Selasa, 30 Desember 2025 | 7 min read | Andhika R
Menggugat Paradigma Keamanan Siber: Lima Pertanyaan Strategis untuk Meja Direksi di Era Ketidakpastian
Fase "ketidaktahuan yang disengaja" bagi jajaran direksi terhadap urusan keamanan siber telah resmi berakhir. Jika satu dekade lalu para direktur dan komisaris dapat dengan tenang mendelegasikan seluruh urusan keamanan data ke ruang bawah tanah departemen TI, hari ini realitas tersebut telah bergeser menjadi ancaman eksistensial bagi korporasi. Keamanan siber bukan lagi soal instalasi perangkat lunak; ia adalah pilar utama dalam tata kelola perusahaan yang baik (Good Corporate Governance).
Lanskap ancaman tahun 2024-2025 menunjukkan eskalasi yang belum pernah terjadi sebelumnya. Berdasarkan laporan dari berbagai lembaga otoritas keamanan global dan jurnal manajemen risiko, serangan siber kini tidak hanya menyasar data, tetapi bertujuan melumpuhkan seluruh rantai pasok global. Di Indonesia, berlakunya secara penuh Undang-Undang Pelindungan Data Pribadi (UU PDP) semakin mempertegas bahwa kegagalan mengelola keamanan siber bukan hanya akan berakibat pada kerusakan reputasi, tetapi juga sanksi administratif dan pidana yang dapat menjangkiti jajaran manajemen puncak.
Oleh karena itu, Dewan Direksi membutuhkan alat navigasi baru. Pertemuan berkala dengan Chief Information Security Officer (CISO) tidak boleh lagi sekadar mendengarkan presentasi angka-angka teknis yang membosankan. Direksi harus mengambil kendali dengan mengajukan pertanyaan yang bersifat provokatif, strategis, dan berorientasi pada nilai bisnis.
Berikut adalah lima pertanyaan krusial yang harus diajukan untuk membongkar kesenjangan antara persepsi keamanan dan realitas di lapangan.

1. "Jika Seluruh Operasi Kita Terhenti Hari Ini, Berapa Lama Kita Mampu Bertahan Sebelum Kerugian Menjadi Irreversibel?"
Pertanyaan ini secara langsung menyerang inti dari mitigasi risiko: Resiliensi Operasional. Direksi sering kali terjebak dalam metrik "pencegahan" (berapa banyak serangan yang diblokir), padahal metrik yang jauh lebih penting adalah "pemulihan". Dalam dunia di mana serangan siber dianggap sebagai kepastian (not if, but when), fokus utama harus beralih dari sekadar membangun benteng yang tinggi menjadi membangun organisasi yang lentur.
Analisis Strategis:
Dewan Direksi harus memahami perbedaan antara Disaster Recovery (DR) konvensional dengan Cyber Recovery. Dalam kegagalan infrastruktur biasa, data cadangan (backup) biasanya tersedia dan bersih. Namun, dalam serangan ransomware modern, aktor jahat sering kali mengincar cadangan data terlebih dahulu. Jika CISO menjawab dengan nada optimis tanpa menyertakan bukti hasil uji tekan (stress test) terbaru, maka ada risiko besar yang tersembunyi.
Direksi perlu menuntut transparansi mengenai Recovery Time Objective (RTO) dan Recovery Point Objective (RPO). Lebih jauh lagi, tanyakan apakah perusahaan memiliki "Safe Haven" atau lingkungan pemulihan yang terisolasi sepenuhnya. Keberlangsungan bisnis adalah tanggung jawab Direktur Utama, bukan sekadar manajer TI. Kegagalan untuk memulihkan operasi dalam waktu singkat akan memicu hilangnya kepercayaan pasar, penurunan harga saham, dan dalam banyak kasus, kebangkrutan teknis.
2. "Bagaimana Strategi Siber Kita Berfungsi Sebagai Keunggulan Kompetitif, Bukan Sekadar Penghambat Inovasi?"
Dalam banyak organisasi, departemen keamanan siber sering dicap sebagai "Departemen Tidak" (The Department of No). Setiap kali tim pemasaran ingin meluncurkan aplikasi baru atau tim operasional ingin mengadopsi teknologi awan (cloud), tim keamanan muncul dengan tumpukan regulasi yang memperlambat proses. Ini adalah paradigma lama yang destruktif.
