Kamis, 30 Oktober 2025 | 7 min read | Andhika R
Digital Payment & QR Code: Seberapa Aman Transaksi Non-Tunai di Indonesia?
Bayangkan seorang pegawai kantoran di sebuah kafe urban sibuk. Tanpa curiga, ia membuka aplikasi pembayaran di ponselnya, lalu mengarahkan kamera ke QR Code yang terpajang di meja. Sebelum sadar, layar ponsel menampilkan halaman login yang tampak resmi, meminta data pribadi dan kata sandi. Dalam sekejap, dana di dompet digitalnya menguap – ternyata ia tidak memindai kode asli, melainkan QR Code palsu yang dirancang untuk mencuri informasi. Kasus seperti ini bukan sekadar skenario dramatis; kejadian serupa kian nyata menghantui era non-tunai. Pada saat kemudahan finansial digital terus berkembang, seringkali kita terlena dengan kecepatan transaksi, padahal rasa aman bisa jadi hanyalah ilusi yang dibangun oleh kemudahan tersebut.

Euforia Cashless: Ketika Kecepatan Mengalahkan Kewaspadaan
Di Indonesia, adopsi pembayaran non-tunai melalui QRIS (Quick Response Code Indonesian Standard) dan dompet digital (e-wallet) melonjak pesat. Bank Indonesia mencatat bahwa hingga Agustus 2025 pengguna QRIS telah mencapai puluhan juta orang, dengan nilai transaksi tahunan menembus angka triliunan rupiah. Sebagai ilustrasi, BI melaporkan sekitar 57,6 juta pengguna QRIS dan nilai transaksi sebesar Rp 8,86 triliun (136% dari target) per Agustus 2025. Data dari lembaga statistik juga menunjukkan hampir 30% rumah tangga Indonesia memiliki setidaknya satu e-wallet pada 2024, mencerminkan penetrasi yang masif. Pertumbuhan ini mengukuhkan QRIS dan e-wallet sebagai pilar efisiensi ekonomi digital kita.
Namun, euforia ini sering kali mendahului kewaspadaan. Masyarakat cenderung terpikat kecepatan dan kemudahan bertransaksi, sehingga pola “asal scan, asal transfer” kerap muncul tanpa mencermati risiko. Kebanyakan pengguna lebih cepat menerima teknologi baru ketimbang memahami celah keamanannya. Mereka lupa mengecek keaslian kode atau penerima sebelum membayar. Akibatnya, keamanan transaksi sering dianggap cuma opsi tambahan—padahal sesungguhnya merupakan garis pertahanan pertama yang krusial.
Ancaman yang Tak Terlihat: QR Code Palsu & Modus Baru Kejahatan Finansial
Ancaman nyata kini bukan lagi virus komputer klasik, melainkan serangkaian modus penipuan berbasis QR Code dan pesan digital. Para pelaku kejahatan semakin kreatif memanfaatkan kepercayaan pengguna yang terbentuk atas kemudahan. Beberapa modus umum yang mulai marak antara lain:
Sticker Swapping (QR Code Palsu) – Penjahat menempelkan stiker QR Code palsu tepat di atas kode QR asli yang dipajang pedagang. Ketika pelanggan memindai, pembayaran dialihkan ke rekening pelaku. Karena desain stiker dibuat menyerupai aslinya, korban tidak menyadarinya.
QR Code Phishing (Quishing) – Pelaku membuat situs web palsu yang berisi QR Code statis. Pengguna yang memindai kode tersebut diarahkan ke situs phishing yang meminta login atau kode OTP. Misalnya, QR Code pada brosur atau layar gadget yang diklaim sebagai “tambahan keamanan”, padahal justru mencuri kredensial ketika dipindai.
Rekayasa Sosial via Pesan Pembayaran – Modus ini melibatkan pengiriman pesan via SMS atau aplikasi pesan instan, seolah-olah dari pihak resmi atau teman. Pesan tersebut meminta korban membayar QR Code tertentu (misal, donasi palsu atau konfirmasi pesanan). Karena dirancang mendesak, korban terburu-buru memindai dan mentransfer tanpa verifikasi lebih lanjut.
