Rabu, 17 Desember 2025 | 3 min read | Andhika R
The Sydney Dialogue 2025: Indonesia Pimpin Standar Global Keselamatan Anak Lewat Regulasi "PP TUNAS"
Indonesia mengambil langkah tegas untuk memposisikan diri sebagai pemimpin global dalam isu keselamatan anak di ruang siber. Dalam forum internasional bergengsi The Sydney Dialogue 2025 yang digelar di Australia, Pemerintah Indonesia menegaskan bahwa perlindungan anak di era digital bukan sekadar wacana moral, melainkan mandat kebijakan yang harus diimplementasikan secara teknis dan hukum.
Mewakili Menteri Komunikasi dan Digital (Komdigi), Direktur Jenderal Komunikasi Publik dan Media (KPM), Fifi Aleyda Yahya, memaparkan terobosan regulasi Indonesia di hadapan para pemimpin teknologi dunia. Fokus utama paparan tersebut adalah Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2025 tentang Perlindungan Anak dalam Sistem Elektronik, atau yang dikenal sebagai PP TUNAS. Regulasi ini disebut sebagai bukti bahwa kepemimpinan modern diukur dari tindakan nyata, bukan sekadar retorika.
Dalam sesi bertema "Keeping Our Citizens Safe Online", terungkap fakta strategis bahwa Indonesia kini menjadi negara kedua di dunia—setelah Australia—yang memiliki payung hukum komprehensif untuk melindungi anak di ranah digital.
Namun, Fifi menekankan keunggulan komparatif regulasi Indonesia. Jika aturan di negara lain sering kali terbatas pada media sosial, cakupan PP TUNAS jauh lebih luas dan holistik.
- Cakupan Universal: Aturan ini menyasar seluruh Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE), termasuk game online, marketplace, dan platform edukasi, bukan hanya media sosial.
- Prinsip Safety-by-Design: PP TUNAS mewajibkan platform untuk tidak sekadar "menangani" masalah setelah terjadi, tetapi "mencegah" masalah sejak desain produk dibuat.
Inti dari PP TUNAS adalah kewajiban bagi platform digital untuk melakukan penilaian risiko (risk assessment) terhadap tujuh kategori bahaya utama bagi anak:
- Kontak berisiko dengan orang asing (predatory grooming).
- Paparan konten berbahaya (kekerasan, pornografi).
- Eksploitasi komersial anak sebagai konsumen.
- Ancaman keamanan data pribadi anak.
- Potensi adiksi atau kecanduan gawai.
- Gangguan fisiologis.
- Gangguan psikologis.
Platform diwajibkan menyediakan fitur verifikasi usia yang ketat, penyaringan konten, serta mekanisme pengawasan orang tua (parental control) yang mudah diakses.
Urgensi regulasi ini didorong oleh data demografi digital yang mengkhawatirkan. Data Badan Pusat Statistik (BPS) 2024 menunjukkan bahwa hampir 40% anak di bawah usia 6 tahun di Indonesia telah terpapar gawai, dengan penetrasi internet mencapai 35–39% pada kelompok usia dini tersebut.
Fifi juga menyoroti insiden tragis peledakan di SMA 72 Jakarta yang melibatkan siswa sebagai studi kasus nyata. Insiden tersebut menjadi pengingat keras bahwa tanpa pengawasan dan literasi digital yang memadai, akses informasi tanpa batas dapat memicu perilaku destruktif di dunia nyata. Hal ini relevan dengan langkah Australia yang sedang merancang UU pelarangan media sosial bagi anak di bawah 16 tahun, meskipun pendekatan Indonesia lebih menekankan pada "pengawasan yang sehat" daripada pelarangan total.
Komitmen Indonesia tidak berhenti di atas kertas. Pemerintah telah mengoperasikan Sistem Analisis dan Monitoring (SAMAN). Teknologi ini berfungsi sebagai "mata elang" digital yang melacak dan menindak penyebaran konten berisiko lintas platform secara real-time.
Dalam penutupnya, Fifi menyerukan kolaborasi global agar perusahaan teknologi raksasa tidak hanya mematuhi aturan secara pasif, tetapi aktif menghadirkan sistem verifikasi usia yang robust. "Teknologi harus memberdayakan anak, bukan membahayakan mereka," tegasnya.
Andhika RDigital Marketing at Fourtrezz
Artikel Terpopuler
Tags: SSDF, Keamanan Perangkat Lunak, DevSecOps, NIST, Software Supply Chain
Baca SelengkapnyaBerlangganan Newsletter FOURTREZZ
Jadilah yang pertama tahu mengenai artikel baru, produk, event, dan promosi.