Pergeseran Argumentasi:
Direksi harus menantang CISO untuk menjadi enabler bagi pertumbuhan. Di era di mana konsumen semakin sadar akan privasi data, keamanan siber yang kuat adalah aset pemasaran yang luar biasa. Pertanyakan bagaimana kerangka kerja keamanan perusahaan mendukung fleksibilitas bisnis. Misalnya, apakah perusahaan sudah menerapkan prinsip Security by Design?
Jika perusahaan sedang bergerak menuju transformasi digital—misalnya penggunaan Kecerdasan Buatan (AI) untuk analisis data pelanggan—direksi harus memastikan bahwa keamanan telah terintegrasi sejak tahap desain, bukan sebagai tempelan di akhir proyek. Keamanan yang integratif memungkinkan perusahaan untuk berinovasi lebih cepat karena risiko telah dihitung dan dikelola sejak awal, bukan justru menjadi kejutan pahit di tengah jalan.
3. "Siapa Titik Terlemah dalam Rantai Pasok Kita, dan Seberapa Besar Dampak Kegagalan Mereka Terhadap Kita?"
Salah satu tren paling berbahaya dalam beberapa tahun terakhir adalah serangan melalui pihak ketiga (Supply Chain Attacks). Perusahaan Anda mungkin memiliki sistem pertahanan kelas dunia, tetapi jika vendor penyedia layanan penggajian atau mitra penyimpanan cloud Anda memiliki lubang keamanan, maka Anda pun berada dalam bahaya.
Risiko Ekosistem:
Dewan Direksi harus menyadari bahwa tanggung jawab mereka meluas melampaui dinding kantor mereka sendiri. CISO harus mampu memetakan ketergantungan perusahaan terhadap vendor eksternal. Pertanyaan ini menuntut evaluasi terhadap manajemen risiko pihak ketiga (Third-Party Risk Management).
Dalam konteks hukum di Indonesia, UU PDP menegaskan bahwa pengendali data tetap bertanggung jawab atas data yang diproses oleh prosesor data (pihak ketiga). Jika terjadi kebocoran di pihak mitra, perusahaan Anda tetap akan menjadi pihak pertama yang dimintai pertanggungjawaban oleh publik dan regulator. Direksi harus memastikan bahwa kontrak dengan vendor tidak hanya memuat pasal-pasal hukum, tetapi juga persyaratan teknis keamanan siber yang dapat diaudit secara berkala.
4. "Berapa Persentase Anggaran yang Dialokasikan untuk Budaya Manusia Dibandingkan dengan Pembelian Alat Teknis?"
Ini adalah paradoks keamanan siber: organisasi menghabiskan jutaan dolar untuk firewall tercanggih, namun hancur hanya karena seorang karyawan mengklik tautan phishing di email mereka. Manusia tetap menjadi vektor serangan yang paling sukses sekaligus paling sering diabaikan.
Argumen Budaya vs Teknologi:
Direksi harus berhenti memandang keamanan siber sebagai masalah perangkat lunak. Ini adalah masalah perilaku manusia. CISO perlu ditanya mengenai efektivitas program kesadaran siber. Apakah pelatihan yang diberikan hanya sekadar video membosankan yang ditonton setahun sekali untuk memenuhi syarat kepatuhan? Atau sudahkah keamanan siber meresap menjadi budaya di seluruh departemen?
Investasi pada "manusia sebagai pertahanan pertama" (human firewall) sering kali memberikan imbal hasil (ROI) yang jauh lebih tinggi daripada membeli alat tambahan yang rumit. Direksi sendiri harus menjadi teladan. Jika jajaran eksekutif tidak mematuhi protokol keamanan—seperti penggunaan autentikasi multifaktor—maka budaya keamanan di level bawah tidak akan pernah terbentuk. Kepemimpinan adalah tentang memberikan contoh, dan dalam keamanan siber, hal ini berlaku mutlak.
5. "Data Mana yang Menjadi 'Crown Jewels' Kita, dan Mengapa Kita Masih Mencoba Melindungi Semuanya dengan Cara yang Sama?"
Strategi keamanan yang mencoba melindungi semua hal dengan intensitas yang sama adalah strategi yang ditakdirkan untuk gagal. Sumber daya perusahaan—baik itu waktu, uang, maupun tenaga ahli—selalu terbatas. Jika CISO tidak bisa membedakan mana data yang merupakan "harta karun" perusahaan dan mana data yang bersifat umum, maka alokasi anggaran kemungkinan besar tidak efisien.