Data dari lembaga resmi menunjukkan lonjakan kasus tersebut. Per Mei 2025, OJK melaporkan lebih dari 128 ribu aduan penipuan digital dengan kerugian mencapai sekitar Rp 2,6 triliun. Sementara itu Kominfo mencatat ribuan nomor rekening dan akun digital terindikasi terlibat aktivitas scam sepanjang 2024–2025. Angka-angka ini membuktikan betapa masifnya risiko kejahatan di balik layar digital. Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) pun rutin mengingatkan volume serangan siber yang mencengangkan – jutaan deteksi malware dan anomali trafik – yang bisa menarget perangkat pengguna pembayaran digital.
Fakta-fakta tersebut menegaskan: keamanan transaksi digital tidak cukup diandalkan pada sistem saja, melainkan juga tergantung perilaku pengguna. Tanpa kesadaran akan ancaman, kemudahan cuma mendorong kerentanan yang tersembunyi.
“Trust by Design”: Mengapa Keamanan Harus Menjadi DNA Sistem Pembayaran
Konsep keamanan yang sesungguhnya berarti mengintegrasikan perlindungan sejak awal desain sistem, bukan menempelnya di akhir pengembangan. Paradigma “Secure by Design” mengharuskan pengembang aplikasi keuangan digital menyertakan mekanisme keamanan dalam setiap lapisan (bukan sekadar fitur tambahan). Demikian pula, prinsip “Zero Trust” menganjurkan bahwa tidak ada entitas, baik pengguna maupun perangkat, yang harus dipercaya secara implisit – semua aktivitas diverifikasi berlapis sebelum diizinkan.
Penyelenggara fintech Indonesia kini dihadapkan pada tuntutan ini. OJK, misalnya, telah menerbitkan pedoman keamanan siber untuk penyedia layanan keuangan digital yang menerapkan secure by design dan resilience by architecture. Salah satu poin pentingnya adalah penerapan Prinsip Zero Trust: autentikasi multi-faktor, pengelolaan perangkat, dan kebijakan akses dinamis untuk meniadakan kepercayaan internal tanpa verifikasi. Bank Indonesia pun mengharuskan peserta sistem pembayaran mengikuti standar keamanan global dan melakukan audit rutin. BSSN juga merumuskan standar nasional (berbasiskan ISO/NIST) agar sistem informasi keuangan taat kebijakan siber.
Namun, regulasi dan teknologi saja tidak cukup jika tidak didukung implementasi sungguh-sungguh. Audit keamanan bukan sekadar seremonial; melainkan fondasi kepercayaan digital. Penilaian kerentanan, uji penetrasi, dan sertifikasi sistem informasi wajib dilakukan secara berkelanjutan. Keberhasilan fintech sangat bergantung pada bagaimana prinsip keamanan seperti secure by design dan zero trust diterapkan nyata sejak tahap awal. Dengan begini, setiap transaksi non-tunai memiliki payung pertahanan yang tertanam dalam “gen” layanannya—bukan sekadar aksesori belakangan.
Titik Lemah Terbesar: Manusia di Tengah Rantai Keamanan
Menelusuri cerita kegagalan keamanan siber, akarnya hampir selalu menunjuk pada kesalahan pengguna, bukan pada teknologi. Kebiasaan-kebiasaan tak aman yang sering ditemui di masyarakat antara lain:
Berbagi OTP dan Kredensial – Misalnya pengguna menerima telepon “bank” meminta kode OTP untuk verifikasi. Atau teman meminta pinjaman dana dengan alasan mendesak lalu diminta memasukkan kode OTP. Tanpa disadari, saat membagikan kode verifikasi, pengguna telah memberikan akses ke rekeningnya sendiri.
Menggunakan Wi-Fi Publik Tanpa Proteksi – Banyak orang masuk ke aplikasi e-wallet atau mobile banking saat terhubung jaringan Wi-Fi umum (kafe, bandara). Jika jaringan tersebut tidak aman, data login dan transaksi bisa disadap.
Mengabaikan Pembaruan Aplikasi – Aplikasi dompet digital yang tidak pernah diperbarui rentan terhadap eksploitasi celah keamanan lama. Padahal pembaruan rutin sering kali menyertakan patch untuk menutup celah kritis.
