Jumat, 3 Oktober 2025 | 12 min read | Andhika R
Compliance di Industri Keuangan: Pentest sebagai Pilar Keamanan
Tekanan Regulasi: Mengapa Compliance Jadi “Harga Mati”
Lembaga keuangan di Indonesia beroperasi di bawah pengawasan ketat Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bank Indonesia (BI), sekaligus harus menaati Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) serta regulasi terkait lainnya. Gagal mematuhi standar ini berisiko sanksi berat: denda miliaran rupiah, pembekuan atau pencabutan izin usaha, bahkan konsekuensi pidana. Misalnya, OJK Regulation No. 22/2023 mengamanatkan prinsip perlindungan konsumen termasuk kerahasiaan data pribadi, dengan sanksi administratif hingga Rp 15 miliar bagi yang melanggar. Selain itu, pelanggaran terhadap UU PDP dapat dipidana penjara hingga 5 tahun dan denda hingga Rp 5 miliar (Pasal 67 UU 27/2022).
Denda dan sanksi: Ketidakpatuhan dapat berujung pada denda besar, peringatan, pembatasan layanan, bahkan penarikan izin (OJK Reg 22/2023).
Kepercayaan publik: Kebocoran data atau kasus penipuan mengikis kepercayaan nasabah dan investor. Reputasi perusahaan terancam, apalagi di era digital yang sangat memprioritaskan keamanan informasi.
Pengawasan intensif: Insiden nyata seperti peretasan platform fintech Cermati.com (Oktober 2020) memicu pengawasan regulator. OJK langsung meminta Cermati memperbaiki keamanan sistemnya dan mengingatkan potensi sanksi berdasarkan aturan perlindungan konsumen. Kasus serupa menunjukkan bahwa sekadar formalitas audit tidak cukup; perusahaan harus proaktif memperkuat keamanan agar lolos pengawasan.
Kondisi ini membuat kepatuhan bukan pilihan. Kepatuhan ke regulasi bukan hanya soal menghindari denda, tetapi juga menjaga keberlanjutan bisnis. Saat banyak regulasi (POJK BI/BI, SEOJK, UU PDP) terus diperbarui, perusahaan keuangan harus aktif menyesuaikan diri. Sebagai contoh, OJK telah mengeluarkan beragam peraturan seperti POJK No.4/2021 (risiko TI bagi LJK nonbank), POJK No.11/2022 (TI perbankan), dan SEOJK No.29/2022 (ketahanan siber bank), semua dirancang agar pelaku keuangan mampu menjalankan sistem TI yang aman dan terpercaya.
Pentest sebagai “Alat Bukti” Bukan Sekadar Formalitas
Dalam konteks audit keamanan TI, penetration test (pentest) berperan sebagai bukti konkret kesiapan sistem menghadapi serangan. Berbeda dengan sekadar menghasilkan sertifikat kepatuhan, pentest menguji keamanan secara nyata: mensimulasikan serangan agar kelemahan sistem terungkap. Hasil pentest yang komprehensif menjadi verifikasi bahwa kontrol internal berjalan efektif. Auditor keamanan sering meninjau laporan pentest untuk menilai bahwa perusahaan sudah memperbaiki kerentanan utama.
Alat bukti kesiapan: Melalui pentest, perusahaan menunjukkan pada auditor dan regulator bahwa mereka sudah mengidentifikasi dan menutup celah keamanan krusial. Laporan hasil pentest bisa dipakai sebagai salah satu dokumen evidence dalam proses audit atau compliance check.
Formalitas vs Strategis: Perusahaan perlu membedakan dua pendekatan. Jika pentest hanya dijalankan secara simbolis (misalnya hanya scanning ringan untuk “cek kotak”), hasilnya tidak banyak berguna. Pendekatan strategis berarti melakukan pentest mendalam dengan skenario attack vector aktual, memperbaiki temuan, lalu melakukan ulang untuk memastikan efektivitas mitigasi. Strategi ini jauh lebih bernilai sebagai bukti compliance.
Penilaian risiko berbasis data: Laporan pentest yang detail membantu auditor menilai risiko sisa (residual risk) dan efektivitas perbaikan. Dengan data kerentanan yang ditemukan, auditor bisa memverifikasi bahwa risiko telah terkelola sesuai standar yang diharapkan. Hal ini menunjukkan keseriusan perusahaan, bukan sekadar memenuhi checklist.
