencolok. Laporan menunjukkan bahwa mayoritas pimpinan non-IT menyatakan sangat yakin dengan kemampuan organisasi mencegah insiden keamanan, namun di sisi lain, profesional IT dan keamanan tidak berbagi tingkat keyakinan yang sama. Disparitas ini muncul karena CISO dan eksekutif berbicara dengan frekuensi yang berbeda, menciptakan Gap Komunikasi CISO dan C-Suite yang berujung pada misalokasi sumber daya.
A. Kegagalan Menerjemahkan Jargon Teknis
CISO sering kali menyampaikan risiko dalam bahasa yang terperinci secara teknis: jumlah kerentanan (vulnerabilities) yang ditemukan, waktu rata-rata untuk mendeteksi atau merespons insiden (Mean Time To Detect/Respond - MTTD/MTTR), atau tingkat kepatuhan patching. Sayangnya, bagi seorang CEO, CFO, atau anggota dewan direksi, laporan ini hanya terlihat sebagai daftar pengeluaran dan akronim yang kompleks. Mereka tidak melihat korelasi langsung antara metrik tersebut dengan kesehatan finansial dan pertumbuhan bisnis.
CISO Gagal Melindungi C-Suite ketika mereka tidak mampu menerjemahkan secara efektif:
- Patching tertunda (Risiko Teknis) $\rightarrow$ Potensi denda regulasi yang memengaruhi harga saham dan akses pasar (Risiko Bisnis).
- Tingkat keberhasilan phishing yang tinggi (Risiko Teknis) $\rightarrow$ Pelanggaran email eksekutif yang menyebabkan penipuan transfer dana (BEC) atau pencurian rahasia dagang yang mengancam keunggulan kompetitif (Risiko Bisnis).
Laporan yang berfokus pada jumlah malware yang diblokir, alih-alih pada dampak finansial dan operasional dari kegagalan, tidak akan pernah memenangkan dukungan strategis di ruang rapat.
B. Solusi: Mengadopsi Metrik yang Berorientasi Bisnis
Komunikasi harus bergeser dari "Apa yang harus kita beli?" menjadi "Bagaimana investasi ini melindungi dan memfasilitasi tujuan bisnis jangka panjang kita?". CISO harus menggunakan bahasa bisnis, yaitu uang, waktu, dan reputasi.
- Menggunakan ROSI (Return on Security Investment): Daripada hanya melaporkan biaya implementasi tool X, CISO harus memproyeksikan potensi kerugian yang dihindari (Loss Avoidance) berkat tool tersebut. ROSI memberikan ukuran terukur tentang bagaimana investasi siber mendukung margin keuntungan.
- Mengukur Cost of Doing Nothing: CISO perlu menyajikan simulasi yang kredibel mengenai biaya minimum yang akan ditanggung perusahaan jika mereka memilih untuk tidak mengimplementasikan kontrol keamanan tertentu. Pendekatan ini mengubah diskusi dari "berapa banyak yang akan kita habiskan" menjadi "berapa banyak yang akan kita hemat".
- Matriks Risiko Panas (Heat Map): Menyajikan risiko dalam matriks yang membandingkan Dampak (Finansial/Reputasi) versus Probabilitas (Kemungkinan Serangan). Warna merah harus mewakili risiko yang membutuhkan perhatian Dewan hari ini, bukan daftar 500 kerentanan yang tidak relevan.
Pendekatan ini membantu C-Suite memahami bahwa risiko siber adalah risiko bisnis yang harus dikelola, bukan hanya masalah teknis yang harus diperbaiki oleh departemen IT.
II. Jurang Perspektif: Keamanan sebagai Biaya Murni
Dalam banyak organisasi, keamanan siber masih diperlakukan sebagai pusat biaya (cost center) yang hanya mengeluarkan uang, atau sebagai polis asuransi yang diperlukan namun diharapkan tidak pernah digunakan. Paradigma ini fatal, terutama dalam menghadapi ancaman siber bertarget tinggi yang semakin canggih, karena akan selalu terjadi Kesalahan Umum Perlindungan Siber Eksekutif akibat alokasi sumber daya yang reaktif.
A. Siklus Reaktif dan Kegagalan Mengukur KPI yang Tepat
Ketika C-Suite memandang keamanan hanya sebagai pengeluaran wajib, alokasi sumber daya akan menjadi reaktif dan minimalis. Siklusnya selalu sama: hanya ada peningkatan anggaran secara signifikan pasca-bencana besar, diikuti oleh pemangkasan saat situasi kembali tenang.
Masalahnya diperparah oleh Indikator Kinerja Utama (KPI) Keamanan Siber CISO yang fokus pada hal yang salah. KPI tradisional sering kali mengukur aktivitas teknis (misalnya, jumlah phishing yang terdeteksi) dan bukan hasil bisnis (misalnya, penurunan eksposur risiko bisnis).