Mencatat PIN/Password di Tempat Terbuka – Praktik menulis PIN atau password di kertas atau catatan digital tanpa perlindungan memudahkan orang iseng (atau malware) mencurinya.
Contoh di atas hanyalah sebagian gambaran bagaimana manusia menjadi rantai paling lemah dalam ekosistem digital. Ironisnya, edukasi keamanan masih bersifat reaktif: muncul setelah terjadi insiden besar dan baru disosialisasikan secara meluas ketika korban sudah berjatuhan. Idealnya, literasi dan kesadaran harus preventif, ditanamkan sebelum transaksi dimulai. Setiap individu perlu menyadari kewajiban sederhana seperti tidak membagi OTP, selalu cek keaslian QR sebelum scan, dan menjaga kerahasiaan data pribadi. Tanpa perubahan kebiasaan ini, sistem teraman sekalipun akan selalu memiliki pintu masuk kejahatan melalui pengguna yang lalai.
Jalan ke Depan: Ekosistem Transaksi yang Tangguh dan Terpercaya
Membangun kepercayaan dalam ekosistem pembayaran digital memerlukan sinergi dari semua pihak: regulator, penyedia layanan, merchant, dan konsumen sendiri. Beberapa langkah konkret yang dapat ditempuh meliputi:
Verifikasi Berlapis (Multi-Factor Authentication) – Selain PIN atau password, setiap transaksi penting sebaiknya divalidasi dengan lapisan tambahan, misalnya token dinamis, biometrik, atau kehadiran OTP yang hanya berlaku sekali pakai. Pendekatan berlapis ini meminimalkan risiko jika satu kunci keamanan bocor.
Edukasi Digital Massal – Pemerintah dan pelaku industri perlu gencar mengadakan kampanye literasi fintech. Misalnya, simulasi cara memeriksa QR Code sebelum scan, panduan mengenali phishing, dan penggunaan saluran resmi untuk verifikasi transaksi. Kesadaran kolektif akan bahaya keamanan harus ditingkatkan melalui seminar, iklan layanan masyarakat, dan kolaborasi dengan komunitas.
Transparansi Sistem Fintech – Penyedia layanan sebaiknya terbuka mengenai protokol keamanan yang diterapkan. Audit independen, sertifikasi ISO, serta laporan kebocoran (jika terjadi) harus dipublikasikan secara jujur. Transparansi ini akan menumbuhkan kepercayaan pengguna karena mereka mengetahui standar perlindungan yang dipegang oleh aplikasi yang mereka gunakan.
Keamanan bukan cadar sampingan dalam transaksi digital; ia adalah tulang punggung yang menjaga kelangsungan ekonomi non-tunai. Keamanan bukan fitur tambahan. Ia adalah mata uang kepercayaan di era non-tunai. Dengan menjadikan keamanan sebagai landasan—bukan sekadar aksesoris—kita memastikan bahwa setiap pembayaran digital menambah nilai, bukan kekhawatiran.
Penutup
Inti dari semua ini jelas: keamanan digital adalah tanggung jawab kolektif. Dari otoritas yang merumuskan regulasi, inovator teknologi yang menciptakan aplikasi, hingga pengguna akhir yang menekan tombol konfirmasi—semua peran tersebut saling terkait. Tanpa kerja sama, setiap celah kecil bisa dimanfaatkan pihak tak bertanggung jawab untuk merusak kepercayaan publik.
Saatnya kita bertindak. Audit keamanan sistem pembayaran digital Anda bersama ahli. Lindungi ekosistem pembayaran digital Anda dengan pendekatan Zero-Trust Security dari Fourtrezz. Hubungi kami untuk konsultasi keamanan fintech Anda di fourtrezz.com. Bersama Fourtrezz, bangun fondasi kepercayaan yang kokoh bagi masa depan transaksi non-tunai Indonesia.
Andhika RDigital Marketing at Fourtrezz
Artikel Terpopuler
Tags: UU PDP, Kepatuhan Data, Sanksi Data, UMKM Digital, Data Pribadi
Baca SelengkapnyaBerita Teratas
Berlangganan Newsletter FOURTREZZ
Jadilah yang pertama tahu mengenai artikel baru, produk, event, dan promosi.