Singkatnya, pentest bukan “gimmick” administrasi. Ia merupakan proses teknis kritis: bukti nyata bahwa sistem aman dan perusahaan siap diaudit. Pendekatan pentest yang serius dan berkelanjutan akan meningkatkan skor kepatuhan, sementara pentest setengah hati bisa gagal menemui ekspektasi auditor.
Standard Compliance yang Relevan untuk Industri Keuangan
Berbagai regulasi dan standar berlaku simultan di industri keuangan. Di Indonesia, UU No.27/2022 tentang Perlindungan Data Pribadi menjadi payung hukum utama untuk data pribadi warga. UU PDP mengatur asas pengolahan data (persetujuan, transparansi, akses subjek data) serta sanksi tegas bagi pelanggar. Di sektor keuangan, OJK juga mengeluarkan aturan khusus: misalnya POJK No.4/2021 mengatur manajemen risiko TI bagi lembaga keuangan non-bank, sedangkan POJK No.11/2022 untuk bank umum. Aturan-aturan ini meminta penerapan tata kelola TI yang komprehensif, audit berkala, hingga pengelolaan insiden keamanan.
UU Perlindungan Data Pribadi (PDP): UU No.27/2022 (berlaku mulai 2024) mengharuskan semua organisasi mengamankan data pribadi dengan persetujuan pemiliknya. Pelanggaran berat bisa dipidana hingga 6 tahun penjara dan denda puluhan miliar rupiah (menyangkut pemalsuan atau perdagangan data pribadi). UU ini menjembatani kekosongan regulasi data, sebelum ada aturan setara internasional (misalnya GDPR Eropa).
POJK Manajemen Risiko TI: OJK telah mewajibkan lembaga keuangan menjalankan IT Risk Management. Contohnya, POJK 11/2022 (TI Bank) mengharuskan bank menyusun kebijakan keamanan TI, melaksanakan uji coba pemulihan bencana, dan memberi laporan insiden kepada OJK. Demikian pula, OJK menekankan tata kelola digital melalui standarisasi seperti ISO 27001. Ketua Dewan Audit OJK bahkan menyoroti penerapan “tujuh lapis keamanan” ala ISO 27001 di industri jasa keuangan.
ISO 27001 dan PCI DSS: ISO/IEC 27001 adalah standar internasional untuk Sistem Manajemen Keamanan Informasi (SMKI). Banyak bank dan perusahaan keuangan di Indonesia mengadopsinya sebagai pilar compliance karena diakui global. Misalnya, PT Bank BCA Tbk meraih sertifikasi ISO 27001:2022 untuk SMKI mereka. Di sisi lain, PCI DSS (Payment Card Industry Data Security Standard) berlaku khusus untuk entitas yang mengelola data kartu pembayaran (kredit/debit). Sebagai contoh, penyedia payment gateway Midtrans mematuhi PCI DSS Level 1 dan ISO 27001, sebagai syarat operasional di sektor fintech yang melibatkan transaksi kartu.
Global vs Lokal: Regulasi internasional seperti GDPR (UE) atau standar global seperti ISO dan PCI menjadi acuan, namun perusahaan juga harus selaras dengan regulasi lokal Indonesia. Implementasi ISO 27001 dapat membantu memenuhi persyaratan UU PDP maupun POJK, karena kerangka kerjanya melingkupi kontrol akses, kriptografi, manajemen insiden, dll. Begitu pula, sertifikasi PCI DSS bukan kewajiban hukum di Indonesia, namun menjadi prasyarat bagi perusahaan yang ingin dipercaya oleh jaringan kartu global (Visa, Mastercard, dll). Dengan kata lain, kepatuhan global (ISO, PCI) memperkuat kepatuhan lokal (POJK, UU PDP), menciptakan ekosistem keamanan yang sejalan.
Secara keseluruhan, lembaga keuangan wajib menjadikan standar-standar di atas sebagai bagian dari kebijakan internal. Integrasi ketentuan-compliant ini ke operasi harian adalah prasyarat agar setiap audit atau pengawasan dapat dilewati tanpa problem compliance.