KPI yang keliru menyebabkan:
- Over-Investasi pada Teknologi yang Salah: CISO membeli solusi terbaru yang mengesankan secara teknis, tetapi tidak mengatasi risiko bisnis paling kritis (misalnya, spear phishing eksekutif).
- Fokus Internal Semata: Anggaran dihabiskan untuk memperkuat perimeter internal, sementara ancaman siber bertarget tinggi saat ini sering datang melalui supply chain pihak ketiga atau melalui media sosial eksekutif.
B. Mengubah Narasi: Keamanan sebagai Keunggulan Kompetitif
Strategi yang tepat adalah mengubah narasi. CISO harus mampu memposisikan keamanan sebagai fasilitator bisnis dan bahkan keunggulan kompetitif.
- Fasilitator M&A (Merger & Akuisisi): CISO dapat menunjukkan bagaimana praktik cyber due diligence yang ketat mengurangi risiko deal yang gagal atau mengurangi kewajiban pasca-akuisisi, sehingga mempercepat dan mengamankan pertumbuhan perusahaan melalui M&A.
- Akses Pasar: Keamanan yang kuat dan kepatuhan yang terbukti (misalnya, ISO 27001, SOC 2) menjadi syarat mutlak untuk bekerja sama dengan klien besar atau memasuki pasar di bawah regulasi ketat (seperti pasar Uni Eropa). Dalam hal ini, keamanan adalah kartu masuk, bukan hambatan biaya.
- Manajemen Reputasi: Di era media sosial, insiden siber dapat menghancurkan trust konsumen dalam hitungan jam. CISO dapat memproyeksikan nilai reputasi yang dipertahankan berkat cyber resilience yang solid.
Dengan mengubah narasi dari "biaya pencegahan kerugian" menjadi "investasi untuk ketahanan dan diferensiasi pasar", CISO dapat memperoleh sumber daya yang diperlukan untuk pertahanan proaktif.
III. Jurang Strategis: Terjebak dalam Peran Taktis
Ancaman siber bertarget tinggi seperti spear phishing yang menargetkan eksekutif senior, Business Email Compromise (BEC), atau serangan pada supply chain pihak ketiga, tidak dapat ditangani hanya dengan solusi teknis operasional harian. Ancaman ini membutuhkan visi strategis yang menyentuh seluruh aspek operasional bisnis, suatu elemen yang sering hilang dalam Tantangan CISO modern.
A. Perbedaan Mendasar: Operasional vs. Strategis
Seringkali, CISO terlalu tenggelam dalam manajemen insiden sehari-hari (firefighting) dan urusan patching sehingga mereka gagal menyusun dan mengomunikasikan visi keamanan jangka panjang yang selaras dengan tujuan strategis perusahaan.
- Fokus Taktis: Monitoring logs, patch management, dan insiden harian. Ini penting, tetapi ini adalah tugas Security Operations Center (SOC), bukan fokus utama CISO di ruang dewan.
- Fokus Strategis: Mengembangkan kerangka kerja manajemen risiko siber yang terintegrasi dengan risiko perusahaan, merencanakan arsitektur keamanan tanpa batas (Zero Trust), dan memastikan ketersediaan bisnis (Business Continuity).
CISO Gagal Melindungi C-Suite ketika mereka membawa masalah operasional ke meja direksi. Dewan hanya tertarik pada risiko yang memengaruhi tujuan perusahaan, bukan detail teknis solusi. Kegagalan untuk membahas secara eksplisit bagaimana strategi keamanan 3-5 tahun mendukung pertumbuhan perusahaan, membuat CISO tampak seperti penasihat teknis, bukan anggota tim kepemimpinan inti.
B. Studi Kasus: Perlindungan Eksekutif yang Terintegrasi
Perlindungan C-Suite saat ini jauh melampaui pengamanan email kantor. Ancaman Siber Bertarget Tinggi semakin memanfaatkan data publik untuk serangan rekayasa sosial yang meyakinkan.
- Contoh Kegagalan: Sebuah perusahaan kehilangan jutaan dolar karena BEC (Business Email Compromise) yang berhasil. Pelaku serangan memanfaatkan informasi dari media sosial CEO tentang rencana liburan untuk mengirimkan email phishing yang mendesak kepada CFO mengenai transfer dana darurat. Kesalahan Umum Perlindungan Siber Eksekutif di sini adalah kegagalan mengintegrasikan keamanan personal dan operasional.
- Solusi Strategis (Strategi Keamanan Siber C-Suite yang Efektif): CISO harus mengimplementasikan program Executive Protection yang komprehensif, mencakup:
- Pelatihan Risiko Personal: Mengedukasi eksekutif tentang risiko penggunaan media sosial, Wi-Fi publik, dan perangkat pribadi yang digunakan untuk pekerjaan (Bring Your Own Device - BYOD).
- Pemantauan Dark Web dan Clear Web: Memantau informasi C-Suite yang beredar di dark web dan forum publik untuk mendeteksi potensi ancaman penculikan data (doxing) atau kompromi.