Skala Prioritas Aset:
Aset kritis atau Crown Jewels bisa berupa kekayaan intelektual, algoritma perdagangan, basis data pelanggan utama, atau rahasia dagang. Dewan Direksi harus mendapatkan kepastian bahwa aset-aset paling berharga ini mendapatkan perlindungan paling ketat, mungkin dengan isolasi fisik atau enkripsi tingkat lanjut yang tidak diterapkan pada data rutin lainnya.
Pendekatan berbasis risiko (risk-based approach) mengharuskan klasifikasi data yang ketat. Dengan mengetahui apa yang paling berharga, perusahaan dapat memfokuskan pertahanan terbaiknya di tempat yang paling dibutuhkan. Hal ini juga membantu dalam perencanaan asuransi siber dan pemenuhan regulasi, sehingga Direksi dapat mempertanggungjawabkan alokasi sumber daya kepada para pemegang saham dengan argumentasi yang logis dan berbasis data.
Penilaian Terhadap Jawaban CISO: Kerangka Kerja bagi Direksi
Setelah mengajukan pertanyaan-pertanyaan ini, Dewan Direksi tidak boleh hanya menerima jawaban "ya" atau "tidak". Kualitas kepemimpinan seorang CISO dapat dinilai dari cara mereka merespons.
- Hindari "Jargon-Speak": Jika CISO menjawab dengan istilah teknis yang terlalu rumit tanpa menjelaskan dampak bisnisnya, itu adalah tanda bahwa mereka gagal memahami peran mereka sebagai penasihat strategis.
- Data yang Dapat Diverifikasi: Jawaban harus didukung oleh data hasil audit independen, simulasi serangan (red teaming), dan metrik kinerja yang jelas.
- Keselarasan dengan Tujuan Organisasi: Jawaban yang baik selalu menghubungkan keamanan dengan tujuan jangka panjang perusahaan, seperti pertumbuhan pendapatan, kepercayaan pelanggan, dan kepatuhan hukum.
Implikasi Hukum dan Tanggung Jawab Fidusia di Indonesia
Penting untuk ditekankan bahwa di bawah kerangka hukum Indonesia yang berkembang, keamanan siber telah masuk ke dalam ranah tanggung jawab pribadi direksi. Prinsip Business Judgment Rule mungkin melindungi direksi dari keputusan bisnis yang merugi, namun ia tidak akan melindungi dari kelalaian dalam menjaga keamanan data yang diwajibkan oleh undang-undang.
Pasal-pasal dalam UU PDP dan Peraturan Pemerintah terkait Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik menuntut adanya perlindungan yang "andal dan aman". Jika terjadi insiden besar, regulator akan melihat apakah Dewan Direksi telah melakukan due diligence yang cukup. Mengajukan lima pertanyaan krusial ini—dan menindaklanjuti jawabannya dengan langkah nyata—adalah bukti kuat bahwa direksi telah menjalankan tugas pengawasan mereka secara kompeten dan beritikad baik.
Epilog: Mengubah Ancaman Menjadi Ketahanan
Dunia digital tidak akan menjadi lebih aman dalam waktu dekat. Sebaliknya, kemunculan teknologi seperti Quantum Computing dan AI generatif akan memberikan senjata baru bagi para peretas. Namun, perusahaan yang memiliki Dewan Direksi yang berwawasan luas dan CISO yang strategis tidak perlu hidup dalam ketakutan.
Keamanan siber yang efektif dimulai dari atas. Ia dimulai dengan rasa ingin tahu yang kritis, keberanian untuk menantang status quo, dan komitmen untuk menempatkan resiliensi sebagai inti dari strategi perusahaan. Lima pertanyaan ini bukanlah sebuah interogasi, melainkan pembuka dialog untuk membangun organisasi yang tidak hanya tangguh menghadapi serangan, tetapi juga cukup lincah untuk terus tumbuh di tengah badai digital.
Sudahkah Anda menjadwalkan pertemuan berikutnya dengan CISO Anda? Masa depan perusahaan Anda mungkin bergantung pada apa yang Anda tanyakan hari ini.
Andhika RDigital Marketing at Fourtrezz
Artikel Terpopuler
Tags: Keamanan Siber, Tata Kelola, Resiliensi Bisnis, Manajemen Risiko, Strategi CISO
Baca SelengkapnyaBerita Teratas
Berlangganan Newsletter FOURTREZZ
Jadilah yang pertama tahu mengenai artikel baru, produk, event, dan promosi.