Pentest sebagai Mekanisme Validasi & Assurance
Pentest bertindak sebagai semacam simulasi serangan nyata yang menilai efektivitas kontrol internal perusahaan. Dengan menjalankan skenario-teknik hacker terhadap sistem (aplikasi, jaringan, mobile, dan lain-lain), pentest memberikan gambaran apakah prosedur keamanan yang ada (password policy, enkripsi, firewall, segmen jaringan, dll.) telah diterapkan dengan benar dan cukup tangguh. Hasilnya dapat langsung diaplikasikan untuk memperbaiki kontrol yang lemah sebelum benar-benar diserang oleh pihak jahat.
Mengurangi detection gap: Setiap organisasi memiliki perimeter dan kontrol keamanan. Namun, tanpa diuji, tidak ada jaminan semua kelemahan sudah teridentifikasi. Pentest menutup detection gap dengan mengungkap celah yang mungkin tidak terjangkau audit dokumen biasa. Temuan-temuan ini kemudian ditindaklanjuti (patching, reconfigurasi, penerapan security control lebih ketat), sehingga ketahanan sistem meningkat dan waktu respon terhadap insiden (time-to-detect) berkurang drastis.
Memperkuat Rencana Insiden (IRP): Selain menambal celah keamanan, pentest biasanya juga mencakup pengujian tim respons insiden. Misalnya, skenario breach yang memicu tabletop exercise atau red team simulation membantu memeriksa kecepatan dan ketepatan tim TI dalam mendeteksi, memitigasi, dan melaporkan insiden. Dengan demikian, IRP perusahaan menjadi lebih siap, karena proses pemulihan sudah terlatih melalui latihan berulang.
Proaktif, bukan reaktif: Pentest adalah bentuk strategi keamanan proaktif. Daripada menunggu regulator menemukan kelemahan (atau tekanan dari pasar setelah insiden), perusahaan yang rutin melakukan pentest menunjukkan inisiatif menjaga kepatuhan. Pola ini tidak hanya mengurangi risiko sanksi, tetapi juga menghindarkan perusahaan dari penanganan krisis yang panik setelah terjadi pelanggaran data.
Dengan demikian, pentest menambah tingkat keyakinan (assurance) bahwa kebijakan keamanan dan compliance benar-benar efektif di dunia nyata. Hasil uji ini menjadi umpan balik penting bagi manajemen risiko: kelemahan apa yang harus diatasi selanjutnya, pengendalian mana yang perlu diperkuat, dan bagaimana mengalokasikan sumber daya keamanan secara optimal.
Studi Kasus & Benchmark Industri
Beberapa institusi keuangan telah menjadikan pentest bagian dari budaya keamanan mereka untuk melampaui standar minimum compliance. Misalnya, bank-bank besar di Indonesia rutin menerapkan ISO 27001 dan melibatkan pihak eksternal untuk penilaian keamanan. Contoh terdepan adalah Bank BCA, yang meraih sertifikasi ISO 27001:2022 dan PCI DSS untuk Sistem Manajemen Keamanan Informasi (SMKI) serta keamanan transaksi kartu. Langkah ini tidak hanya memenuhi aturan, tetapi juga memperkuat kepercayaan nasabah bahwa data dan dana mereka di BCA terlindungi oleh standar internasional.
Di sektor fintech, reputasi keamanan sangat penting untuk menarik investor dan pelanggan baru. Midtrans (bagian dari Gojek Group) misalnya secara terbuka menyatakan kepatuhan terhadap PCI DSS Level 1 dan ISO 27001. Sertifikasi tersebut menjadi sinyal kepada mitra bisnis (merchant, investor) bahwa transaksi via Midtrans aman. Sebaliknya, fintech yang mengabaikan pengujian keamanan rutin bisa kehilangan keunggulan tersebut. Sebagai ilustrasi, fintech A mungkin mendapatkan pendanaan lebih mudah jika mampu menunjukkan hasil audit keamanan yang baik, sedangkan fintech B yang baru kedapatan bocor data bisa mengalami kesulitan meyakinkan investor tentang manajemen risiko-nya.