- Protokol Komunikasi Darurat: Menetapkan prosedur verifikasi multi-saluran untuk permintaan transfer dana atau akses data yang sensitif.
Ini menunjukkan bahwa Strategi Keamanan Siber C-Suite yang Efektif harus berlandaskan pada pemahaman strategis bahwa titik terlemah adalah interaksi manusia, bukan software semata.
IV. Membangun Jembatan: Mandat Baru untuk CISO 2.0
Untuk menutup tiga jurang ini, diperlukan evolusi drastis peran CISO. CISO 2.0 harus bertindak sebagai Pemimpin Risiko Bisnis dengan Spesialisasi Siber.
A. Tiga Pilar Komunikasi Strategis CISO 2.0
CISO harus fokus pada tiga metrik utama yang relevan di ruang dewan, menggantikan KPI teknis tradisional:
- Eksposur Risiko Bisnis (ERB): Mengukur kerugian finansial maksimum yang mungkin terjadi akibat insiden siber yang paling mungkin (Most Likely dan Worst Case Scenario). Ini harus disampaikan dalam satuan mata uang ($), bukan persentase teknis.
- Kematangan Keamanan Relatif (KPR): Membandingkan postur keamanan perusahaan dengan rekan-rekan industri (kompetitor) dan praktik terbaik global. Ini menjawab pertanyaan dewan: "Apakah kita lebih aman dari pesaing kita?".
- Waktu Pemulihan Bisnis (WPB): Fokus pada kemampuan sistem untuk pulih setelah serangan siber yang parah (misalnya, ransomware skala besar). Metrik ini berhubungan langsung dengan ketahanan bisnis (business resilience).
B. Integrasi Risiko Siber ke dalam Enterprise Risk Management (ERM)
Kesalahan Umum Perlindungan Siber Eksekutif yang paling besar adalah membiarkan keamanan siber berdiri sebagai fungsi terpisah. CISO harus memastikan risiko siber diintegrasikan sepenuhnya ke dalam matriks Enterprise Risk Management (ERM) organisasi.
Ketika ancaman siber diperlakukan sama dengan risiko pasar, risiko regulasi, atau risiko operasional lainnya, barulah alokasi sumber daya akan menjadi seimbang. CISO perlu bekerja sama erat dengan Chief Risk Officer (CRO) untuk memodelkan risiko siber menggunakan kerangka kerja yang sama (misalnya, NIST Cybersecurity Framework atau ISO 31000). Hal ini menghentikan pemikiran bahwa masalah siber hanya akan ditangani di ruang server.
C. Edukasi Eksekutif yang Kritis
Melindungi Eksekutif dari Spear Phishing membutuhkan lebih dari sekadar software anti-phishing. CISO harus memimpin program pendidikan yang mengakui bahwa eksekutif adalah target dengan privilege tinggi yang diincar oleh aktor ancaman canggih.
Pelatihan untuk C-Suite harus:
- Berbasis Skenario: Menggunakan skenario phishing yang sangat spesifik, relevan, dan sulit dibedakan, meniru ancaman BEC yang canggih.
- Personal dan Intensif: Bukan sesi webinar massal. Melibatkan simulasi ancaman yang menargetkan data yang dapat diakses publik (Open-Source Intelligence/OSINT) tentang eksekutif tersebut.
- Fokus pada 'Mengapa': Menjelaskan bagaimana kerentanan mereka menjadi pintu masuk strategis bagi organisasi secara keseluruhan.
Kesimpulan: Dari Operator Ancaman Menjadi Mitra Bisnis
CISO Gagal Melindungi C-Suite ketika mereka beroperasi dalam isolasi teknis. Kegagalan fundamentalnya bukanlah pada firewall yang rusak, melainkan pada jembatan komunikasi yang tidak terbangun. Untuk menghadapi ancaman siber bertarget tinggi yang semakin kompleks dan terpersonalisasi, CISO harus bertransformasi menjadi pemimpin bisnis yang fasih dalam bahasa profitabilitas dan ketahanan.
Mandat baru CISO adalah untuk menghentikan penggunaan jargon teknis, memahami metrik bisnis perusahaan melebihi metrik keamanan, dan mengajak C-Suite untuk berinvestasi pada keamanan, bukan mengeluarkan biaya untuk keamanan. Hanya dengan integrasi strategis dan adopsi bahasa bisnis yang baru, pertahanan siber di tingkat tertinggi dapat menjadi benteng yang kokoh, bukan hanya pagar yang mahal.
Andhika RDigital Marketing at Fourtrezz
Artikel Terpopuler
Tags: CISO Gagal, Ancaman Siber, Keamanan C-Suite, Risiko Bisnis, Keamanan CISO
Baca SelengkapnyaBerita Teratas
Berlangganan Newsletter FOURTREZZ
Jadilah yang pertama tahu mengenai artikel baru, produk, event, dan promosi.