Pengamatan lapangan juga menunjukkan perbedaan nyata: perusahaan yang sering melakukan pentest dan upgrade keamanan cenderung lebih jarang terdampak insiden siber serius. Mereka biasanya memiliki proses continuous improvement dalam security, seperti menghadirkan program bug bounty atau melakukan audit internal berkala. Sebaliknya, organisasi yang lalai pentest—mengira pengamanan sudah memadai—justru yang paling terpukul saat data mereka bocor. Dampak kebocoran seperti itu tidak hanya kerugian finansial, tetapi juga kebutuhan membayar ganti rugi dan denda regulator.
Secara ringkas, pelaku industri keuangan yang menggunakan pentest secara rutin tidak hanya memenuhi minimal compliance, tetapi juga mendapatkan benchmarking keunggulan: perbaikan sistem berkelanjutan, nilai jual kepada klien, serta kesiapan menghadapi audit yang lebih tinggi dibanding kompetitor yang hanya patuh nominal.
Strategi Implementasi Pentest agar Compliance Efektif
Agar pentest benar-benar mendukung compliance, perusahaan perlu merencanakan pelaksanaannya dengan baik. Berikut beberapa prinsip strategis:
Waktu pelaksanaan yang tepat: Pentest idealnya dilakukan pada tahap kritis siklus pengembangan dan operasional TI. Misalnya, sebelum peluncuran aplikasi baru, sesudah perubahan besar (pembaruan infrastruktur atau fitur aplikasi), serta secara rutin (umumnya tahunan) untuk sistem yang sudah berjalan. Pengujian pre-launch memastikan tidak ada celah besar saat produk dirilis, sedangkan pengetesan pasca-perubahan mengantisipasi regresi keamanan. Uji tahunan menutup kemungkinan serangan dari ancaman baru.
Melibatkan pihak ketiga: Pentest internal memiliki batas: auditor bisa berkonflik kepentingan dan mungkin tidak menemukan semua kelemahan. Menggunakan tim pentester eksternal (independen) memberikan objektivitas hasil. Pihak ketiga cenderung menggunakan teknik dan perspektif lebih bervariasi, sehingga ditemukan kerentanan yang sebelumnya terlewat tim internal. Selain itu, laporan dari pentester independen biasanya lebih dihargai oleh auditor eksternal dan regulator sebagai bukti yang kredibel.
Integrasi dengan manajemen risiko: Hasil pentest harus dimasukkan ke dalam kerangka manajemen risiko TI perusahaan. Artinya, temuan kerentanan diolah menjadi risiko bisnis yang terukur, lalu di-follow up dengan perbaikan atau mitigasi sesuai prioritas. Dengan memasukkannya ke dalam proses Risk Management Information System (RMIS) atau Enterprise Risk Management, perusahaan dapat memonitor status perbaikan dan ketaatan secara berkelanjutan. Sebagai contoh, jika pentest mengungkap vektor serangan XSS di portal customer, temuan itu dicatat, dan pengembangan diarahkan untuk segera menambalnya sebelum batas waktu yang ditentukan. Pendekatan ini membantu perusahaan memenuhi persyaratan POJK/ISO karena menunjukkan adanya siklus identify-assess-mitigate-report.
Dengan menerapkan strategi di atas, pentest menjadi bagian integral dalam proses bisnis, bukan sekadar proyek satu kali. Pentest yang direncanakan sebagai bagian dari rencana annual IT audit atau roadmap risiko akan memastikan compliance tidak kacau balau. Hal ini juga mempermudah penganggaran (budgeting) karena perusahaan sudah memperhitungkan pengujian keamanan sebagai investasi, bukan biaya tak terduga setelah terjadinya insiden.
Beyond Compliance: Dari Kepatuhan Menuju Keunggulan Kompetitif
Pada akhirnya, sikap terhadap kepatuhan menentukan nilai tambah perusahaan. Jika disikapi negatif sebagai beban, compliance hanya akan dianggap formalitas. Namun jika dijadikan strategi bisnis, perusahaan bisa memetik keunggulan kompetitif. Kepatuhan yang kuat –termasuk penerapan pentest secara rutin– dapat menjadi nilai jual (selling point) di mata nasabah, mitra bisnis, dan investor.
Mindset compliance sebagai nilai strategis: Perusahaan yang menganggap kepatuhan sebagai kesempatan akan mencari cara agar compliance selaras dengan tujuan bisnis. Misalnya, hasil audit ISO 27001 tidak hanya dilepaskan di meja manajemen risiko, tetapi diangkat ke level marketing: “Kami telah tersertifikasi ISO 27001, ini bukti kami menjaga data Anda”. Dengan menunjukkan bahwa mereka melampaui persyaratan minimum, bank atau fintech tersebut mendapat persepsi kualitas lebih tinggi. Bahkan McKinsey menyatakan bahwa kolaborasi erat antara fungsi compliance dan unit bisnis dapat membuka peluang peningkatan pengalaman pelanggan sekaligus memperbaiki image perusahaan.
Pentest membangun kepercayaan nasabah: Ketika perusahaan rutin mengumumkan capaian audit keamanan (misalnya “Hasil uji penetrasi kuartal ini menunjukkan sistem kami aman”), nasabah merasa yakin datanya benar-benar dijaga. Di era media sosial saat ini, komitmen proaktif terhadap keamanan informasi bisa menjadi modal reputasi yang mahal harganya. Beda ceritanya jika berita kebocoran datang dari media – kerugian kepercayaan jauh lebih besar dan sulit diperbaiki. Pentest yang berhasil dan transparansi hasilnya menjadi bukti komitmen yang konkret.
Diferensiasi dalam persaingan: Di sektor keuangan yang padat persaingan, compliance dapat jadi pembeda. Bank atau startup fintech yang menonjol dalam keamanan TI akan lebih menarik bagi segmen korporasi dan institusi besar. Investor juga cenderung mengucurkan dana ke perusahaan dengan tata kelola risiko jelas (termasuk hasil penilaian keamanan). Saat banyak pemain memasarkan produk serupa, kemampuan menyatakan, misalnya, “kami memenuhi UU PDP, POJK, dan tersertifikasi ISO 27001” bisa memperkuat brand value dan membuka akses pasar baru.
Singkatnya, compliance dan pentest tidak hanya menjaga bisnis agar “tidak ranah”, tetapi juga bisa menjadi bagian dari strategi pemasaran dan inovasi. Perusahaan-perusahaan yang menanamkan budaya keamanan sebagai keunggulan internal akan lebih mudah beradaptasi dengan perubahan regulasi, sekaligus memetik penghargaan kepercayaan dari publik.
Kesimpulan
Di industri keuangan, kepatuhan regulasi bukan sekadar checklist audit tahunan, melainkan fondasi keberlanjutan. Ketatnya aturan OJK, BI, dan UU PDP menuntut setiap perusahaan mengelola data dan sistem keuangannya secara aman. Dalam konteks ini, penetration test (pentest) adalah langkah paling konkret untuk membuktikan bahwa kontrol keamanan berjalan efektif. Pentest tidak hanya mengungkap risiko sebelum dieksploitasi, tetapi juga menegaskan komitmen keamanan perusahaan kepada regulator dan publik.
Sebagai penutup, penting diingat bahwa compliance sebaiknya dilihat sebagai nilai tambah. Memanfaatkan pentest secara strategis adalah cara membangun kepercayaan nasabah dan meningkatkan reputasi. Lakukan pentest sebelum diluncurkan sistem baru, pasca perubahan besar, dan secara berkala dengan bantuan ahli independen. Integrasikan hasilnya ke dalam pengelolaan risiko TI, agar perusahaan selalu siap dalam menghadapi audit dan serangan siber. Dengan pendekatan ini, compliance berubah dari beban menjadi keunggulan kompetitif.
Hubungi Fourtrezz sekarang untuk solusi pentest yang komprehensif. Fourtrezz siap membantu memastikan sistem Anda aman dan mematuhi regulasi, sekaligus memaksimalkan nilai bisnis di era digital. Dengan pengalaman dan metode teruji, Fourtrezz akan mendampingi Anda bukan hanya mencapai compliance, tetapi juga meningkatkan daya saing perusahaan lewat kepercayaan nasabah yang kuat.

Andhika RDigital Marketing at Fourtrezz
Artikel Terpopuler
Tags: Pentest Keuangan, Compliance OJK, UU PDP, ISO 27001, PCI DSS
Baca SelengkapnyaBerita Teratas
Berlangganan Newsletter FOURTREZZ
Jadilah yang pertama tahu mengenai artikel baru, produk, event, dan promosi.